Catatan: Tulisan ini adalah tugas kuliah saya dalam mata kuliah Hukum dan HAM di FHUI. Walaupun sudah ditulis hampir empat tahun lalu, menurut saya isinya masih relevan dengan kejadian penggerebekan tersangka teroris yang baru-baru ini terjadi di Ciputat.
PENGANTAR
Adanya operasi pemberantasan teroris yang dilakukan oleh Detasemen Khusus 88 (Densus 88) POLRI, menimbulkan pro dan kontra. Ada pihak yang setuju dengan alasan agar para pelaku terorisme bisa ditumpas sehingga aksi-aksi terorisme yang meresahkan masyarakat tidak terjadi lagi. Namun ada pula pihak yang tidak setuju karena operasi yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan hanya menunjukkan ‘kegagahan’ polisi semata. Terlepas dari pro dan kontra tersebut, masalah operasi penumpasan teroris yang dilakukan oleh Densus 88 perlu dianalisis dari sudut pandang hukum dan hak asasi manusia.
RINGKASAN KASUS
Operasi pemberantasan teroris yang dilakukan oleh Densus 88 dalam kurun waktu Agustus hingga Oktober 2009 telah berhasil ‘melumpuhkan’ para tersangka teroris yang diduga terkait dengan ledakan bom di hotel JW Marriott dan Rizt Carlton, Mega Kuningan, Jakarta, pada tanggal 17 Juli 2009. Adapun para tersangka teroris tersebut tewas tertembak dalam operasi yang dilakukan oleh Densus 88. Pada bulan Agustus 2009, Densus 88 berhasil melumpuhkan Ibrahim di Temanggung. Kemudian pada bulan September 2009, Densus 88 berhasil melumpuhkan Noordin M. Top dan tiga buronan teroris lainnya di Solo. Dan pada bulan Oktober 2009, Densus 88 juga berhasil melumpuhkan beradik Muhammad Syahrir dan Syaifudin Zuhri di Ciputat.
POLRI menyatakan bahwa Densus 88 terpaksa menembak mati para tersangka teroris tersebut karena mereka melawan saat hendak ditangkap. Oleh karena itu, POLRI menganggap hal yang dilakukan oleh Densus 88 sudah sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Namun demikian, ada pihak yang tidak menyetujui tindakan Densus 88 tersebut karena bisa saja tersangka yang ditembak mati itu belum tentu merupakan pelaku teroris. Dengan demikian, para tersangka itu lebih baik ditangkap hidup-hidup supaya dapat menguak kejahatan terorisme yang sebenarnya.
KEBIJAKAN YANG MENGATUR MASALAH OPERASI PENUMPASAN TERORIS DI INDONESIA
Tindak pidana terorisme di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang. Oleh karena itu, rumusan pasal-pasal secara lengkap terdapat dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 (Perpu Nomor 1 Tahun 2002). Dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2002, salah satunya diatur mengenai penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam tindak pidana terorisme. Adapun hal yang relevan untuk dibahas dalam analisis ini adalah mengenai ketentuan terkait penyidikan, yang di dalamnya terdapat upaya paksa, dan sarana upaya paksanya adalah operasi penumpasan teroris yang dilakukan oleh Densus 88. Berikut merupakan pengaturan mengenai hal tersebut:
Pasal 25
(1) Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.
(2) Untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi wewenang untuk
melakukan penahanan terhadap tersangka paling lama 6 (enam) bulan.
Pasal 26
(1) Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen.
(2) Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri.
(3) Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.
(4) Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan adanya bukti permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan
dilaksanakan penyidikan.
Pasal 27
Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi:
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
c. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapitidak terbatas pada:
1) tulisan, suara, atau gambar;
2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat
dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Pasal 28
Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) untuk paling lama 7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam.
Dalam rumusan pasal-pasal di atas, memang tidak ditemukan definisi yang jelas terkait penyidik. Namun Densus 88 sebagai bagian dari Kepolisian Republik Indonesia berperan untuk membantu proses penyidikan tindak pidana terorisme. Oleh karena itu, Densus 88 juga harus tunduk pada ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam KUHAP, penyidik memang berwenang melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, yang disebut sebagai upaya paksa. Namun demikian, upaya paksa seperti apa yang harus diterapkan? Sebagai sebuah desk khusus untuk menanggulangi tindak pidana terorisme, Densus 88 mewujudkan upaya paksa tersebut melalui operasi penumpasan teroris.
Adanya kebijakan operasi penumpasan teroris yang dilakukan oleh Densus 88 sebagai bagian dari Kepolisian Republik Indonesia memberikan kesan bahwa pemerintah mengedepankan pendekatan legal, formal, dan represif dalam menumpas terorisme di Indonesia. Pendekatan yang legal dan formal memang wajib untuk dilakukan, lalu bagaimana dengan pendekatan represif? Alih-alih ingin menumpas terorisme, malah semakin menyuburkan terjadinya tindak kekerasan.
Dalam melakukan kebijakan operasi penumpasan teroris, harus benar-benar diperhatikan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) terhadap para tersangka tindak pidana terorisme. Oleh karena itu, Densus 88 sebagai pelaku operasi penumpasan terorisme harus memperhatikan asas praduga tak bersalah dengan cara menghindari tindakan yang sewenang-wenang dan berada di luar prosedur yang telah ditetapkan, baik dalam undang-undang maupun peraturan lainnya. Tindak pidana terorisme memang bisa dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa, namun dalam penumpasannya harus tetap memperhatikan asas praduga tak bersalah itu.
Adanya keharusan untuk memperhatikan asas praduga tak bersalah ini erat kaitannya dengan pemenuhan hak asasi manusia yang dimiliki oleh para tersangka terorisme, terutama hak hidup. Pada kasus- kasus di atas, sebagian besar tersangka terorisme yang ditembak adalah Warga Negara Indonesia yang dijamin hak hidupnya oleh Undang-Undang Dasar 1945:
”Setiap orang berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”
Adapun tersangka terorisme lainnya, salah satunya Noordin M. Top yang bukan merupakan Warga Negara Indonesia, tetap pula harus dijamin hak hidupnya, sebagaimana disebutkan dalam The Universal Declaration of Human Rights:
” No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment.”
Oleh karena itu, prosedur tembak di tempat yang diberlakukan kepada tersangka terorisme yang terdapat pada kasus di atas, tidak mengedepankan asas praduga tak bersalah sehingga kemudian berdampak pada hak hidup para tersangka terorisme. Terlepas dari ‘perlawanan’ yang dilakukan oleh para tersangka ketika hendak ditangkap, Densus 88 seharusnya sedapat mungkin menangkap hidup tersangka terorisme. Densus 88 tidak perlu terus-menerus berdalih bahwa tersangka menyerang atau melawan sehingga harus ditembak mati. Sebagai polisi yang terlatih, Densus 88 seharusnya bisa ‘melumpuhkan’ bukan menembak mati tersangka terorisme sehingga tersangka terorisme bisa diproses untuk kemudian dapat memberikan keterangan di hadapan pengadilan.
Sudah jelas dinyatakan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia, Densus 88 bertugas menyelenggarakan fungsi intelijen, pencegahan, investigasi, penindakan, dan bantuan operasional dalam rangka penyelidikan dan penyidikan tindak pidana terorisme. Dalam tugas yang ditetapkan peraturan presiden tersebut, jelas bahwa tugas Densus 88 adalah untuk membantu penyelidikan dan penyidikan tindak pidana terorisme sehingga konsekuensinya Densus 88 harus sekuat tenaga untuk ‘menyelamatkan’ tersangka terorisme agar dapat diselidik dan disidik lebih lanjut. Oleh karena itu, dalam menjalankan tugasnya, Densus 88 juga harus memperhatikan hak asasi tersangka, terutama hak hidup. Selain itu, dalam melaksanakan tugasnya, Densus 88 perlu memperhatikan asas- asas dalam Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia. Adapun konvensi tersebut telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998.
Dalam konvensi tersebut, yang dimaksud dengan penyiksaan adalah:
setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperolah pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik.
Tindakan yang dilakukan oleh Densus 88 dalam kasus di atas dapat dikategorikan sebagai penyiksaan karena dilakukan dengan sengaja sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat. Dalam definisi penyiksaan di atas, juga disebutkan bahwa penyiksaan dilakukan dengan menghukum atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan. Tindakan Densus 88 yang menembak mati para tersangka terorisme, dapat dikategorikan sebagai ‘hukuman’ atas perbuatan yang diduga telah dilakukan, yaitu tindak pidana terorisme.
Selain itu, dalam konvensi ini disebutkan bahwa negara yang meratifikasi konvensi ini harus menjamin bahwa pendidikan dan informasi mengenai larangan terhadap penyiksaan seluruhnya dimasukan dalam pelatihan bagi para aparat penegak hukum yang ada kaitannya dengan penahanan, dan interogasi, atau perlakuan terhadap setiap orang yang ditangkap, ditahan, atau dipenjara. Selain itu, negara juga harus senantiasa mengawasi secara sistematik peraturan-peraturan tentang interogasi, instruksi, metode, kebiasaan-kebiasaan dan peraturan untuk melakukan penahanan serta perlakuan terhadap orang-orang yang ditangkap, ditahan atau dipenjara dalam setiap wilayah kewenangan hukumnya, dengan maksud untuk mencegah terjadinya kasus penyiksaan. Oleh karena itu, untuk melaksanakan ketentuan dalam konvensi ini, negara harus menjamin dan mengawasi agar Densus 88 sebagai salah satu penegak hukum, tidak melakukan penyiksaan terhadap tersangka tindak pidana terorisme. Densus 88 merupakan bagian dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah presiden. Oleh karena itu, presiden berkewajiban juga untuk memastikan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat melaksanakan konvensi ini sehingga Densus 88 sebagai bagian dari Kepolisian Negara Republik Indonesia bisa lebih manusiawi dalam memperlakukan tersangka tindak pidana terorisme.
Densus 88 sebagai unit dalam Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sangat terlatih, seharusnya bisa meniru sepak terjang pasukan Amerika Serikat dan Indonesia yang dapat menangkap dua buronan besar seperti Hambali (tertangkap di Ayutthaya Thailand tahun 2003) dan Umar Al Faruq (tertangkap di Bogor tahun 2002) tanpa harus membunuh mereka. Sebagai bagian dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, seharusnya Densus 88 hanya berupaya melumpuhkan sasaran dengan berbagai cara yang patut dan tepat, namun tetap bermoral dan humanis, sesuai dengan doktrin kamtibmas. Oleh karena itu, operasi penumpasan teroris yang dilakukan Densus 88 terhadap kelompok orang yang diduga pelaku teroris di beberapa tempat belakangan ini yang kebanyakan sasarannya langsung dieksekusi mati, sebenarnya tidak perlu dilakukan. Densus 88 hendaknya menyadari bahwa tuduhan sebagai anggota jaringan teroris kepada mereka sesungguhnya baru merupakan dugaan sehingga operasi yang dilakukan dan akhirnya menyebabkan kematian para tersangka teroris merupakan pelanggaran asas praduga tak bersalah (presumption of innocence).
Oleh karena itu, kebijakan operasi penumpasan teroris yang dilakukan oleh Densus 88 harus menjunjung tinggi penghormatan terhadap hak asasi tersangka sebagai orang yang tidak bersalah sebelum diputuskan oleh pengadilan (Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM). Terlepas dari tujuan lain yang menyebabkan Densus 88 harus menembak mati para tersangka terorisme pada kasus di atas, Densus 88 seharusnya menyadari bahwa mereka memiliki peran sebagai penegak hukum dan pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat sehingga dalam menjalankan tugasnya untuk melakukan operasi penumpasan teroris, tetap menghargai hukum dengan menjunjung asas praduga tak bersalah serta menghormati hak asasi manusia, terutama hak hidup. Densus 88 akan lebih dihargai apabila sangat menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia ketika menjalankan tugasnya.
APAKAH KEBIJAKAN TERKAIT OPERASI PENUMPASAN TERORIS MENYELESAIKAN MASALAH TERORISME DI INDONESIA DAN BAGAIMANA PERBANDINGANNYA TERHADAP NEGARA LAIN?
Adanya kebijakan terkait operasi penumpasan teroris yang dilakukan oleh Densus 88 memang diharapkan dapat menyelesaikan masalah terorisme. Namun apakah kebijakan yang tergolong represif tersebut bisa benar-benar menyelesaikan masalah terorisme sampai ke akar-akarnya? Atau malah semakin menambah ‘radikalisme’ para teroris?
Pada dasarnya, terorisme harus diberantas. Oleh karena itu, diperlukan langkah untuk mencegah dan memberantas terorisme. Kebijakan untuk mencegah dan memberantas terorisme harus bertujuan untuk memelihara keseimbangan dalam kewajiban untuk melindungi kedaulatan negara, hak asasi korban dan saksi serta hak asasi tersangka dan terdakwa. Salah satu tujuan pencegahan dan pemberantasan terorisme yang relevan dengan tulisan ini adalah untuk melindungi hak asasi tersangka dan terdakwa. Satu hal yang juga menjadi pertanyaan adalah apakah operasi penumpasan teroris yang dilakukan oleh Densus 88 telah mencapai tujuan tersebut?
Masalah terorisme memang tidak serta merta selesai dengan adanya operasi penumpasan teroris yang dilakukan oleh Densus 88. Pasalnya, pemberantasan tindak pidana terorisme tidak semata-mata merupakan masalah hukum, melainkan juga merupakan masalah sosial, budaya, ekonomi, dan masalah lainnya yang berkaitan erat dengan masalah ketahanan suatu bangsa. Oleh karena itu, penyelesaian masalah terorisme tidak hanya cukup dengan mengandalkan operasi penumpasan teroris yang dilakukan oleh Densus 88. Pendekatan represif yang dilakukan oleh Densus 88 dalam menyelesaikan masalah terorisme bukanlah satu-satunya jalan yang dapat diandalkan untuk memberantas terorisme.
Oleh karena itu, menurut Saharuddin Daming, pendekatan represif tersebut harus segera diakhiri karena pendekatan represif tak akan pernah mampu menyentuh akar masalah kecuali hanya sampai pada riak-riak permukaan dan pendekatan represif justru semakin mempersubur tumbuhnya reaksi jaringan teroris dengan eskalasi dan pola serangan yang lebih intensif. Untuk menyelesaikan masalah terorisme, Saharuddin Daming juga mengusulkan hal-hal berikut:
1. pemerintah RI sebaiknya berani mereposisi kebijakan pembangunan nasional selama ini, yang mungkin menjadi salah satu faktor tumbuhnya radikalisme segelintir orang yang menilai kebijakan tersebut sebagai agen kepentingan Barat;
2. melakukan langkah persuasif dengan melibatkan para ulama dalam Badan Nasional Penanggulangan Terorisme;
3. mewujudkan paradigma pendekatan hukum yang lebih responsif (teori Philippe Nonet dan Selznick) maupun yang bersifat restitutif (konsep Emile Durkheim) dalam menangkal militansi dan radikalisme jaringan teroris.
Adanya operasi penumpasan terorisme yang dilakukan oleh Densus 88 dalam kasus di atas, akan memiliki dampak yang signifikan. Menurut Heru Susetyo, operasi penumpasan teroris yang dilakukan oleh Densus 88 akan berdampak sebagai berikut :
1.dengan tewasnya para tersangka teroris, maka sekian istri telah menjadi janda, sekian anak telah menjadi anak-anak yatim, sekian banyak orangtua tak percaya telah kehilangan anak tercintanya yang susah payah dibesarkan sejak bayi;
2.akan adanya penghukuman sosial yang diberikan kepada para tersangka teroris dan keluarganya, tanpa dapat mengklarifikasi lebih jauh dan memberikan kesempatan kepada keluarga teroris untuk membela diri dan memperbaiki hidupnya.
Dengan demikian, operasi penumpasan teroris yang dilakukan oleh Densus 88 tidak dapat sepenuhnya menyelesaikan masalah terorisme yang ada. Apabila operasi penumpasan teroris ini tetap dipertahankan seperti ini tanpa adanya perbaikan dan perubahan, maka jangan berharap masalah terorisme akan selesai hingga ke akar-akarnya. Alih-alih ingin menyelesaikan masalah terorisme, malah semakin menyuburkan tindak pidana terorisme. Oleh karena itu, hanya ada dua pilihan: menghentikan sama sekali operasi penumpasan teroris ini atau memperbaiki prosedur operasi penumpasan teroris itu. Apabila operasi penumpasan teroris ini tetap ingin dilaksanakan, maka perlu dibuat human right guidelinessupaya ada panduan treatment terhadap tersangkateroris ini secara menyeluruh karena bagaimanapun kejahatan yang dilakukan oleh tersangka, hak asasinya sebagai manusia tetap harus dihormati sebagai suatu hal yang prinsipil.
