[caption id="attachment_134833" align="aligncenter" width="300" caption="The Coincidence Gesture | Ayu Kusumaningrum"][/caption]
Malam itu, aku akan mengirimkanmu pesan singkat. Permintaan yang lebih mengarah pada pernyataan yang harus dipenuhi. Kamu harus menjadi teman kencanku besok. Tidak dua puluh empat jam tepatnya, waktu akan kita diskusikan nanti. Nanti yang adalah (seharusnya) hari ini.
Kamu akan menjemputku di depan gang rumah, lalu aku akan memintamu untuk mampir sejenak. Agar mama tahu dengan siapa malam ini aku akan menghabiskan waktu. Agar mama melihat lagi kamu sebagai kamu. Euh, kamu harus tahu, dia selalu bertanya-tanya akanmu. Padahal tak secuil pun aku menceritakan kamu, sungguh. Instingnya kah? Entahlah, yang pasti aku hampir seminggu sekali mendengarnya cecuap, “Itu siapa namanya, yang rambutnya keriting, yang waktu itu pernah rebutan kamar mandi sama bapak? Apa kabarnya dia?”. Mungkin dia selalu bertanya, karena aku memang selalu menjawab dengan gumaman. Setidaknya mulai malam ini, aku sudah tidak usah lagi mendebat rambutmu dengannya, mengenai lurus atau keriting maksudku. Tak penting, kan? Maksudku, rambutmu kan tidak segaling itu!
Setelahnya, kamu membawaku ke toko buku. Terserah toko apa, sesuai kesepakatan. Kamu kan tahu, aku tidak bisa sebentar bila sudah jelalatan di tengah-tengah display buku-buku. Nanti, aku akan langsung menjamahi rak novel, budaya, atau kesusastraan. Kamu akan berdiri di depan rak komik, atau novel pop, kearsitekturan, sinematografi, atau rak buku-buku agama. Lalu aku bilang sudah. Lalu kamu bernapas lega lagi. Lalu aku ke kasir. Lalu kita pergi ke destinasi selanjutnya...
Makan. Kamu duduk di hadapanku. Kamu tahu aku tak suka duduk bersebelahan atau berdiagonalan dengan lawan bicara. Maka di situ lah kamu, di hadapanku. Bisa jadi saat itu kamu akan bersikap (sok) santai sambil sesekali menahan tawa. Atau kamu akan sibuk memainkan ponselmu. Hah, kebiasaan burukmu, menurutku. Maksudku, itu membuatku merasa lebih tidak menarik dibanding gadget. Aku, saat itu, akan terlihat (sok) tenang-tenang saja.
Obrolan kita saat itu mungkin akan menjadi seperti, entahlah, pasti lah aku yang akan kerepotan mencari bahan obrolan. Aku akan membahas kado ulang tahunmu. Kembali bertanya apa kamu marah atau tidak. Kamu akan menggeleng sambil tersenyum (kamu lalu protes, karena pertanyaan itu sudah pernah aku ajukan). Aku akan nyengir, lalu menghabiskan minumanku cepat. Kamu menahan tawamu di situ. Aku lalu memancing, barangkali ada yang mau kamu tanyakan mengenai kado itu. Ah, macam aku sendiri tahu saja kado itu artinya apa! Kamu akan bertanya satu, dua hal, dan (seperti biasa) akan kujawab berputar-putar. Kamu menggelengkan kepala. Baru aku katakan intinya. Kamu tersenyum. Kamu mungkin tidak merasa, rasa bersalahku.
“Setelah ini ke mana lagi?” pertanyaanmu pasrah.
“Nonton. Pokoknya lo jadi cowok gue sehari ini!” aku akan mengatakannya dengan nada super posesif anak umur empat tahun. Kamu menggeleng lagi sambil tersenyum. Saat itu mungkin kamu akan menggoda,
“Kenapa cuma sehari?” aku akan langsung menjawab, kalau untuk waktu panjang, harus kamu yang meminta, bukan aku. Saat itu, kamu mungkin akan diam, kamu mungkin akan terbahak.
Di dalam bioskop, kamu duduk di sebelahku. Bersiap menonton film bodoh buatan lokal. Lalu mulai sikut-sikutan ketika ada adegan tolol yang memang sudah seharusnya dimaklumi. Kamu minum air mineral. Aku minum milo. Aku bayangkan itu adalah midnight pertama kita. Setelah beberapa dekade hanya kamu wacanakan saja tanpa eksekusi.
