Mohon tunggu...
Ayu Prawitasari
Ayu Prawitasari Mohon Tunggu... Wartawan -

Wanita pekerja yang masih menyempatkan menulis artikel di beberapa media massa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mencipta Sastra, Membaca Jendela Dunia

11 November 2016   15:01 Diperbarui: 11 November 2016   21:05 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menjadi kesadaran bersama sebuah keunikan atau perbedaan hanya akan merusak keselarasan sehingga dianggap sebagai faktor pengganggu. Faktor pengganggu ini selanjutnya harus dikeluarkan dari komunitas agar tak merusak tatanan. Kondisi inilah yang menurut saya menyebabkan tradisi lisan berbasis gosip tumbuh subur di negara kita. Tidak heran pula revolusi televisi, elektronik, maupun Internet (melalui media sosial) begitu mudah terserap dalam budaya kita yang menganut paham seragam. Membaca yang belum mengakar dan membudaya mendukung revolusi tersebut bekerja tanpa halangan.

Maka tak heran pula Pramoedya Ananta Toer dalam buku berjudul Saya Terbakar Amarah Sendiri! terbitan Kepustakaan Populer Gramedia tahun 2006 mengungkap keresahannya tentang dominasi televisi dalam kehidupan masyarakat. Pramoedya mengungkap bagaimana anak dan cucunya yang tak berminat membaca surat kabar lantaran mereka memilih televisi. Mereka tak berminat pada ilmu pengetahuan, demikian Pramoedya menilai. Dia lantas menduga tak adanya budaya membaca dalam keluarganya sebenarnya merupakan gejala umum yang terjadi dalam masyarakat luas.

Saat tak ada budaya membaca, lanjut Pramoedya, secara otomatis tak ada budaya menulis dan menerjemahkan di Indonesia. Tak heran pula betapa kita seringkali kesulitan menemukan buku bagus di toko-toko buku lantaran terbatasnya hasil karya penulis.

Masyarakat Indonesia tak dibiasakan berproduksi (menulis), namun masih berkutat pada kegiatan mentransfer budaya lisan ke dalam tulisan “tutur”  melalui media sosial (Facebook, Twitter, Instagram, dan lainnya). Tak adanya kebiasaan berkontemplasi saat membaca menyebabkan masyarakat dunia maya bangsa kita (netizen) seringkali menyerap mentah-mentah segala informasi yang bertaburan sebagai sebuah “ilmu pengetahuan”.

Aturan membaca 15 menit sebelum pelajaran dimulai hendaknya dioptimalkan betul oleh para pendidik dalam membentuk budaya membaca maupun menulis di kalangan siswa. Namun, untuk menumbuhkan budaya itu para guru terlebih dulu harus menerapkan budaya membaca maupun menulis dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kedua, para guru juga harus konsisten menjalankan profesi mereka sebagai pengajar, bukan yang lain.

Setiap tahun pemerintah daerah selalu menerima dana alokasi khusus (DAK) pendidikan hingga triliunan rupiah dari pemerintah pusat. Bantuan yang menjadi salah satu komponen pendapatan dalam neraca keuangan daerah itu wajib digunakan untuk membangun perpustakaan serta menambah koleksi buku-buku sekolah. Upaya ini menjadi kontraproduktif apabila para guru masih menjadikan institusi sekolah mereka tak ubahnya pasar tradisional.

Sekolah Bukan Pasar

Mengutip pandangan ST Kartono dalam buku berjudul Sekolah Bukan Pasar, Catatan Otokritik Seorang Guru, terbitan Kompas 2009 lalu, para pengajar seringkali berperan sebagai belantik demi menambah pendapatan bulanan. Dengan mmanfaatkan rabat dari penerbit, pengusaha tekstil, maupun biro wisata, para guru tanpa malu-malu berjualan buku, seragam, maupun kegiatan piknik. Siswa menjadi pelanggan loyal. Akibat praktik ini, buku pelajaran siswa menjadi seragam dengan sistem pembacaan searah seperti yang ditunjukkan pengajar. Guru tak repot, siswa pun senang.

Padahal menurut saya, guru seharusnya membebaskan para siswa mereka menemukan bacaan sendiri ketika belajar. Tujuannya membentuk generasi muda yang berwawasan dan kritis dalam kehidupan. Konsekuensinya guru memang sedikit repot lantaran harus menyarikan sejumlah materi yang sesuai dengan kurikulum. Namun, di antara kerepotan para guru dan murid itu jelas tercipta suasana kelas yang dialogis dengan berbagai macam pandangan yang disuarakan siswa (hasil membaca beragam buku). Bukan monolog di depan kelas yang membosankan.

Hal lain yang tak kalah mencemaskan adalah pengajaran sastra yang seolah terabai dalam dunia pendidikan kita. Begitu malasnya guru dan murid membaca, pelajaran sastra di kelas seolah terjebak dalam tradisi menghafal periodesasi penulis dan karya mereka, tebak judul buku serta tahun pembuatannya, dan sejenisnya. Lagi-lagi sangat minim dialog kritik sastra dalam kelas antara pengajar dan para siswanya.

Sebenarnya bukan hal yang sulit untuk menulis karya sastra yang merupakan refleksi kehidupan sehari-hari sejak usia dini. Belajar menciptakan karya sastra sama halnya dengan belajar berpikir mengenai kehidupan sekitar dan bagaimana memaknainya dalam tradisi tulis, bukan tradisi lisan yang gampang hilang. Persoalannya adalah tidak pernah ada contoh dari pengajar (membuat karya sastra) sehingga proses pembelajaran sastra menjadi sangat kering dan bukan berbasis produksi seperti harapan Pramoedya. Semuanya serba instan dengan model membaca menghafal di halaman-halaman tertentu untuk kepentingan ujian semester.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun