Aaarrrggghhhh.....deretan angka 08.45.34 tertera di digital clockberbentuk kepala Doraemon itu sontak mengencangkan ribuan saraf dipenglihatanku, menghentikan degup jantungku beberapa detik sekaligus mengirimkan ketengangan tingkat tinggi ke alam bawah sadarku. Tiket perjalananku ke Singapura pagi ini adalah pukul 10.15 WITA. Itu artinya 90 menit lagi seharusnya aku sudah berada di pesawat, dengan kata lain 30 menit lagi ‘check-in’ di tutup dan aku masih di sini. Masih dengan piyama disertai ekspresi melongo mirip ayam tetangga yang lagi bengong. Tanpa membuang-buang banyak waktu lagi meskipun dengan tingkat kesadaran belum sepenuhnya utuh 100%, segara kusambar handuk dan bergegas menuju kamar mandi. Sekilas kutengok Blackberry kesayanganku terlihat ada 20 panggilan tak terjawab. Pasti dari Elsa, sahabatku yang lebih pantas jadi ibu tiri karena sifatnya yang super-duper cerewet.
Hanya perlu waktu 21 menit, akhirnya aku berhasil menjejakkan kaki di bandara ini. Tentunya tak lepas aksi kebut-kebutan Daeng Te’ne, tukang ojek langgananku, lelaki paruh baya namun kemampuan mengemudinya sanggup menyaingi Valentino Rossi. Dan seperti biasa,muka super innocence serta acungan peace yang bisa kutunjukkan keteman-temanku, yang tentunya berbalas seringai kecewa dari mereka. Tugas berat berikutnya mendapat pengampunan dari Elsa. Alamat bakalan didiamkan nih. Kutangkap siluet sahabatku itu, desahan nafas berat tampak dari goncangan dibahunya yang disusul dengan gelengan kepala melengos yang ditujukan padaku. Segera kukejar ia “Els... Els... mianhee... jeongmal mianheooo....”. Di sudut yang lain menuju ruang tunggu, ada sepasang mata yang memperhatikannya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya “Oh, peri hatiku rupanya kau tak berubah!”
***
Hari yang kunantikan tiba. 10 tahunmeninggalkan kota ‘Daeng’ tak lantas membuatku bisa menghapus kenangan tentangmu. Kau adalah alasan utama kupilih kota ini untuk mengembangkan bisnis ‘advertising’ papaku. Setiap ruas jalan kota ini serasa masih menyisakan memori tentang kita. Tentang aku dan kamu. Aku yang begitu pendiam dan kamu yang tak pernah bisa diam. Aku yang puitis dan kamu yang tidak sensitif. Aku yangmandiri dan kamu yang tak bisa sendiri. Aku yang super teliti dan kamu yang tidak hati-hati. Aku yang cenderung introvert sedang kamu yang ekstrovert. Kita seperti apa yang pernah dikatakan Chairil Anwar “kita berbeda dalam segala hal tapi tidak dalam cinta”.
“Bagaimana kabarmu kini periku?”. Masihkah kerling matamu menyaingi kerlip bintang?. Masihkah senyummu pantas disejajarkan sempurnanya lengkungan bulan sabit?. Tak sabar rasanya bertemu denganmu. Aku berani bertaruh, aku pasti bisa langsung mengenalimu saat kita bertemu nanti.
Kulirik jam di pergelangan tangan kiriku. Pukul 08.00 WITA. Tiba saatnya aku berangkat menuju bandara Sultan Hasanuddin. ‘ayo kita liat, apakah peri Azalea masih seperti dulu? Akankah ia mengenaliku’ ujarku sambil mengenakan kacamata hitam sebagai pelengkap akhir penampilanku hari ini.
***
Number seat: 7e. Kecewa rasanya mengetahui bahwa kursiku tidak berada di samping jendela. Perjalanan Makassar-Singapura selama kurang lebih 3 jam serasa sedikit tidak menarik. Padahal, sangat ingin rasanya menikmati keindahan sekawanan awan di luar sana. Sepertinya pemuda disampingku ini bisa diajak bernegosiasi. “Kak, bisa tukaran tempat tidak, saya sangat ingin menikmati keindahan awan, please?” ujarku sedikit memelas. “Makasih Kak!. Senyumku riang. “Kak, meski ini terdengar sedikit konyol dan mungkin memalukan, ini pengalaman pertamaku naik pesawat. Jadi, rasanya seperti detak jantungku berdetak sangat cepat, dadaku serasa mau meledak, sekujur tubuhku serasa bergetar. Aku bisa minta tolong sesuatu tidak? Kau lalu memasangkan earphone ditelingaku, memberiku sebungkus permen karet, dan mengenggam tanganku. Tanpa sepatah katapun. kau sukses membuatku bingung menerjemahkan perasaan yang tiba-tiba berdesir aneh di hatiku. Mengingatkanku pada seseorang dari masa lalu. Seseorang dengan sejuta memori indahku dengannya.
***
Kau berjalan ke arahku. Aku yakin kursi kita bersebelahan. Aku di 7d, tepat di samping jendela. Sepertinya kau yang akan memulai pembicaraan antara kita. “Kak,bisa tukaran tempat tidak, saya sangat ingin menikmati keindahan awan, please?”Kerling mata, senyum, caramu memelaspun tetap sama. “Kak, meski ini terdengar sedikit konyol dan mungkin memalukan, inipengalaman pertamaku naik pesawat. Jadi, rasanya seperti detak jantung kuberdetak sangat cepat, dadaku serasa mau meledak, sekujur tubuhku serasa bergetar. Aku bisa minta tolong sesuatu tidak? Tak ada yang berubah darimu. Kecewa rasanya ternyata kau tak mengenaliku.
***