Haloo Everyone..Â
Kembali bersama aku Ayunda, di minggu ke-2 Modul Nusantara. Di minggu ini kami melaksanakan kegiatan Refleksi dengan mencoba mengenal salah satu budaya di daerah Ujung Berung, Bandung yang disebut dengan Bebenjangan. Benjang ini kami kenali melalui sebuah film documenter dari salah satu Mahasiswa Ftv di UPI Bandung bernama Belva Atsa.Â
Sebelum kita masuk lebih dalam ke pembahasan film ini, mari mengenal apa yang dimaksud dengan Benjang terlebih dahulu. Benjang adalah sebuah seni yang berasal dari Ujung Berung, Bandung. Yang mana Benjang ini sebuah kesenian yang memadukan seni dan beladiri. Benjang terbagi atas Benjang Helaran (Hiburan), Topeng Benjang, dan Benjang Gelut. Benjang Helaran yaitu sebuah pertunjukan yang menampilkan arak-arakan Bangbarongan, kuda lumping, dan juga kuda renggong. Di helaran ini para pemain biasanya juga mengalami kesurupan untuk menarik penonton. Berbeda dengan Helaran, Benjang Gelut merupakan benjang yang menampilkan seni bela diri seperti gulat yang didalam bahasa suda disebut Gelut. Â
Kesenian adalah cermin dari budaya sebuah masyarakat, merekam jejak sejarah, dan mengungkapkan identitas kolektif. Namun, bagaimana jika seni yang seharusnya memperkaya jiwa malah terperosok dalam kegelapan perilaku yang merugikan? Inilah yang menjadi fokus sebuah film dokumenter yang menggugah dari daerah ujung Berung, yang mengupas tuntas realitas seni Benjang yang terdistorsi dari norma seninya.
Benjang, sebuah ragam seni yang kaya dan bermakna, menyajikan beragam pertunjukan yang menghibur, mulai dari kuda kepang/lumping, reog, hingga berbagai jenis atraksi lainnya. Namun, di balik gemerlap panggung, tersembunyi cerita gelap yang mengintai. Film dokumenter ini mengungkap bahwa praktik seni Benjang telah melenceng dari jalan yang seharusnya, tertutup dalam bayang-bayang minuman keras dan obat-obatan terlarang yang mengaburkan akal sehat para pelakunya.
Tak hanya itu, kegelapan semakin menebal dengan perilaku yang meresahkan, dari pelukan yang tidak senonoh hingga modus-modus yang meresahkan demi memuaskan nafsu semata. Seni yang seharusnya menjadi sumber kegembiraan dan inspirasi bagi penikmatnya, kini tercemar oleh dampak negatif yang meresahkan.
Namun, dalam kegelapan itu, sinar harapan masih bersinar. Film dokumenter ini, yang telah meraih penghargaan sebagai yang terbaik dan mendapat nominasi bergengsi seperti Piala Maya, menjadi tonggak penting dalam menyoroti masalah ini. Tujuan utamanya bukan hanya untuk mengungkapkan ketidaksesuaian praktik seni Benjang dengan norma seninya, tetapi juga untuk memberikan suara kepada para perempuan yang menjadi penikmat seni ini, yang mungkin telah terpinggirkan oleh ketidakberesan yang terjadi.
Diharapkan bahwa melalui penayangan film ini, para pelaku seni Benjang dapat kembali memahami esensi sejati dari seni mereka, menjauhkan diri dari praktik-praktik yang merusak dan melecehkan, serta mengembalikan keaslian dan keindahan seni Benjang sesuai dengan ranahnya yang sejati. Kita bersama-sama berharap agar seni Benjang kembali menjadi sumber kebanggaan dan kegembiraan bagi seluruh masyarakat, tanpa meninggalkan luka dan keresahan di hati mereka yang mencintainya.
Reporter : Ayunda Pratiwi
Editor : Salsa Solli Nafsika, M.Pd.
Narasumber : Belva Atsa (https://www.instagram.com/belva.ats?igsh=MXZrc25oZzhnNGJpdg==)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H