Apabila dibandingkan dengan kebijakan penumpasan teroris di negara lain, yaitu Amerika Serikat, maka akan didapati bahwa kebijakan yang ada di Indonesia sesungguhnya bisa dikatakan ‘menginduk’ pada kebijakan penumpasan teroris di Amerika Serikat. Sebagai salah satu bukti, Densus 88 yang dibentuk pada tahun 2003 mendapat dana yang salah satunya bersumber dari Amerika Serikat karena memang Amerika Serikat ingin membantu pembiayaan, pelatihan, maupun peralatan canggih kepada kesatuan anti teror di bawah Polri itu. Selain itu, Densus 88 ternyata juga salah satunya dilatih oleh badan intelijen Amerika Serikat (CIA).
Melihat kebijakan penumpasan teroris di Amerika Serikat yang mulai dilakukan setelah peristiwa 11 September 2001 di bawah komando Presiden George W. Bush, maka sesungguhnya Amerika Serikat telah memulai suatu perang baru, yaitu perang melawan teror (war against terror). Sepengetahuan penulis, kebijakan Amerika Serikat itu keadaannya mirip dengan yang terjadi dengan Indonesia karena pada praktiknya kebijakan penumpasan teroris yang dilakukan juga dikritisi oleh para aktivis pembela HAM. Pasalnya, kebijakan penumpasan teroris ada yang mengeyampingkan hak asasi tersangka terorisme, seperti adanya kodifikasi bentuk-bentuk penyiksaan yang dikenakan kepada tersangka terorisme.
Oleh karena itu, menurut pendapat penulis, kebijakan penumpasan terorisme yang ada di Amerika Serikat juga belum sepenuhnya dapat menyelesaikan masalah terorisme hingga ke akar-akarnya. Dengan perkataan lain, kebijakan yang ada di Amerika Serikat juga bernasib sama dengan kebijakan yang ada di Indonesia. Namun demikian, Densus 88 sebaiknya juga meniru sepak terjang Amerika Serikat yang tidak ‘mengeksekusi mati’ para tersangka atau terduga pelaku tindak pidana terorisme sebelum mereka diadili.
KESIMPULAN
1.Kebijakan pemberantasan terorisme di Indonesia harus ditelaah ulang dan diperbaiki agar dapat menumpas terorisme hingga ke akar-akarnya.
2.Dalam menjalankan tugasnya, Densus 88 sangat diharapkan dapat menjunjung tinggi HAM (terutama hak hidup) dan asas praduga tak bersalah.
3.Kebijakan pemberantasan terorisme yang dilakukan oleh Densus 88 menimbulkan dampak yang signifikan, terutama bagi tersangka terorisme dan keluarganya.
4. Kebijakan pemberantasan terorisme di negara lain, yaitu Amerika Serikat, berhubungan dengan kebijakan pemberantasan terorisme di Indonesia, dan sama-sama belum berdampak signifikan untuk memberantas terorisme.
[1] Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme, Perpu No.1 Tahun 2002, LN No.1 Tahun 2002, TLN No. 4232, ps. 25-28.
[2] Rosyada, “Peperangan Melawan Terorisme,”<www.pemantauperadilan.com/.../28.PEPERANGAN%20MELAWAN%20TERORISME.pdf> , diakses 13 Desember 2010.
[3] Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal 28A.
[4] “The Universal Declaration of Human Rights”, article 3,<http://www.un.org/en/documents/udhr/index.shtml#atop>, diakses 13 Desember 2010.
[5] Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia, pasal 23 ayat (2).
[6] “Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia,” pasal 1 ayat (1),”<http://www.kontras.org/baru/Kovensi%20Menentang%20Penyiksaan.pdf>, diakses 13 Desember 2010.
[7] Ibid., pasal 10 ayat (1).