September 2004
Malam itu, lapangan di Antang suksesdisulap menjadi Pasar malam yang meriah. Puluhan kios didirikan dan menjajakanberbagai macam hal. Ada makanan, aksesoris, pakaian dll. Ditambah lagi belasanpermainan. Ada bianglala, kereta kuda, ayunan raksasa dll. Yang paling menyitaperhatian kita tentunya bianglala itu. Bagimu bianglala itu berukuran sangat besar dan mampu membawa kita menuju puncak tertinggi. Dan kita menaikinya sampai 3 kali. Tentunya setelah kau memelas, dan seperti biasa aku tak bisamenolak permohonanmu itu. Untung saja saat kau memohon untuk ke empat kalinyapetugasnya sudah melarang kita naik. Sebagai gantinya, aku harus mendengarkancelotehan darimu. “Suatu saat, akan kubawa kau ke sebuah tempat yang memilikibianglala terbesar didunia ini”. “janji!” kau lalu menyodorkan jari kelingkingmu. “Janji!”. Dan “sabit”ku pun muncul kembali.
***
“Ternyata gak enak ya, rasanya dicuekin sama sahabat sendiri. Dicuekin di negara orang lagi, apa aku udah keterlaluan banget ya? Aku kan cuma telat bangun, hampir ketinggalan pesawat.Itu aja kan? Oke! Mungkin aku udah buat Elsa khawatir banget karena telponnya yang terkesan aku abaikan, tapi kan itu karena aku dalam kondisi darurat.Marahnya liat-liat sikon juga dong Els, ini kan lagi di negara orang. Harusnya sekarang kita sedang seneng-seneng bareng, foto-foto, cekikikan gak jelas. Tapi apa?? Ini lagi agenda, ngapain coba ada agenda jalan-jalan bebas, nyindir keadaan aku banget. Mau jalan-jalan sama siapa coba? Teman-teman yang lain cepat banget lagi ngilangnya, Elsa yang notabene ngertiin aku banget juga gak tahu deh batang hidungnya kemana.
“arrghhhh...” dengan lemas plus posisi dagu merapat di meja kubolak-balikmajalah berisi panduan wisata di negara dengan ikon Singa Putih ini, mataku tiba-tiba terbelalak, terpaku pada sebuah gambar, menarikku pada pusaran memori 10 tahun lalu. Terpusat pada seseorang dari masa lalu dengan sejuta memoriindahku bersamanya namun terselip rasa kecewa yang mendalam terhadapnya. Dia yang mengilang begitu saja, tanpa permisi, bahkan tanpa ucapan selamat tinggal sekalipun. Owh, kenapa memori tentangnya bisa muncul dua kali dalam hari yang sama, bahkan hanya terpaut beberapa jam. Bukankah lelaki yang bersebelahan denganku di pesawat tadi siang juga mengingatkanku padanya. Seseoang yang meninggalkan secarik kertas berisi deretan angka yang tidak kumengerti.
30Raffles Avenue, Singapore 039803. Reservation: 20.00.
Kucari kembali secarik kertas tersebut yang tadi kumasukkan begitu saja dalam saku jaketku. Melihat deretan angka yang persis sama dengan yang tertera di majalah membuatku tersadar. Senyumku merekah. Kulirik jam di pergelangan tanganku 19.35. Rupanya waktuku tak banyak lagi. Sungguh hari ini aku bersahabat akrab dengan kata “Lari”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H