Mohon tunggu...
AYU PUTRI SYAHARANI
AYU PUTRI SYAHARANI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hanya mahasiswa biasa.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pajak E-Commerce: Celah Hukum dalam Sistem Pajak

29 Januari 2024   19:00 Diperbarui: 29 Januari 2024   19:01 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Semenjak dilanda pandemi COVID-19 yang mengharuskan semua aktivitas dilakukan melalui jarak jauh, pemanfaatan media digital semakin merebak di kalangan masyarakat. Pemanfaatan teknologi semakin dioptimalisasi untuk menunjang rutinitas yang terpaksa dilakukan dalam jaringan. Kegiatan paling umum yang harus dibelokkan menjadi online antara lain adalah bekerja, meeting, sekolah, dan juga belanja.

Tidak dapat dipungkiri, kehidupan di ranah internet memiliki risiko yang besar. Potensi terjadinya cybercrime sulit dihindari karena rawannya kebocoran data. Kemajuan teknologi yang tidak diikuti dengan perkembangan hukum juga menjadi salah satu alasan sulitnya dilakukan penanganan atas cybercrime. Sama halnya dengan hukum pajak yang masih memiliki celah dalam mengatur hal-hal yang terjadi di era yang serba digital saat ini.

Pandemi COVID-19 menjadi trigger munculnya kebiasaan berbelanja online. Mobilitas yang dibatasi memuat masyarakat bergantung pada e-commerce dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Menurut Nomor SE- 62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan atas Transaksi E-commerce oleh Direktorat jenderal Pajak, e-commerce diartikan sebagai perdagangan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha dan konsumen melalui sistem elektronik. Lebih lanjut, umumnya model bisnis yang ada pada e-commerce terbagi menjadi 3 (tiga), yaitu i) Business to Business (B2B), artinya transaksi bisnis antara satu perusahaan dengan perusahaan lain; ii) Business to Customer (B2C), artinya transaksi bisnis perusahaan dengan konsumen; dan iii) Customer to Customer (C2C), artinya transaksi bisnis antar konsumen. (Ramadayanti, Ramli, & Muttaqin, 2022)

 Transaksi yang dilakukan melalui e-commerce menjadi salah satu peluang penerimaan pajak yang baik seiring dengan meningkatnya ketergantungan dan preferensi masyarakat atas belanja online. Hal ini tercermin pada data nilai transaksi e-commerce yang dilaporkan oleh Bank Indonesia. Angka nilai transaksi e-commerce terus meningkat dari angka Rp205,5 triliun di tahun 2019 hingga Rp489 triliun di tahun 2022. Data ini menunjukkan terdapat orang-orang baru yang menggunakan e-commerce setiap tahunnya.

Pada dasarnya, transaksi yang dilaksanakan melalui internet tidak berbeda dengan transaksi yang dilakukan secara konvensional. Pajak yang dikenakan pada transaksi online pun sama dengan pajak yang dikenakan pada transaksi konvensional, yaitu Pajak Pertambahan Nilai atau PPN (Ridho, 2021). Pajak Pertambahan Nilai sendiri adalah pajak yang dikenakan atas pertambahan nilai suatu Barang Kena Pajak selama masa penyerahan dalam Daerah Pabean. Pajak Pertambahan Nilai didapat dari pengurangan Pajak Keluaran dengan Pajak Masukan.

Namun, pada pelaksanaannya, masih terdapat beberapa celah hukum yang memungkinkan terjadinya penghindaran pajak oleh Wajib Pajak. Permasalahan utamanya ada pada pelaku usaha e-commerce yang berdomisili di luar negeri. Pada kajian "Optimalisasi Penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada Kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE)" yang dirilis oleh Pusat Kajian Anggaran DPR RI, terdapat beberapa faktor adanya celah hukum tersebut.

  1. Keterbatasan akses dalam memperoleh data sehingga otoritas pajak sulit mengidentifikasi transaksi dan pelaku usaha e-commerce. Hal ini berlaku terutama bagi pelaku usaha luar negeri.
  2. Lemahnya regulasi mengenai sanksi bagi para pelaku usaha yang melanggar pemungutan Pajak Pertambahan Nilai. Pengenaan sanksi administrasi yang tertera pada UU Nomor 16 Tahun 2009 sulit dilakukan karena para pelaku usaha yang menggunakan media digital tidak memiliki badan hukum. Hal ini menyebabkan perkara pajak tidak dapat dibawa ke pengadilan pajak. Pada akhirnya, sanksi yang bisa dikenakan hanya berupa surat teguran dan pemutusan akses.
  3. Pengetahuan Wajib Pajak mengenai penghitungan, penyetoran, dan pelaporan pajak yang masih kurang. (Pratiwi & Liana, 2021)

Demi optimalisasi penerimaan perpajakan, implementasi Permenkeu No. 48/PMK.03/2020 harus ditingkatkan. Pusat Kajian Anggaran DPR RI memberikan 3 solusi yang dapat mengoptimalisasi pengenaan Pajak Pertambahan Nilai pada pelaku usaha e-commerce. Langkah tersebut, yaitu i) Split payment yang berkaitan dengan pemisahan saldo penjualan dengan saldo PPN oleh pihak perbankan; ii) Sosialisasi pemajakan digital kepada seluruh lapisan masyarakat; iii) Pemantapan regulasi atas pemajakan transaksi digital oleh pemerintah melalui Direktorat jenderal Pajak. (Pratiwi & Liana, 2021)

Selain tiga langkah yang diusung pada kajian Pusat Kajian Anggaran DPR RI, harus ada langkah preventif dan represif yang mampu mengatasi permasalahan pengenaan pajak akibat digitalisasi. Langkah preventif membantu untuk mencegah inefisiensi dan ketidakefektifan sistem perpajakan atas transaksi di e-commerce. Sementara, langkah represif berguna untuk mengembalikan stabilitas sistem perpajakan dari tantangan yang dihadapi.

Langkah preventif atau pencegahan dapat dimulai dari optimalisasi pengawasan atas transaksi yang terjadi di e-commerce (Ramadayanti et al., 2022). Pengawasan dapat dilakukan dengan mewajibkan kepemilikan sertifikat keandalan bagi para pelaku usaha di e-commerce. Tujuan dari langkah ini adalah untuk melindungi konsumen sekaligus mempermudah pemantauan atas transaksi pelaku usaha e-commerce. 

Kemudian, langkah represif berupa pembebanan sanksi dan penegakkan regulasi atas pelanggaran terhadap perhitungan, penyetoran, dan pelaporan pajak yang dilakukan oleh pelaku usaha e-commerce, terutama yang berdomisili di luar negeri (Ramadayanti et al., 2022). Dengan diterapkannya sanksi yang berat, diharapkan dapat memberikan efek jera terhadap para pelaku pelanggaran, serta meminimalisasi terjadinya tax avoidance yang diakibatkan oleh adanya celah hukum pada hukum perpajakan.

Kesimpulan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun