Kehadiran seorang anak adalah dambaan bagi setiap orang tua. Anak diyakini dapat menjadi pelipur lara sekaligus sebagai investasi dunia akherat bagi orang tua. Dalam keberadaannya yang dijadikan sebuah kebanggaan. Pastinya setiap orang tua selalu menginginkan anak mereka semakin tumbuh menjadi seseorang yang cerdas, sukses, dan dapat memberi manfaat kepada lingkungannya.Â
Sayangnya, dalam proses pembelajarannya. Tidak semua orang tua dapat memahami kondisi anak yang berbeda-beda. Seringkali orang tua masih memaksakan kehendak terhadap anak tanpa memikirkan kemampuan, dan kesiapan dalam diri anak. Hal-hal itulah yang dapat dikategorikan sebagai pola asuh "hyperparenting"
Hyperparenting ini semacam kontrol yang terlalu berlebihan yang diberikan untuk anak dari orang tua. Dalam pola asuh ini kebanyakan orang tua terlalu memaksakan kehendak anak sesuai dengan keinginan sang orang tua. Seolah orang tua merasa bahwa kepuasan yang sesungguhnya belum Nampak dalam upaya mereka mengasuh anak. Belum lagi jika dalam pikirannya terbersit bahwaÂ
"dulu aku tidak diasuh seperti ini oleh kedua orang tuaku"Â
yang kemudian menjadi obsesi dalam mengasuh untuk selalu menuntut hasil yang sesuai dengan idealnya orang tua. Dalam konteks tersebut, orang tua belum begitu paham mengenai karakter yang dimiliki oleh setiap anak itu memiliki keunikan masing-masing.
Sebenarnya sangat wajar bila orang tua menginginkan anak-anaknya bisa mewujudkan keinginan mereka. Namun, perlu ditekankan lagi jika anak-anak terlalu dipaksakan agar menjadi seperti apa yang telah didambakan akan menyusahkan anak itu sendiri dalam tumbuh kembangnya. Berikut beberapa dampak buruk dari pola asuh hyperparenting terhadap anak yang patut diwaspadai oleh setiap orang tua yang ada.
Memiliki kekhawatiran yang berlebihan
Terbiasa diperlakukan seperti diawasi satpam dalam keseharian oleh kedua orang tua, menyebabkan anak memiliki rasa cemas atau khawatir yang berlebih. Sangat wajar bila orang tua mendampingi anak, tetapi tidaklah bijak jika orang tua memaksakan kehendak anak. Ada juga saatnya orang tua melatih anak untuk dapat memilih apa yang disukai. Alih-alih hal itu dapat dijadikan bekal untuk kemandirian anak saqt bersosialisasi dengan lingkungannya.
Emosi anak mudah meledak
Pola Hyperparenting cenderung kepada sikap yang selalu mendikte anak sesuai dengan arahan sang pengasuh. Hal ini akan menyebabkan anak menjadi seorang yang kaku berkat adanya tekanan-tekanan dari orang tua. Masa anak seharusnya waktu anak tumbuh dan kembang sesuai dengan kebisaannya, namun hal itu termunafikan berkat adanya pengasuhan yang salah hingga menyebabkan anak kurang pandai dalam mengolah emosi kearah positif.
Kurang pandai bersosialisasi
Berkat didikan orang tua yang berpola hyper,karakter yang terbentuk dalam diri anak akan cenderung kaku, tidak luwes, dan sedikit tempramen. Dan sifat-sifat tersebut akan mengalami kesulitan dalam proses beradaptasi dengan lingkungan. Yang fatalnya, bisa membuat anak terkucilkan dalam pergaulannya.
Dengan mengetahui tentang pola pengasuhan yang demikian. Diharapkan dapat membukakan hati bagi setiap orang tua yang masih saja menerapkan hal ini terhadap anaknya. Karena bagaimanapun, karakter anak akan terbentuk dari stimulus yang diberikan oleh orang tua sejak dini.
Malang, 20 Februari 2018
Alfiyah Qurrotu A'yunina
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H