Tujuan manusia pada umumnya adalah untuk mencapai kehidupan yang layak dan hidup dengan bahagia. Seringkali standar yang dianggap suatu "kebahagiaan" adalah hal yang bersifat duniawi. Situasi inilah yang kemudian membuat manusia lupa bahwa kebahagiaan yang diperoleh selama hidup di dunia ini hanya bersifat sementara. Tidak bisa dipungkiri, tidak sedikit kebahagiaan yang kita rasakan sebagai manusia berasal dari harta dan kekayaan, maka tidak heran banyak manusia bekerja dengan keras setiap hari dan mencari berbagai cara untuk melimpahkan diri mereka dengan kekayaan. Apakah hal itu salah? Tentu saja tidak, karena manusia memang memiliki segudang ambisi untuk memenuhi kebutuhan dan hasrat mereka. Namun, tidak jarang untuk memenuhi ambisi mereka, manusia memilih jalan pintas yang menentang ajaran dharma (kebaikan), seperti tindakan korupsi yang sampai saat ini masih menjadi penyakit dalam diri manusia.
Korupsi adalah tindakan memperkaya diri dengan cara mengambil hak milik orang lain demi kepentingan pribadi, yang dilakukan secara sadar untuk memenuhi nafsu mereka. Korupsi jika dikaitkan dengan konsep ajaran agama Hindu merupakan salah satu contoh dari bagian Panca Ma, yaitu Mamaling yang dimana tindakan tersebut sangat melenceng dari ajaran dharma. Panca Ma adalah lima tindakan yang membuat manusia melakukan perbuatan asusila dan menjauhkan manusia dari jalan untuk menuju moksa. Bagian Panca Ma ini terdiri dari Madat (menghisap candu, seperti narkoba, ganja, heroine, dll), Mamunyah (mabuk-mabukan akibat minuman keras), Mamotoh (bermain judi), Madon (berzina dengan seseorang yang bukan suami atau istrinya), dan Mamaling (mencuri milik orang lain).
Dari penjelasan singkat mengenai Panca Ma tersebut, sudah sangat jelas bahwa korupsi adalah tindakan yang mencerminkan salah satu bagian dari Panca Ma, yaitu Mamaling. Korupsi ibaratnya sama dengan mencuri, yaitu mengambil hak milik orang lain untuk kepentingan diri sendiri, dan bisa merugikan banyak pihak. Kemudian dari tindakan Mamaling (Korupsi) tersebut bisa menjadi benang merah untuk melakukan bagian Panca Ma yang lainnya.
Hasil dari tindakan Mamaling (korupsi) bisa saja digunakan untuk melakukan perbuatan adharma yang lainnya atau tindakan korupsi memang sengaja direncanakan untuk melakukan perbuatan adharma demi memuaskan hasrat dan nafsu mereka. Misalnya, hasil korupsi tersebut digunakan untuk mengkonsumsi narkotika (madat), mabuk-mabukan (mamunyah), bermain judi (mamotoh), bahkan berzina dengan suami atau istri orang lain (madon). Hasil dari tindakan adharma yang dimanfaatkan untuk melakukan tindakan adharma lainnya tentu dosanya akan berkali-kali lipat, ibarat kata mencari dosa di tengah-tengah dosa.
Dalam teori kebanyakan, cara manusia untuk mendapatkan kebahagiaan adalah dengan cara bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas anugerah yang telah diberikan oleh-Nya. Apakah hal ini salah? Tentu saja tidak, karena bersyukur adalah cara yang paling sederhana untuk manusia mendapatkan kebahagiaan. Kondisi ini terjadi ketika manusia percaya kepada kuasa Tuhan dan berserah diri serta berpasrah pada kuasa Tuhan atas usaha yang telah dilakukan. Tetapi, menjadi manusia jika hanya bisa berpasrah tanpa adanya ambisi tentu hasil yang diterima akan berbeda. Adanya ambisi dalam diri manusia sebenarnya tidak selalu buruk, tetapi terkadang manusia lupa untuk mengontrol ambisi tersebut yang kemudian menjadi nafsu semata dan berujung pada ketamakan. Dalam konteks korupsi, nafsu dan ketamakan yang disertai kesempatan adalah faktor utama penyebab terjadinya korupsi.
