Bayangkan jika setiap kubik volume oksigen di udara yang kita hirup memiliki nilai moneter seperti halnya emas. Emas berharga karena sifatnya yang anti korosif, konduktor listrik yang baik, serta langka. Melihat kerusakan lingkungan yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia akibat berbagai proses pertambangan maka kelangkaan ekstrim sumber daya alam dalam menyediakan berbagai produk dan jasa bagi kehidupan merupakan hal yang sangat mungkin terjadi.
Selama ini, kita tidak pernah menyadari kontribusi ekonomi yang begitu besar dari alam melalui berbagai produk dan jasa yang dihasilkannya. Alam selalu dipandang sebagai sebuah pabrik yang mampu menyokong kehidupan manusia selamanya dan bukan sebagai sebuah pasar yang menerapkan prinsip simbiosis mutualisme seperti halnya antara penjual dan pembeli.
Masyarakat merupakan lahan kompetisi nilai dan kepentingan. Degradasi alam yang semakin cepat terjadi, selalu dipicu oleh pola perilaku masyarakat yang ingin mencapai kepuasan individu secara optimal, sementara alam bukanlah penyedia kebutuhan hidup setiap makhluk hidup namun untuk semua makhluk hidup.
Jika setiap daya dukung alam terhadap kehidupan telah memiliki label harga maka manusia pun akan lebih “berhati-hati” dalam memanfaatkan nilai guna alam. Manusia pada akhirnya mampu menciptakan “kesinambungan alam” untuk menciptakan lingkungan yang kondusif demi menyokong kehidupan setiap makhluk hidup dalam jangka waktu yang lama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H