Mohon tunggu...
Philip Ayus
Philip Ayus Mohon Tunggu... -

menjaga kewarasan lewat tulisan | twitter: @tweetspiring.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bahasa Pedih Mata

8 Juni 2010   03:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:40 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu kali, mata saya terpaku pada papan nama sebuah perusahaan percetakan ternama di kota Semarang. Sebagai seorang yang peduli bahasa, mata saya tiba-tiba terasa pedih. Bagaimana tidak? Dengan nama sebesar itu, mereka dengan bangganya menampilkan frasa bahasa Inggris yang tidak memenuhi kaidah bahasa aslinya. Di papan itu tertulis “Support by” padahal seharusnya ditulis “Supported by.” Didorong oleh kepedulian akan bahasa, saya menelepon perusahaan itu dan menyampaikan masukan saya. Namun, entah masukan saya tidak disampaikan atau memang pihak pengelolanya sendiri yang tidak menganggapnya penting, kini –sekitar empat tahun kemudian–tulisan itu masih terpampang tanpa perbaikan.

Contoh di atas hanyalah gambaran kecil tentang ketidakpedulian masyarakat kita akan mutu bahasa.

Bahasa Inggris bisa dibilang sebagai bahasa internasional. Selain penggunaannya yang sangat luas di seluruh dunia, bahasa Inggris juga dikenal sebagai bahasa yang “lentur.” Asal pendengar/pembaca sudah mengerti maksudnya, tak apalah. Tata bahasa dan penulisan hurufnya pun tergolong lebih sederhana jika dibandingkan bahasa Mandarin dan Perancis yang juga banyak digunakan di dunia. Tak heran jika sekolah-sekolah berstandar internasional menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam pelajaran yang diberikan, bukan Mandarin atau Perancis.

Penggunaan bahasa Inggris di Indonesia sendiri sempat mengalami pasang-surut. Saya masih ingat bagaimana pemerintah Orde Baru “memaksa” semua pelabelan yang menggunakan bahasa asing (kebanyakan bahasa Inggris) diganti menjadi nama-nama yang lebih meng-Indonesia. Kemudian, hampir berbarengan dengan Era Reformasi yang ditandai dengan mundurnya Soeharto sebagai penguasa Orde Baru, label-label yang “nginggris” (meminjam istilah Remy Silado) bermunculan kembali. Namun sayangnya, semangat bersama untuk menginternasional ini tidak dibarengi dengan kemampuan berbahasa Inggris yang cukup. Akibatnya, saya seringkali mendapati orang-orang –bahkan perusahaan berskala besar– berbahasa inggris layaknya balita yang sedang belajar berbicara.

Yang tak kalah memedihkan mata saya adalah media massa kita, baik cetak maupun elektronik, yang sembarangan saja menyiarkan bahasa Inggris tak berkaidah kepada masyarakat awam. Salah satu contoh nyata saya saksikan pada siaran sebuah stasiun televisi yang mengajarkan bahasa Inggris pada anak-anak. Dengan ilustrasinya yang menarik, sang narator menyampaikan bahwa padanan kata “kostum” dalam bahasa Inggris adalah “custom.” Entah sekretarisnya yang salah ketik atau editornya yang sedang mengantuk, bagi saya hal ini merupakan kecerobohan. Belum lagi jika saya membaca media cetak nasional berbahasa Inggris yang sekedarnya menerapkan tata bahasa Indonesia yang jelas tidak sesuai dengan kaidah bahasa aslinya.

Apakah yang sebaiknya dilakukan? Kita harus mulai memupuk kepedulian kita akan bahasa. Jika memang tidak diperlukan, janganlah menggunakan kata, frasa, atau kalimat berbahasa Inggris. Jika memang merasa perlu menggunakan bahasa Inggris (mis. untuk promosi ke luar negeri), konsultasikanlah terlebih dahulu dengan ahlinya. Dengan demikian, kita tidak memedihkan mata pengguna asli bahasa Inggris atau mereka yang sekedar peduli pada bahasa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun