2. Antara ayat 1 dan 2 merupakan satu kesatuan, sehingga sahnya perkawinan disamping harus dilakukan menurut agama dan kepercayaannya, juga harus dicatatkan, artinya jika suatu perkawinan sudah sah menurut agama dan kepercayaan tetapi jika tidak disahkan maka tidak sah menurut Pasal 2 UUP. Dengan demikian pencatatan perkawinan bukan sekedar tindakan administrasi tetapi juga untuk memenuhi syarat sahnya perkawinan.
Dasar pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat 2 UUP: Masing-masing dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Fungsi pencatatan adalah untuk mencatat peristiwa-peristiwa hukum perkawinan, seperti halnya peristiwa-peristiwa hukum lainnya, yaitu kelahiran dan kematian yang juga dicatat pada pencatat.
Pasal 10 ayat 3 PP No. 9 Tahun 1975, perkawinan dilakukan di depan pencatat nikah dengan dihadiri oleh 2 orang saksi. Pasal 11 ayat 1 dan 3 sesaat setelah perkawinan dilangsungkan, kedua mempelai menandatangani akta nikah atau buku nikah. Setelah pendaftaran selesai, perkawinan telah resmi diselenggarakan menurut hukum negara sehingga berhak atas pengakuan dan perlindungan hukum.
Pasal-Pasal UUUP awalnya menetapkan usia perkawinan adalah 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Batasan usia tersebut kemudian diubah dengan UU No. 16 Tahun 2019, yaitu usia menikah bagi laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun. Perubahan ini untuk mengakomodir putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2007. Tujuan dari perubahan ini adalah untuk mencegah terjadinya perkawinan di bawah umur, khususnya bagi anak perempuan, karena usia 16 tahun masih dalam masa belajar, bukan masa kawin.
Perubahan radikal terkait hukum perkawinan adalah perjanjian perkawinan yang menurut Pasal 29 UUP hanya dapat dilakukan pada saat atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Melalui putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XV/2015 menyatakan bahwa perjanjian perkawinan dapat dibuat selama perkawinan berlangsung.
Putusan tersebut mengubah arti dan esensi dari perjanjian perkawinan yaitu sebelumnya (menurut BW dan UUP) hanya dapat dilakukan pada saat atau sebelum perkawinan dilangsungkan, tetapi selanjutnya dapat dilakukan sewaktu-waktu selama perkawinan.
Pembaruan Hukum Pernikahan. Melihat dinamika yang terjadi di masyarakat dan dalam praktik peradilan, sudah saatnya hukum perkawinan diperbarui. Pembaharuan dilakukan dengan membentuk UU Perkawinan yang baru, karena banyak persoalan hukum yang harus diatur dalam UU Perkawinan yang baru. Berbagai permasalahan hukum perkawinan di masyarakat dan perkembangan hukum perkawinan yang telah diputuskan oleh lembaga peradilan diakomodasi dalam UU Perkawinan yang baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H