Mohon tunggu...
Ayu febria Rantika sari
Ayu febria Rantika sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sarinah: Representasi Gerakan Perempuan Indonesia Perspektif Soekarno

9 September 2023   19:36 Diperbarui: 9 September 2023   19:41 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

~ketika wanita disepelekan, maka perlu adanya gerakan~

Sarinah yang namanya abadi dalam karya yang ditulis Soekarno adalah sesosok perempuan yang mengabdikan dan menghabiskan waktunya untuk mengasuh dan mendidik Soekarno kecil. Ia adalah sosok representasi dari masyarakat golongan menengah kebawah. Sekaligus sosok yang melambangkan gerakan perempuan Indonesia. Walaupun ia tidak digaji, ia tinggal dan makan bersama keluarga Soekarno. Sosok perempuan inilah yang selalu mengajarkan Soekarno tentang pentingnya mencintai rakyat, massa dan juga kaum golongan bawah lainnya, sehingga menjadikan ia tokoh berpengaruh yang amat mencintai rakyatnya, disamping latar belakang keluarganya yang juga merupakan seorang pejuang. Rasa kemanusiaan yang selalu diajarkan Sarinah kepada Soekarno menjadikannya ingin mengangkat derjat perempuan Indonesia.

Historis bangsa Indonesia yang sarat akan budaya patriarkis membuat perempuan Indonesia semakin susah mendapatkan kesetaraan haknya baik itu di bidang pendidikan, ekonomi dan juga politik. Statement yang menyatakan bahwa tugas perempuan hanyalah di rumah, di dapur dan di kasur telah mendarah daging dalam pemikiran rakyat Indonesia. Stigma-stigma ini lah yang menghambat berkembangnya kualitas perempuan kita. Bahkan di zaman dulu, perempuan tidak akan keluar menyambut tamu yang datang ke rumahnya, hanya berdiri di balik tirai. Yang mana tirai ini dianggap sebagai pembatas gerak dan partisipasi perempuan dalam masyarakat.

Hal ini membuat Soekarno terinspirasi untuk memberikan kursus kepada kaum perempuan. Walaupun sebelumnya sudah ada Konferensi Perempuan Indonesia di Tahun 1928, dua bulan setelah peristiwa Sumpah Pemuda yang menyinggung penolakan terhadap pernikahan dini, poligami dsb. Kartini dan Dewi Sartika yng juga berjuang dalam upaya mengedukasi perempuan Indonesia agar melek huruf dan mempersiapkan perempuan menjadi iby yang terampil atau Cut Nya' Dien yang turut berperang bersama pejuang lainnya di era pra kemerdekaan. Di masa orde lama banyak muncul gerakan perempuan Indonesia, bahkan mereka juga diajarkan berpolitik, namun di era orde baru malah terjadi dark age yang mebuat gerakan perempuan Indoenesia mengalami kemunduran.

Namun di era Reformasi perempuan diberi kesempatan lagi untuk berkecimpung dan berpartisipasi di berbagai bidang khususnya politik. Bukti nyata yang kita rasakan sekarang adalah peningkatan kuota keterwakilan perempuan di bidang politik yang awalnya hanya 10% menjadi 30% di tahun 1998. Walaupun banyak peremuan yang berkecimpung di dunia politik baik itu di bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif, kita tidak bisa menafikan bahwa kebanyakan pelecehan seksual juga terjadi pada perempuan. Tapi dengan adanya ruang pastisipasi tadi membuat sumber daya perempuan Indonesia lebih berkualitas dan berkembang.

Soekarno pernah mengatakan, "Hai perempuan-perempuan Indonesia jadilah revolusioner, tiada kemenangan revolusioner, jika tiada perempuan revolusioner, dan tiada perempuan yang revolusioner, jika tiada pedoman revolusioner". Jadi harus ada aksi revolusioner itu juga. Dimana revolusi ini nantinya memiliki tingkatan yang harus dilalui secara bertahap satu persatu. Elaborasi tingkatan yang disuguhkan Soekarno ada tiga.

Pertama, perempuan berusaha menyempurnakan keperempuanannya. Yaitu tugas perempuan pada umumnya, seperti memasak,mendidik anak, menjahit dsb. Kedua pergerakan perempuan yang menuntut persamaan hak perempuan dan laki laki untuk memilih dan dipilih. Ketiga, gerakaan perempuan sosialis yang tujuannya adalah berusaha memperjuangkan kesetaraan dan menghilangkan penindasan baik itukepada laki-lakiatau perempuan. Fokusnya adalah bagaimana merombak struktur sosialyang menindas laki laki dan perempuan. Soekarno berpendapat bahwa feminisme liberal dengan gerakan perempuan sosialis (sarinah) memiliki perbedaan pandangan dalam partisipasi perempuan di parlemen. Feminis liberal menjadikan hak perwakilan sebagai tujuan akhir,sedangkan perempuan sosialis menjadikan partisispasi perempuan di parlemen sebagai sarana menuju kehidupan yang sejahtera, tanpa adanya penindasan pada pihak manapun. Maka dengan itu dibutuhkan kolaborasi antara perempuan dan laki-laki untuk menghapus segala bentuk penindasan terhadap hak orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun