Sebuah berita di TV memperlihatkan perilaku vandalisme para pengunjung kebun bunga yang merusak keindahan tananaman demi menghasilkan foto selfie yang indah. Sangat disayangkan lokasi wisata yang sudah dibuat dengan biaya yang tidak sedikit, akhirnya rusak begitu saja. Yang ada dalam benak mereka adalah menampilkan sesuatu yang berbeda di akun media sosialnya.
Siapa yang tidak kenal media sosial? Sekarang ini, mulai dari anak-anak, remaja, orang dewasa, bahkan orang tua sudah mengenal apa itu media sosial, mulai dari facebook, twitter, instagram, path, dan masih banyak lagi. Akibat pergaulan, semua orang terpaksa memiliki akun media sosial dan tentu ikut eksis dalam media daring tersebut. Sosial media sendiri yaitu sebuah media online, dengan para penggunanya yang bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual.
Keranjingan sosial media menyebabkan perilaku yang disebut selfie. Perilaku selfie sendiri sebenarnya tidak begitu berbahaya dan merugikan orang lain. Namun akan terasa “aneh” jika orang memiliki sifat selfie yang berlebihan, bahkan menjadi pecandu. Orang yang selfie dan berusaha eksis umumnya menyebabkan perilaku egois serta tidak mengindahkan lingkungan. Salah satu dampak perilaku selfie dan eksis yang berlebihan adalah vandalisme.
Vandalisme adalah suatu sikap kebiasaan yang dialamatkan kepada bangsa Vandal, pada zaman Romawi Kuno, yang budayanya antara lain: perusakan yang kejam dan penistaan terhadap segala sesuatu yang indah atau terpuji. Tindakan yang termasuk di dalam vandalisme lainnya adalah perusakan kriminal, pencacatan, grafiti yang liar, dan hal-hal lainnya yang bersifat mengganggu.
Disini saya mengambil contoh, orang-orang yang “kebelet eksis” di dunia media sosial cenderung akan memamerkan sesuatu hal yang beda bahkan belum ada sebelumnya. Tempat wisata umunya menjadi sasaran vandalisme para pecandu selfie. Banyak dari mereka rela datang ke tempat-tempat wisata hanya untuk sebagai kebutuhan media sosial yang mereka punya dengan maksud untuk memamerkannya, padahal pada dasarnya tujuan dari tempat wisata itu sendiri untuk menjadi tempat berekreasi, tempat berbagi keindahan alam, dan juga melepas kepenatan bagi siapa yang berkunjung kesana.
“Untuk apa punya akun media sosial kalau tidak untuk berbagi moment atau memamerkan suatu hal yang baru kepada orang lain?”. Memang betul tujuan dari kita membuat dan memiliki akun media sosial untuk berbagi momen agar bisa dilihat dan dinikmati orang lain. Namun semakin kesini banyak orang-orang yang mengaku “gaul” datang ke tempat wisata dengan tidak bertanggung jawab. Mereka merusaknya, mereka membuang sampah seenaknya, dan mereka tidak peduli keindahan tempat wisata yang didatangi rusak hanya demi mengambil gambar-gambar di tempat wisata tersebut tanpa memperdulikan betapa sulitnya orang-orang yang bekerja ditempat tersebut berusaha merawatnya.
Tentu saja ini menjadi hal yang sangat memprihatinkan. Padahal kita semua tahu, tempat wisata merupakan salah satu sumber pendapatan daerah dimana tempat wisata itu berlokasi. Lalu jika sudah terlanjur seperti ini, siapa yang harus disalahkan?. Tidak akan ada habisnya menyalahkan orang lain, semua kembali lagi kepada diri kita sendiri. Pola pikir dari masing-masing individu sangat diperlukan pada kasus seperti ini. Berpikirlah secara luas dan panjang, tempat wisata adalah tempat umum, tempat dimana semua orang bisa dan berhak menikmatinya. Jika kita merusaknya hanya demi kebutuhan individu, apa guna dan tujuan awal dari diciptakannya tempat-tempat wisata tersebut? Jadi, berpikirlah secara objektif tidak secara subjektif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H