Ditinjau dari cara sederhana untuk mencapai kebahagiaan, yaitu bersyukur dan berpasrah kepada Tuhan, maka kedua hal tersebut tidak berhubungan dengan tindakan korupsi. Korupsi bukanlah suatu tindakan yang didasari oleh kepasrahan, tetapi didasari oleh hawa nafsu, ketamakan, dan ambisi terhadap kekayaan duniawi yang berlebihan serta dilakukan secara sadar dan terencana. Sedangkan kepasrahan dan bersyukur terjadi saat kondisi seseorang bisa menerima hasil dengan lapang dada sesuai dengan usaha yang mereka lakukan.
Dalam konsep ajaran Hindu, tindakan korupsi ini timbul karena seseorang tidak bisa mengendalikan hawa nafsu mereka, yang dalam ajaran Hindu disebut dengan Sad Ripu. Sad Ripu adalah enam musuh yang ada pada diri manusia yang terdiri dari Kama (hawa nafsu), Lobha (rakus, tamak), Krodha (kemarahan), Moha (kebingungan), Mada (mabuk), dan Matsarya (iri hati, dengki). Dalam konteks korupsi, keenam bagian Sad Ripu ini saling berhubungan satu sama lain.
Seseorang yang tidak bisa mengendalikan hawa nafsu (kama) akan rasa untuk memiliki harta yang lebih akan membuat dirinya menjadi rakus dan tamak (lobha). Kemudian apabila hawa nafsu tersebut tidak bisa ia penuhi maka akan ada kemarahan (krodha) dan kebingungan (moha) dalam dirinya. Kemarahan dan kebingungan ini dapat menjadi penyebab seseorang mencari harta dengan jalan pintas, seperti korupsi. Tidak jarang korupsi tidak hanya dilakukan sekali, tetapi berkali-kali karena koruptor (orang yang melakukan tindakan korupsi) tersebut selalu merasa kurang dan adanya kecanduan serta kemabukan (mada) untuk menikmati hak milik orang lain. Kehidupan kita sebagai manusia memang tidak pernah lepas dari persaingan. Persaingan ini seringkali memicu sifat dan sikap buruk, seperti iri hati dan dengki. Ketika melihat orang lain lebih sukses, tidak jarang manusia akan mengeluarkan sifat iri hati mereka alih-alih sebagai motivasi untuk menjadi sukses seperti orang tersebut. Sifat iri hati (matsarya) jika dikaitkan dengan tindakan korupsi tentu sangat bisa menjadi penyebab korupsi. Ketika seseorang iri dengan pencapaian orang lain dan merasa ingin lebih daripada orang tersebut, maka tidak jarang mereka mengambil jalan pintas dengan melakukan korupsi apabila mereka tidak bisa mengendalikan sifat buruk tersebut.
Dalam keyakinan Hindu, sifat-sifat Sad Ripu ini dapat dikalahkan dengan melakukan upacara Mepandes. Meskipun demikian, sejatinya sifat tersebut akan tetap ada dalam diri manusia karena telah menjadi bagian dari diri manusia. Oleh karena itu, sebagai manusia yang dibekali akal pikiran seharusnya bisa mengendalikan keenam sifat buruk tersebut agar tidak merugikan orang lain dan juga diri sendiri.
Sarasamuscaya sloka 267 menyatakan bahwa, "Seorang bangsawan sekalipun, jika dia mendapatkan harta dengan cara paksa akan sirnalah kebangsawanannya yang disebabkan sifat lobha itu. Kewibawaannya akan lenyap dan kebijaksanaannya akan hilang."
Menilik dari sloka tersebut, banyak pejabat atau orang dengan kekuasaan lain yang setelah melakukan korupsi akan mendapatkan sanksi sosial dari masyarakat. Ketika mereka (koruptor) melakukan tindakan korupsi, meskipun mereka telah memberikan hal-hal baik maka masyarakat tetap akan melihat mereka sebagai seorang koruptor dan melupakan kebaikan-kebaikan yang mereka lakukan. Oleh sebab itu, pada sloka disebutkan bahwa kewibawaannya akan lenyap.
Tindakan korupsi tergolong tindakan yang melanggar konsep ajaran dasar agama Hindu, yaitu Tri Kaya Parisudha. Tri Kaya Parisudha adalah tiga perilaku manusia yang mencakup aspek dalam berpikir (Manacika), berbicara (Wacika), dan berbuat (Kayika) yang baik dan benar. Semua perkataan dan tindakan yang dilakukan manusia bersumber dari pikiran. Apapun yang dipikirkan, maka hal itu pula yang akan diucapkan atau dilakukan. Buah pikiran yang diwujudkan dalam bentuk perkataan atau tindakan tidak hanya berdampak pada diri sendiri, tetapi bisa berdampak juga untuk orang lain. Berbeda jika buah pikiran tersebut tidak direalisasikan, maka hanya diri sendiri dan Tuhan yang tahu isi pikiran tersebut. Meskipun demikian, direalisasikan atau tidak manusia tetap harus memberikan stimulus positif untuk pikiran mereka agar senantiasa berada di jalan dharma.
Dalam Hindu, manusia dianggap sebagai makhluk hidup yang paling sempurna dibanding yang lainnya, karena manusia dibekali pikiran (manah) yang digunakan untuk memilah perbuatan yang benar dan salah. Begitupun seorang koruptor yang juga seorang manusia, maka sudah jelas mereka juga dibekali manah (pikiran) oleh Tuhan.
Manusia diberikan akal dan pikiran agar menjadi manusia yang berwiweka, yaitu mampu memilah dan menimbang segala sesuatu yang baik dan buruk (subha dan asubha karma), menimbang perbuatan yang tergolong amal atau dosa, dan menimbang mana kepalsuan dan kejujuran yang selanjutnya dapat digunakan untuk menentukan keputusan atau kebijakan. Sebagai manusia tentu sudah seharusnya memanfaatkan akal dan pikiran untuk melakukan hal-hal yang positif, bukan malah berperilaku yang negatif apalagi sampai menjauhkan diri dari ajaran dharma. Orang-orang yang melakukan tindakan korupsi adalah orang yang pikirannya dipenuhi oleh hal-hal negatif, mereka tidak pernah merasa puas atas pencapaian hidupnya dan ingin terus menambah kekayaan mereka meskipun dengan menempuh jalan yang menentang ajaran agama sekalipun, akan mereka lakukan demi memenuhi hasrat dan ketamakan mereka.
Korupsi merupakan tindakan yang menyimpang dari ajaran agama. Nafsu untuk memiliki semua nikmat duniawi membuat manusia jauh dari rasa bersyukur dan membuat manusia menjadi tamak. Korupsi adalah tindakan jahat yang sangat merugikan orang banyak. Hukuman bagi pelaku korupsi tidak hanya hukuman tertulis yang diberikan oleh negara, tetapi juga hukum karma. Hasil yang diperoleh dari tindakan korupsi memang memberikan kebahagiaan duniawi. Namun, kebahagiaan yang diperoleh dengan cara yang tidak pantas hanyalah kebahagiaan sesaat. Selanjutnya, hukum karma akan memberikan ganjaran bagi para pelaku korupsi. Oleh karena itu, sebagai manusia yang dibekali akal pikiran hendaknya harus bisa mengontrol diri untuk tetap sejalan dengan ajaran dharma.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H