Akan tetapi, humor-humor yang diselipkan tak dapat menahan haru yang meresap ke hati setiap penonton Keluarga Cemara. Keharuan tak hanya dimunculkan oleh dialog-dialog dan adegan-adegan mengharukan, tetapi juga terbangun oleh musik latar yang mengiringi. Saat Abah berdiri termangu di depan rumah, lalu terdengar suara merdu Rara Sekar diiringi petikan gitar.
Rumah kosong... sudah lama ingin dihuni....
Rasa haru meresap diam-diam, hingga tanpa sadar, mata saya basah. Sebagai anak rantau, serta-merta saya kangen rumah.
Keluarga Cemara mengajak saya bernostalgia pada masa kecil ketika serial ini tayang. Tetapi nuansanya jelas berbeda. Dulu, serial Keluarga Cemara murni sebagai hiburan sepulang sekolah.Â
Pikiran bocah saya tak pernah merenungkan lebih jauh mengenai serial ini. Tetapi sekarang, Keluarga Cemara versi film tayang saat saya sudah dewasa, saat kebanyakan orang sudah mulai berkeluarga. Dari film ini saya belajar hal penting yang berkaitan dengan parenting. Ialah mendengarkan anak.
"Dengerin Abah."
"Abah selalu minta didengerin, tapi nggak pernah dengerin Ara."
Saya pernah menjadi seperti Ara yang ingin didengar pendapatnya. Tapi siapa sih saya saat itu? Hanya bocah ingusan yang pendapatnya tak akan dianggap oleh orang dewasa.Â
Dan, saya tak mau kelak anak saya merasa tidak didengar. Ya, mendengarkan pendapat anak penting, bukan? Meski pendapatnya mungkin tidak dijadikan landasan untuk sebuah keputusan, tapi orang tua harus memberi pengertian bahwa pendapatnya belum atau tidak bisa diterima. Dengan begini, paling tidak, anak merasa dihargai, dipedulikan, dan didengarkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H