Menjadi orang tua, tentu selalu menginginkan yang terbaik bagi buah hatinya. Terlebih untuk bisa bertahan pada abad 21 yang merupakan masanya teknologi berkembang ini. Akan sulit menemukan manusia yang memiliki kepekaan tinggi bagi sekitarnya. Sebagai kalangan yang masih memerdulikan hal tersebut. Pasti kita menginginkan sesuatu yang demikian tidak terjadi pada generasi penerus kita, kan?Â
Permasalahannya adalah bagaimana upaya kita gar dapat merubah stigma masyarakat yang terlalu mengunggulkan sebuah nilai atau prestasi dibanding ddengan sikap. Padahal, jelas sekali bahwa ada pernyataan bahwa al adab qobla al ilmu.
Sebuah statement yang seolah olah memang mengarahkan kita untuk berfikiran bahwa pentingnya bersikap baik dalam mencari ilmu. Ataukah berperilaku sopan terhadap sosok yang memberi ilmu.Hal ini merupakan mega mimpi besar bagi kita semua warga Indonesia. Secara terang-terangan pun telah dicantumkan dalam tujuan utama dalam penerapan kurikulum 2013.Â
Benar sekali, penanaman nilai karakter pada peserta didik. Yang kemudian dapat diartikan sebagi sikap yang mencerminkan sosok penuntut ilmu ialah seorang yang selalu menghargai apa yang membuatnya lebih tau dari sebelumnya. Baik itu tua atupun muda. Jangan pernah memerhatikan hal tersebut. Asalkan perilaku mereka jauh dibanding kita yang masih saja kurang menghargai apa itu belajar, proses, seorang guru, buku, dan hal lain yang berhubungan dengan proses mendapatkan pengetahuan baru.
Berdasarkan hasil riset dari Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSBPS), sekolah memiliki peran besar dalam mewadahi penanaman empati pada peserta didik. Hal itu dapat dikatakan sebagai tempat terbaik dikarenakan dalam lingkungan sekolah, besar peluangnya untuk menciptakan sebuah kolaborasi antara pembentukan karakter melalui kegiatan belajar mengajar, hingga menjadikan mereka kritis dalam kemampuan kecerdasan otaknya.
Berempati sendiri yang dimaksud ialah kondisi dimana individu dapat bersikap lembut serta mencintai teman sendiri. Bukannya malah senang diatas penderitaan teman lainnya.Â
Nah, sikap sikap seperti inilah yang memang seharusnya dimiliki oleh generasi milenial khususnya sebelum memasuki usia dewasa  yang akan sedikit sulit jika belum memiliki bekal yang cukup ketika belia.
Orang tua zaman now kebanyakan memang tidak terlalu mementingkan bagaimana sikap ataupun intensitas anak dalam melatih kepekaannya dalam lingkungannya. Hal yang selalu mereka kejar adalah bagaimana caranya agar anak bisa pintar, juara, dan membuat bangga kedua orang tua. Memang hal itu juga ada benarnya. Namun, hal itu tentu akan berbeda dengan kualitas anak didik yang juga berprestasi namun ia juga dapat menghargai apa itu namanya perbedaan, memuji orang lain, bertutur sopan kepada yang sopan. Karakter unggul yang berakhlaq seperti itulah yang pada kenyataannya dibutuhkan di era revolusi industri 4.0 ini.
Semakin bertambah usianya generasi Z, yaitu orang orang yang terlahir di abad 20. Pada akhirnya memang memerlukan regenerasi dalam perkembangannya. Hadirnya generasi Alpha di abad 21 ini, diharapkan dapat semakin memberikan wajah baru dalam eksistensinya di muka bumi ini, khususnya tidak lagi terpacu pada pencapaian yang berbau nilai atau skala.
Melainkan juga dapat menyeimbangkan kemampuannya dalam bersosialisasi pada lingkungannya sehingga terjadilah keseimbangan antara kecerdasan intelijen serta emosional. Tak heran jika keduanya saling berkolaborasi justru akan menjadikan seorang anak lebih baik  lagi.
Semoga bermanfaat.
Salam.