Dinding pengharapan ini bisu tak berbentuk, tak dapat lagi kubaca apa yang aku tulis.
Hanya satu yang dapat ku baca, masih kuingat kapan pensil lusuh ini aku goreskan.
Ejaan namamu ku tulis beserta harapan dan kebahagiaan.
Asa ini tak dapat bersuara di dunia nyata.
Pekiknya hilang ditelan kesakitan.
Kesakitan menerima kenyataan bahwa kau telah miliki tambatan hati, dan tengah dalam pengharapan sepertiku.
Setidaknya itulah hipotesis yang ku konsep dalam benakku.
Akhlaq dan kepribadianmu menjadi alasan kuat mengapa ku goreskan namamu pada dindingku.
Semula, tak ter-prediksi bahwa bisa sejauh ini pengaruhmu.
Hingga setahun berlalu.
Asa ini tak juga lenyap.