Aku menggandeng lenganmu, itu seperjalanan ke arah parkiran. Lampu mall sebagian besar sudah dipadamkan. Aku lebih ingin menjadikan lengan kirimu sebagai mataku saat itu, daripada harus memakai kacamataku. Seperjalanan, kamu akan mengulum senyum geli dengan gestur posesifku yang lagi-lagi.
Di perjalanan, aku akan memegangi kedua pinggiran jaketmu. Lalu menyandarkan pipiku di punggungmu, merasai satu-satu tulang belakangmu. Kamu (seperti biasa) akan menganggapku ketiduran, lalu laju motor akan kamu buat lambat. Saat kamu membelakangiku, saat aku bisa berbuat sesukaku. Memorabilia simultan...
Pada satu senja, aku hanya mematung memandangi kepalamu yang ditutupi helmet bergerak-gerak nakal tak mau diam, pada senja yang lain fokusku ada pada rambutmu yang awut-awutan pun berminyak, atau pada tengkukmu, atau pada punggungmu yang menutupi seluruh pandangku. Pada satu malam aku akan menangis di situ, pada malam yang lain aku hanya diam tak bergerak sambil menghirupi baumu, merasakan hangatmu, mengisikan energi. Kamu tidak tahu, aku merindukan itu. Kamu tidak tahu, aku sangat tergila-gila dengan punggungmu daripada bahumu. Ah, kamu selalu tidak tahu.
Baiklah, aku memang tidak memberimu tahu. Ah sial. Ternyata lagi-lagi kesalahan ada padaku.
Kamu akan berhenti di depan gang rumahku, menawarkan apa aku mau diantar sampai depan pintu. Aku akan menolak (dengan sangat tidak ikhlas hati), dengan alasan sudah lebih dari jam dua belas, maka kontrakmu denganku sudah habis. Aku minta kamu melepaskan helmetku. Kamu akan menggelengkan kepala lagi sambil berdecak. Aku akan memintamu melepas helmetmu sendiri karena aku bilang mau memelukmu. Kamu menurut.
Aku akan memelukmu pelan-pelan, pelan sekali seperti satu guncangan saja yang kubuat akan dapat merusakmu berkeping-keping. Aku tidak mau. Pelan sekali. Aku tidak tahu apa memang aku takut kamu pecah berantakan atau aku yang akan luluh lantak duluan. Maka memang harus sangat pelan.
Saat itu aku akan diam sebentar, mengatur napas, lalu berdoa pada Tuhan. Semoga, semoga, dan semoga. Kamu harus ini, dan itu, dan, dan, dan, dan, dan. Kamu saat itu akan diam mendengarkan. Entah akan membalas pelukanku atau hanya diam. Aku akan bilang betapa paranoidnya aku untukmu, maka kamu akan tahu efeknya padaku bila kamu tidak bahagia: aku akan bermimpi buruk seabad-abad. Kamu tertawa. Kamu akan bilang aku drama. Aku akan tertawa mengiyakan. Sambil mengacak rambutmu. Setidaknya aku lega.
Sebelum kamu menyalakan mesinmu, aku akan bilang aku akan sangat merindumu. Lalu aku memberimu boneka penuh bulu. Aku bilang aku iseng membeli. Padahal aku ingin kamu mengingatku di setiap malam-malammu. Lalu malam itu, di kamarku sendiri, aku akan tidur terlelap. Sambil senyam-senyum mungkin, membayangkan wajah terheran-heranmu dengan (lagi-lagi) boneka dariku.
Tapi malam ini, bukan malam itu. Ini malam yang nyata, dan itu adalah rancangan otakku. Ini adalah malam sepi ditemani koper besar. Itu adalah malam ideal ditemani kamu. Aku, malam ini, masih mematung menatapi ponsel sambil berpikir lima juta dua ratus kali sebelum mengirimimu pesan untuk kencan. Aku mungkin terbiasa dengan alasan-alasanmu untuk tidak lagi menemuiku, tapi untuk kali ini, sungguh, aku sedang tidak ingin ditepis. Maka aku hanya diam. Lagi-lagi. Tenggelam dalam rasa takut akan penolakan. Tak diinginkan.
Maka aku akan pergi. Untuk sejenak. Lagi. Walau tanpa energi ekstra darimu, aku harap di sana kamu merestui aku. Aku akan menari, ke sana, ke mari. Memberikan koreografi terbaikku untuk negri ini. Sampai saat kita bertemu lagi, entahlah, aku tak mau membayangkan kamu terhapus oleh prosesor otakku. Ah, apa kita memang sudah tidak bisa bertemu lagi seperti dulu, ya?
Hey, tulang belakang favoritku, baik-baik, ya. Saya sayang kamu. Sayang sekali.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H