Mohon tunggu...
ayu mutmainnah
ayu mutmainnah Mohon Tunggu... Lainnya - seorang hamba Tuhan yang gak suka berdoa, tapi sukanya dikabulin.

lebih suka nonton anime daripada drakor, sebab sesuatu yang romantis itu bikin miris.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Ketika Jejak Si Gundul Kehilangan Eksistensinya

16 Desember 2022   13:22 Diperbarui: 16 Desember 2022   15:14 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Si Gundul, apa yang kalian ingat pertama kali saat mendengar kata 'gundul'? Mendengar kata itu, mungkin diantara kita seketika akan teringat dengan syair Gundul-gundul Pacul. Selain itu, adapula acara di salah satu stasiun televisi, yakni acara favorit para petualang. Acara yang menyajikan seorang pemeran berkepala plontos, tetapi dibalik kepala plontos tersebut bukan berarti memlontosi alam. Justru kegundulannya menunjukkan betapa luwes dan telatennya dia dalam mencintai alam.

Dalam retrorika perjalanan si gundul, dapat ditilik bahwasannya selain sebagai bahan candaan menghemat shampo, kegiatan menggundul memiliki makna yang dalam. Misalnya Bhikku, seorang Bhikku dianjurkan bahkan diwajibkan untuk berkepala plontos. Sejak zaman Buddha Kassapa, Sammasambuddha dan Buddha Gotama dalam riwayat hidupnya suka dengan   kepala gundul. Menurut mereka, menghilangkan seluruh rambut dalam kepala merupakan bentuk menyepi dari keduniawian. 

Sehingga dalam aturan kebhikkuan (buddhazine.com), rambut kepala Bhikku tidak diperbolehkan tumbuh lebih dari dua bulan, atau melebihi dua inchi atau dua jari panjangnya. Pun demikian, orang gundul umumnya identik dengan orang cerdas, contohnya Mahatma Gandhi, Aristotle, Napoleon dan Darwin. Jadi, tidak heran apabila kepala gundul menjadi daya tarik tersendiri bagi pecintanya. Namun, seiring berjalannya waktu, filosofi gundul mulai tercederai. Bani tertentu telah menghilangkan eksistensi sepak terjang kaum yang satu ini. 

Sedikit narasi, dulu, konon katanya ada insan tertentu yang hobi memelihara perkara berbau botak. Sebut saja, tuyul. Memang pada dasarnya tuyul tergolong takhayul, tapi sudah lumrah kiranya di Indonesia terutama di Jawa percaya apabila mengadopsi tuyul dapat membuat si tuan kaya raya. Karena sosoknya berupa demit kecil, cerdik dan gundul, maka secara otomatis ada banyak tuan yang sengaja bersekutu dengan makhluk gaib demi tercapainya suatu target.

Dalam meraih target yang berlandaskan jalan hitam seperti itu, tentu akan selalu ada risiko yang diterima. Istilah lainnya adalah tumbal. Mengenai tuyul, selama proses menjalankan praktik, mereka akan meminta imbalan sebagai ganti kekayaan yang telah diberikan. Memang menakutkan dan ribet. Tetapi untuk saat ini Si Tuan (para pencari harta) tak perlu lagi repot mencari kekayaan dengan sosok-sosok yang berada di dunia lain. Yang mana mereka tak lagi memerlukan kolega demit untuk mengambil uang rakyat. Cukup dengan menggunduli aturan  alam saja, maka semua akan  terselesaikan. 

Dengan demikian, tak aneh apabila sejak jaman kala bendu negeri ini terus menerus kalah bondo.  Sejak zaman Majapahit julukan  gemah ripah loh  jinawi semarak digaungkan  untuk nusantara, mulai detik ini patut kiranya dipertanyakan keberadaannya. Masa waktu hanya menunjukkan gemah ripah (Negara yang luas) tetapi tidak lagi loh jinawi (subur dan makmur). Setiap suku di nusantara selaku yang bersangkutan langsung dengan alam, tentu ingin ikut serta mengelola alam dengan sebaik mungkin. Tapi nyatanya mereka tak bisa leluasa mengelola. Hanya bisa menggarap sedikit lahan tapi tidak leluasa menikmati hasil.

Secara historis, selama ini para penikmat alam bukanlah pribumi asli. Andaikata pribumi asli, toh endingnya hanya bani-bani tertentu saja yang dapat menikmati. Pengelolaan alam yang membuat kemelut dimensi mulai barbar. Ekspansi lahan tak terkendali mengakibatkan penduduk asli merasa terusir dari wilayahnya sendiri. Mereka tak lagi bisa bersahabat dengan alam. 

Sesuai dengan Hasil Riset Aksi (Action Research) yang dilakukan oleh Greenpeace sejak 2019 menyatakan bahwa ekspansi perkebunan sawit di Papua dan Papua Barat terdeteksi menimbulkan pengaaruh negatif  pada masyarakat. Keinginan untuk menjadikan bumi Cendrawasih agar lebih berdaya justru tak berarti apa-apa. Sumber daya alam yang dikorbankan ternyata tak membawa dampak signifikan terhadap kesejahteraan, kualitas sumber daya manusia dan penurunan angka kemiskinan. Mirisnya adalah dibalik ekspansi tersebut telah terselubung motif koruptif. Sehingga hal tersebut mengabitkan bumi emasnya pertiwi ini mulai terkikis kilaunya. 

Efek dari kerusakan alam baik dari tanah Papua maupun daerah lain sudah terasa sejak lama. Oleh karena itu, pada tanggal 23 September 2022, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan selaku National Focal Point (UNFCCC), menyampaian peningkatan ambisi penurunan emisi gas rumah kaca melalui dokumen Enhanced NDC (ENDC) Indonesia. Semua upaya dilakukan sebagai amanat atau pengingat bersama, selaku warga Indonesia agar mentransformasikan diri. Yang awalnya acuh dengan alam, menjadi cinta dengan alam. Yang mulanya memanfaatkan tapi tak bertanggung jawab berubah menjadi sosok yang lebih bermartabat dan sadar atas kesalahannya.

Apabila ditarik dari wilayah timur hingga ke barat, sejatinya sama saja. Bencana alam terjadi dimana-mana. Banjir tak bisa dihindari. Jika sudah ada bencana para manusia seolah-olah langsung sadar dan kembali pada sang Pencipta, lalu seketika berdoa "pray for A and B". sesungguhnya itu telat, tapi tak salah juga sih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun