Mohon tunggu...
Philip Ayus
Philip Ayus Mohon Tunggu... -

menjaga kewarasan lewat tulisan | twitter: @tweetspiring.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Yang Dekat, yang Tak Terlihat

22 September 2010   12:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:03 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_265791" align="alignright" width="300" caption="http://kaskus.us"][/caption]

"The Unseen" alias "Yang Tak Terlihat," demikianlah saya akan menyebut mereka. Mereka ada di dekat kita. Mereka ada di sekitar kita. Mereka ada di pinggir-pinggir jalan, di perempatan-perempatan, atau di emperan-emperan toko yang telah tutup di malam hari. Mereka tidak di dalam sungai, tidak pula di gorong-gorong bawah jalanan. Ukuran mereka beratus kali lipat lebih besar dari uang koin yang seringkali tertangkap cepat di mata kita. Namun anehnya, kita berjalan melalui mereka seolah mereka tak terlihat. Sebenarnya, mereka pada hakekatnya sama dengan kita: manusia. Hanya nasiblah, mungkin, yang membedakan kita dan mereka. Akan tetapi , entah kenapa, kita memperlakukan mereka seperti sampah. Padahal, kita dan mereka sama-sama diciptakan dari debu tanah.

Mata kita seringkali terpaku ke atas, ke dunia dongeng tentang putri cantik, pangeran tampan, dan bangsawan-bangsawan kelas atas yang diciptakan oleh dalang-dalang kapitalis yang ingin menggerogoti kasih dan kepedulian kita pada mereka--"The Unseen." Kita seringkali mengidolakan mereka--para model industri--dan berusaha sedapat mungkin meraih kualitas hidup yang mereka tampakkan di depan kamera, meskipun kenyataannya tidak demikian, minimal dengan membeli barang-barang bermerek yang mereka pakai--meski hanya sebatas "KW1", "KW2", atau "Replika." APBP (Anggaran Pendapatan & Belanja Pribadi) kita tertuju pada pemuasan diri sendiri, persis seperti yang diinginkan para penguasa media dan kaum industrialis yang haus laba tanpa peduli etika.

Etika. Kita mungkin hanya mengaitkannya dengan kesopanan, seperti ketika bersua dengan tamu, pejabat, atau siapapun orang yang dihormati--biasanya mereka yang kedudukannya lebih tinggi daripada kita. Namun sesungguhnya pengertian etika jauh lebih luas dari sekedar tata-cara dalam bersopan-santun. Etika berakar dari kata Yunani Kuno "ethikos" yang berarti "timbul dari kebiasaan." Tak hanya kesopanan, etika juga berhubungan erat dengan standar-standar moral umum seperti baik-buruk, benar-salah, keadilan, tanggung jawab, dsb. Orang beretika tak sekedar mereka yang menguasai "table manner" ketika sebuah perhelatan digelar. Membantu manula atau anak-anak yang kesulitan menyeberang jalan, memberikan tempat duduk pada wanita dan orang tua, atau melempar senyum (dan kalau ada kelebihan rejeki, memberi sedekah) pada orang-orang "Yang Tak Terlihat," adalah juga tindakan-tindakan beretika. Etika terbaik berasal dari dalam diri, bukan sekedar pasang muka demi kepuasan ego kita. Etika berpaut erat dengan integritas.

Tak seperti para pesolek dan pesohor yang hanya nampak beretika ketika berada di atas panggung, orang-orang yang berintegritas tetap melakukan tindakan-tindakan dan membuat pilihan-pilihan etis di manapun mereka berada dan apapun situasi mereka. Mereka adalah orang-orang yang mau melihat apa yang memang seharusnya mereka lihat: "The Unseen." Mereka bukan orang-orang yang tampil sopan ketika di pesta namun membuang mukanya dari orang-orang "Yang Tak Terlihat" yang mereka temui dalam perjalanan pulang. Orang-orang berintegritas akan termasuk dalam golongan yang kepadanya Sang Raja berkata, "Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan. Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku."

Sesungguhnya Tuhan hadir dalam diri orang-orang "Yang Tak Terlihat" itu. Oleh karenanya, jika kita gagal melihat mereka, maka sesungguhnya kita juga telah gagal melihat Tuhan. Dalam perkataan yang lain kita tahu bahwa Tuhan digambarkan sebagai "tidak tampan dan semaraknyapun tidak ada sehingga kita memandang dia, dan rupapun tidak, sehingga kita menginginkannya. Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan." Berapa kali sehari kita melewati "wajah-wajah Tuhan" itu begitu saja, bahkan tanpa memandangnya? Padahal mereka itu sungguh dekat dan nyata, tak seperti para selebriti yang hanya bisa tampil dua dimensi di layar televisi. Mari kita belajar memandang "wajah-wajah Tuhan," Kawan. Lemparkanlah senyum terbaikmu pada mereka, karena bahkan seutas senyumanpun sangat berharga bagi jiwa mereka yang kering perhatian dan kehangatan. Perjuangkanlah kemanusiaan mereka dengan membagikan rejeki berlebih yang kita punya. Dekaplah mereka dalam kehangatan perhatian kita, agar mereka--setidaknya sekali dalam hidup mereka--turut merasakan kebaikan Tuhan dalam hidup kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun