"Ada banyak pasangan LGBTQ yang menginginkan anak dan akhirnya mengadopsi. Jadi, LGBTQ bukanlah alasan utama menjadi childfree"Â Childfree & Happy, halaman 58
Tekanan sebagai Childfree juga diangkat dalam buku ini. Tak hanya dari masyarakat, tekanan dari agama, budaya, keluarga, teman dan pasangan juga menghantui para insan yang memilih hidup Childfree.
Sub bab kesukaan saya pada buku ini ada pada halaman 100, yakni "Kata Mereka; Jawaban  Kami"
"Siapa yang akan mengurusmu di usia tua nanti?"
"Siapa yang meneruskan garis keturunanmu?"
"Apa kamu tidak bosan hidup sendiri/berdua saja?"
"Bilang aja malas bertanggung jawab."
"Punya anak menyenangkan lho!"
"Kalau semua orang berpikir Childfree, peradaban manusia bisa punah."
Pernahkah kamu mendengar celetukan dan pertanyaan diatas? Pertanyaan dan celetukan para orang awam itu dijawab oleh kawan-kawan Childfree. Bagian ini membuat saya secara tak langsung seperti sedang diajak berdiskusi dan juga bertukar pikiran bahwa sebenarnya ada banyak kehidupan dari berbagai macam sisi yang memiliki warna tersendiri.
Childfree sebagai "Tren" juga tak ketinggalan untuk diulas pada buku ini, istilah Childfree sendiri pun semakin marak didengar oleh para generasi muda. Pilihan hidup ini tak bisa dipilih hanya karena ikut - ikutan atau sedang tren. Menurut sang penulis, jika kini lebih banyak orang memilih menjadi Childfree itu bukan karena tren yang menular, namun karena pengalaman dan pengetahuan serta keterbukaan informasi dan pendidikan.