"Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa."Â (Yakobus, Murid Yesus)
Istilah dosa pastilah tidak asing di telinga kita semua. Sejak kecil kita sudah mendengar kata itu, entah dari orang tua, entah dari teman sepermainan, atau dari guru-guru yang mengajar kita di tingkat dasar. Beberapa perbuatan yang dikategorikan sebagai dosa sewaktu kecil adalah berbohong, mencuri, mencontek, dan menjahili teman. Lambat laun seiring berkembangnya pemikiran dan pergaulan, kita mengenal perbuatan-perbuatan dosa lainnya, seperti membunuh, memfitnah, korupsi, zinah, berhubungan dengan ilmu hitam (santet, pelet, pesugihan), dan lain sebagainya.
Sebagai orang yang beragama, kita diajarkan--dan kemudian bertekad--untuk menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan dosa. Secara umum kita akan setuju jika dosa itu adalah setiap pelanggaran terhadap larangan Tuhan sebagaimana yang diatur di dalam kitab suci. Dosa biasanya dimengerti sebagai pelanggaran terhadap hukum-hukum Ilahi, yang pada akhirnya menghalangi hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta dengan konsekuensi yang sangat mengerikan: masuk neraka jahaman! Dan, secara umum kita menganggap bahwa dosa itu adalah sebuah perbuatan aktif. Akan tetapi, benarkah demikian? Ternyata tidak!
Salah seorang murid Yesus yang bernama Yakobus menyatakan sebuah standar yang sangat revolusioner tentang apa yang menyebabkan seseorang berdosa. "Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa," demikian tulisnya. Jadi, menurut beliau, dosa bukanlah sekedar melakukan perbuatan jahat, tetapi juga termasuk "penolakan" untuk melakukan perbuatan baik. Kepasifan, dengan demikian, termasuk sebuah perbuatan dosa.
[caption id="attachment_314425" align="alignnone" width="262" caption="Orang Samaria yang Baik Hati/terrestrialfan.com"][/caption]
Dalam kisah Orang Samaria yang Baik Hati yang diceritakan oleh Yesus, baik sang imam maupun orang lewi tidak menolong korban perampokan yang terbaring di pinggir jalan yang mereka lewati--entah apapun alasannya. Sesuatu yang tak terduga terjadi, yakni ketika seorang "kafir" dari Samarialah yang justru menolong orang tersebut. Yesus sepertinya sedang menyindir kaum agamawan yang lebih memilih untuk menjaga kesucian diri daripada menjadi "sesama manusia" bagi orang lain. Sebagai Pribadi yang memiliki sudut pandang Ilahi, Yesus lebih menghargai kepedulian orang Samaria itu daripada kesucian sang imam dan orang Lewi.
Menolak melakukan perbuatan baik yang sebenarnya dapat kita lakukan sama dengan menolak untuk melakukan perintah Tuhan, dan itu berarti dosa. Dengan "standar" dosa yang seperti itu, sudah dapat dipastikan bahwa tiada seorangpun yang dapat hidup "suci" dan memasuki surga tanpa anugerah Tuhan. Beberapa orang mungkin tak setuju dengan alur pemikiran ini, karena hal ini berarti meniadakan "netralitas." Sepertinya memang demikianlah pandangan kitab suci tentang netralitas, yakni bahwa netralitas itu konsep yang semu. Jika ada orang yang tidak berbuat jahat dan juga tidak berbuat baik, maka pastilah ia tidak akan masuk neraka dan tidak masuk surga! Ketika murid-murid melaporkan adanya orang-orang yang melakukan mujizat dan mengusir setan dalam nama Yesus, Yesus berkata, "Barangsiapa tidak melawan kita, ia ada di pihak kita." Di mata Yesus, tidak ada yang namanya pihak netral.
Ada satu lagi kisah Yesus yang sangat revolusioner. Ia menceritakan tentang Sang Raja yang "menyeleksi" siapa saja yang akan masuk dalam Kerajaan-Nya. Yang mengejutkan adalah bahwa ternyata standar yang dipakai bukanlah perbuatan baik dan perbuatan jahat, melainkan keaktifan dan kepasifan dalam berbuat baik! "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang TIDAK KAMU LAKUKAN untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku," demikian kata Sang Raja pada orang-orang yang ditolak-Nya. Mereka mungkin merasa pasti mendapatkan surga karena kesalehan mereka, namun sayangnya, ketidakpedulian mereka telah mengganjal langkah mereka menuju kayangan.
Ketika kita menolak untuk menyeberangkan orang tua, memberi tempat duduk untuk wanita hamil, membuang sampah pada tempatnya, atau mematikan keran air yang tak sengaja terbuka adalah dosa. Bahkan, menolak untuk tersenyum ramah pada tiap orang yang kita temui (kecuali jika sedang sakit gigi ^_^) pun bisa jadi membuat kita berdosa! Dalam konteks makro di negara kita saat ini, menolak untuk memberikan bantuan pada korban bencana pun bisa berarti dosa.
Bencana demi bencana yang tak henti melanda negeri ini memang bisa menghasilkan dua hal yang bertolak belakang. Yang pertama adalah empati alias kepedulian yang makin bertambah, dan yang kedua adalah sebaliknya, ketidakpedulian yang juga makin menebal. Sebagian orang mungkin akan semakin pilu hatinya menyimak kisah-kisah tragis saudara-saudara kita yang menjadi korban bencana dan berusaha sedapatnya untuk memberikan bantuan, namun sebagian lagi justru akan menjadi "terbiasa" dan akhirnya menutup mata terhadap apa yang terjadi dan "melanjutkan hidup."
Mungkin juga karena terlalu banyak mendengar berbagai informasi bencana, ketua DPR kita beberapa waktu yang lalu melontarkan kata-kata yang sangat tak sedap didengar itu. Jika berdiam diri saja merupakan dosa, bagaimanakah dengan Marzuki Alie yang memojokkan korban bencana Mentawai tersebut? Sungguh tak terbayangkan!