Apakah kamu suka mengimajinasikan diri kamu menjadi sosok lain dengan kehidupan yang sepenuhnya berbeda dari kehidupanmu saat ini? Atau, kamu sering mengkhayalkan diri kamu menjalin kisah cinta bersama sosok aktris, aktor, idol, atau atlet yang sedang kamu idolakan? Sebagian besar orang pasti pernah melakukan aktivitas yang satu ini---membuat fake scenario, khususnya di malam hari sebelum tidur. Fenomena membuat fake scenario ini menjadi topik yang cukup trending di media TikTok, seperti pada gambar yang tertera.
Mengkhayalkan kehidupan ideal yang ingin kita rasakan, membayangkan mengencani sosok yang begitu kita idolakan tak dipungkiri memang menyenangkan. Tidak jarang juga kita menjadikan aktivitas ini sebagai bentuk pelarian ketika sedang suntuk dan lelah dengan realita kehidupan yang berat. Karena sensasi yang muncul dalam diri saat melakukan aktivitas ini, tak sedikit dari kita yang akhirnya menjadikannya rutinitas sebelum tidur dan berpikir bahwa aktivitas ini adalah hal yang sangat lumrah, tidak berbahaya untuk dilakukan. Namun, faktanya, aktivitas ini tidak sesederhana kelihatannya, lho!
Dari kacamata psikologi dan kesehatan mental, aktivitas membuat fake scenario ini disebut sebagai daydreaming. Umumnya, daydreaming tidaklah berbahaya dan tidak memberikan efek negatif secara langsung pada tubuh. Dilansir dari Discussing Psychology, daydreaming masih dikatakan normal apabila tidak sampai memengaruhi atau mengganggu kehidupan sehari-hari seseorang. Maladaptive Daydreaming melansir bahwa meski daydreaming yang dilakukan memiliki alur cerita mendetail dan berlangsung selama beberapa jam ketika seseorang sedang terjaga, hal itu masih terbilang normal dan disebut sebagai immersive daydreaming (ID).
The Daydream Place juga menyatakan bahwa ID memiliki dampak yang netral, bahkan bisa berdampak positif pada orang yang melakukannya. Pada dasarnya, ID adalah bentuk daydreaming yang tidak dilakukan secara berlebihan atau berkelanjutan (terus-menerus) dalam jangka waktu lama. ID juga tidak akan mengganggu atau memengaruhi mood dan kehidupan seseorang sehari-harinya.
Namun, apabila daydreaming dilakukan secara intens, berkali-kali hingga mampu mengubah mood secara drastis, menimbulkan perasaan ketagihan untuk terus melakukannya, dan memengaruhi keseharian seseorang, itu sudah beda cerita dan bisa menjadi red flag. Daydreaming ini sudah bukan lagi dikategorikan sebagai ID, melainkan daydreaming yang menjurus ke maladaptive daydreaming (MD). MD dan ID adalah dua hal yang berkaitan erat dan memiliki arti yang hampir sama, tetapi MD lebih banyak mendatangkan efek negatif. MD adalah bentuk lanjutan dari ID yang lebih intens, lebih lama, dan tidak sehat.
Jika kamu terbilang cukup sering melakukan daydreaming, penting untuk mengetahui bagaimana efek dari daydreaming yang kamu lakukan dan sejauh apa aktivitas itu memengaruhi kehidupan sehari-hari kamu. Agar kamu lebih memahami konsep MD dan mampu membedakannya dengan ID, yuk baca penjelasan mengenai aktivitas ini dari segi definisi, ciri-ciri, dampak, dan tips mengurangi frekuensi melakukan aktivitas MD di bawah ini.
1. Definisi maladaptive daydreaming
Somer (2002), dikutip dari Vyas et al. (2024) dari jurnal Mental Health and Social Inclusion, menyebutkan bahwa maladaptive daydreaming (MD) adalah aktivitas berfantasi berlebihan yang mengganggu keseharian dan mengurangi interaksi sosial. Seseorang yang melakukan aktivitas ini seringkali terlibat dalam khayalan berkelanjutan dengan skenario yang bermacam-macam, seperti film atau serial TV, sebagai bentuk pelarian dari kenyataan. Aktivitas ini bisa memunculkan sensasi, perasaan puas dan memudahkan seseorang dalam menghadapi suatu masalah. Selain itu, Ross et al. (2020) dari jurnal Psychiatric Research & Clinical Practice, mendefinisikan maladaptive daydreaming sebagai bentuk strategi untuk memutus, menjauhkan diri dari situasi internal atau eksternal yang menyedihkan. Seseorang yang melakukan MD sering menjadikan aktivitas ini sebagai pelarian dari realita kehidupan karena MD bisa menimbulkan euforia bagi orang yang melakukannya.
Â
2. Ciri-ciri maladaptive daydreaming
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, MD adalah bentuk daydreaming yang dilakukan secara berlebihan dan mampu memengaruhi kehidupan sehari-hari seseorang. Sleep Foundation melansir bahwa ada beberapa ciri-ciri atau karakteristik seseorang yang melakukan aktivitas MD, di antaranya:
- Adanya dorongan atau perasaan kuat untuk melamun dan berfantasi
- Sulit merasa fokus
- Susah tidur
- Fantasi, khayalan yang terasa begitu jelas dan detail seperti sebuah cerita
- Pergerakan, ucapan, dan ekspresi yang dilakukan secara tidak sadar di tengah sesi daydreaming
- Daydream yang berlangsung selama berjam-jam
Â
3. Dampak maladaptive daydreaming
Karena MD adalah bentuk daydreaming yang sudah berada dalam level mampu mengganggu kehidupan sehari-hari dan kesehatan mental seseorang, tentu saja dampak yang didatangkannya akan selalu berkonotasi negatif. Newsport Institute menyebutkan bahwa dampak dari melakukan MD adalah sebagai berikut.
- Gangguan dan hambatan dalam hal pekerjaan, sekolah, atau hobi. Hal ini dikarenakan aktivitas MD menghabiskan banyak watu seseorang yang melakukannya.
- Masalah dalam bersosialisasi. Orang yang melakukan MD memiliki kecenderungan untuk mengabaikan hubungan dan interaksi sosial dengan orang lain dan lebih memilih untuk berfantasi.
- Dorongan untuk terus melakukan MD. Orang yang sering melakukan MD bisa merasa kesal apabila mereka melewatkan waktu untuk berkhayal.
- Perasaan malu, tertekan, dan bersalah. Orang yang melakukan MD seringkali dilanda rasa malu, tertekan, dan bersalah karena aktivitas itu menjadi penyebab utama terhambatnya dan terganggunya aspek-aspek kehidupan sehari-hari mereka.
- Gangguan tidur. Orang yang melakukan MD sering mengalami kesulitan untuk tidur, khususnya di malam hari.
Â
4. Tips mengurangi frekuensi maladaptive daydreaming
Dari beberapa dampak MD yang sudah disebutkan, jelas sekali bahwa MD bukanlah sebatas aktivitas berkhayal yang efeknya bisa disepelekan. Jika tidak ada niat dan upaya untuk menguranginya, dikhawatirkan MD bisa menimbulkan efek yang lebih serius, contohnya seperti gangguan kecemasan dan depresi. Musetti et al. (2021) di jurnal Frontiers in Psychology mengklaim bahwa orang yang melakukan MD memiliki gejala kecemasan dan depresi yang lebih tinggi dibanding orang yang tidak melakukan MD. Karenanya, adalah sebuah keharusan bagi seseorang untuk mencoba mengurangi frekuensi atau intensitas aktivitas MD. Hal ini bisa dilakukan melalui beberapa cara, yakni:
- Melakukan kegiatan lain atau hobi yang positif. Mengurangi intensitas aktivitas MD bisa dimulai secara bertahap dengan melakukan kegiatan lain yang lebih positif, seperti menekuni hobi, khususnya yang bisa dilakukan di luar ruangan.
- Mulai memperbanyak interaksi dengan keluarga, teman, dan orang sekitar. Seseorang menjadi sering, kecanduan melakukan MD dikarenakan kurangnya aktivitas dan interaksi sosial dengan orang lain.
- Menjauhi hal-hal yang bisa memicu dorongan untuk melakukan MD, seperti mengurangi membaca buku-buku fiksi, konten sosial media, atau musik-musik yang bersifat sugestif. Aktivitas membaca buku fiksi bisa diganti dengan membaca buku non fiksi.
- Mencari bantuan dan menghubungi pihak profesional. Apabila aktivitas MD dirasa sudah sangat mengganggu dan menimbulkan masalah serius pada kesehatan mental, menghubungi bantuan pihak profesional (psikolog/psikiater) bisa menjadi jalan untuk menanganinya.
Â
Nah, sekarang kamu jadi lebih tahu mengenai aktivitas membuat fake scenario dan efek negatifnya jika dilakukan secara berlebihan. Intinya, sesuatu yang dilakukan dengan berlebihan tidak pernah berakhir baik. Begitupula dengan MD. MD memang menawarkan kesenangan, tapi patut diingat, euforianya hanya bersifat sementara dan berjangka pendek. Alih-alih, MD hanya akan mendatangkan banyak dampak negatif pada kehidupan kamu.
Sekarang, pertanyaannya, apakah kamu termasuk salah satu orang yang secara tidak sadar telah melakukan, dan mungkin, sudah ketagihan dengan maladaptive daydreaming (MD)?
Â
Â
Referensi
[1] Musetti, A., Franceschini, C., Pingani, L., Freda, M. F., Saita, E., Vegni, E., Zenesini, C., Quattropani, M. C., Lenzo, V., Margherita, G., Lemmo, D., Corsano, P., Borghi, L., Cattivelli, R., Plazzi, G., Castelnuovo, G., Somer, E., & Schimmenti, A. (2021). Maladaptive Daydreaming in an Adult Italian Population During the COVID-19 Lockdown. Frontiers in Psychology, 12. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2021.631979
[2] Ross, C. A., Ridgway, J., & George, N. (2020). Maladaptive Daydreaming, Dissociation, and the Dissociative Disorders. Psych Res Clin Pract, 2, 53--61. https://doi.org/10.1176/appi
[3] Vyas, M., Shaikh, M., Rana, S., & Pendyala, A. G. (2024). Is this the real life? Or just a fantasy? A closer look at maladaptive daydreaming. In Mental Health and Social Inclusion (Vol. 28, Issue 3, pp. 252--260). Emerald Publishing. https://doi.org/10.1108/MHSI-01-2023-0014
[4] https://maladaptivedaydreaming.org/blogs/md/immersive-daydreaming-vs-maladaptive-daydreaming
[5] https://www.discussingpsychology.com/maladaptive-daydreaming/maladaptive-daydreaming-vs-daydreaming/
[8] https://www.newportinstitute.com/resources/co-occurring-disorders/maladaptive-daydreaming/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H