Seperti diketahui semua orang, Majapahit merupakan kerajaan terbesar dan tersohor di zamannya. Kekuasaan Majapahit tentu tidak lepas dari penyatuan seluruh wilayah nusantara dibawah panji Kerajaan wilwatika. Penyatuan ini diamini banyak orang sebagai cita-cita murni Gajah Mada yang bahkan mengucapkan Sumpah Palapanya yang terkenal, sumpah untuk tidak mencicipi kenikmatan dunia sebelum menyatukan wilayah nusantara di bawah bendera Majapahit.
Tapi betulkah bahwa penyatuan ini memang keinginan dan cita-cita asli Gajah Mada?. Jika menarik mundur waktu, konsep persatuan wilayah ini sudah mulai didegungkan pada masa pemerintahan Raja Singasari yang terkenal yaitu Kertanegara. Gagasan penyatuan wilayah saat itu diberi nama "Gagasan Cakrawala Mandala Dwipantra". Namun sayang, sejauh yang penulis pelajari, Raja Kertanegara hanya sempat melakukan Ekspedisi Pamalayu sebagai bentuk usahahanya, sebelum kerajaannya porak poranda dibumihanguskan oleh Jayakatwang.
Disinilah peran Gayatri Rajapatni dimulai. Sebagai putri kandung Kertanegara, tentulah Gayatri paham betul akan konsep yang diinginkan ayahnya, sehingga ketika Raden Wijaya mangkat, Gayatri mulai memainkan peran belakang layar. Seperti yang kita tahu, Raden Wijaya menikahi semua putri Kertanegara tetapi yang memberikan keturunan hanya Gayatri, 2 orang puteri. Maka ketika Raden Wijaya mangkat, 2 puteri tersebut tidak bisa menaiki tahta, dikarenakan Raden Wijaya memiliki seorang putera dari Dara Petak, seorang putri dari melayu.
Asal usul Jayanegara yang bukan keturunan Singasari, ditambah ketidakterampilannya dalam mengelola pemerintahan, menimbulkan ketidaksukaan para tetua istana terhadapnya, termasuk Gajah Mada dan Gayatri. Puncaknya adalah saat Jayanegara mengurung kedua puteri Gayatri supaya tidak dinikahi orang lain, dan akan dinikahi oleh dirinya sendiri.
Suatu hari tersebarlah kabar mengenai pelecehan yang dilakukan Jayanegara terhadap Dewi Tanca, gosip ini sampailah kepada suami Dewi Tanca yang juga seorang tabib, yaitu Ra Tanca. Karena memendam kemarahan yang besar untuk pelecehan yang dilakukan terhadap istrinya, dalam satu kesempatan ketika Jayanegara menderita sakit bisul, Ra Tanca yang seharusnya mengobatinya malah menusuk Jayanegara hingga tewas. Tidak membutuhkan waktu lama, Gajah Mada seolah sudah tau yang akan terjadi, muncul dan langsung menyerang balik Ra Tanca.
Banyak pendapat mengatakan bahwa tersebar gosip pelecehan serta otak sebenarnya dibalik tewasnya Jayanegara adalah Gajah Mada. Tetapi tidak ada tindak lanjut apapun mengenai peristiwa berdarah yang menewaskan Jayanegara dan Ra Tanca itu. Bahkan Gajah Mada pun dibebaskan begitu saja sebagai saksi dan pembunuh Ra Tanca. Kekebalan hukum Gajah Mada saat itu tentu mencurigakan mengingat saat itu Gajah Mada belum menjadi Mahapatih, dia masih menjabat Bekel Bhayangkari (Pengawal Raja) yang membuat statusnya tidak akan kebal hukum. Sehingga dibutuhkan pendukung besar dibalik kekebalan hukum Gajah Mada dari susunan hukum Majapahit yang sudah mapan saat itu.
Disinilah masuk peran Gayatri. Dengan mangkatnya Jayanegara, kekuasaan otomatis berpindah ke tangan Gayatri sebagai satu-satunya istri Raden Wijaya yang masih hidup. Kekuasanan yang dimiliki Gayatri sebagai orang no 1 di Majapahit otomatis melegalkannya dalam hal apapun, termasuk melepaskan begitu saja peristiwa berdarah Ra Tanca dan Jayanegara. Apa yang dilakukan Gayatri ini masuk akal, mengingat Jayanegara hanya memiliki separuh darah jawa sehingga dipercaya tidak akan mampu memajukan Majapahit. Jadi saat Jayanegara mangkat, Gayatri lebih memilih menjadi biksu dan menaikan puteri tertuanya, Tribhuwana Tunggadewi ke Singgasana Majapahit. Gayatri merasa meskipun seorang wanita tetapi Tribhuwana memiliki darah jawa secara sempurna dimana menurut pendapat Gayatri, kemajuan Majapahit hanya bisa dicapai oleh darah keturunan Raden Wijaya Sang pendiri Majapahit becampur dengan darah keturunan Kertanegara dari Singasari.
Saat Tribhuwana naik itulah Gajah Mada menyatakan sumpahnya di hadapan seluruh keluarga dan pejabat kerajaan. Disini peran Gayatri kembali, dimana saat dia sudah berfokus tidak pada lagi dunia dengan menjadi biksu, dia mewariskan pemikiran ayahnya kepada orang yang dianggap akan selalu setia terhadap Kerajaan Majapahit beserta keturunannya. Peranan yang dilakukan Gayatri untuk mewariskan takhta kepada keturunannya mencapai hasil puncaknya, saat sang cucu, Raja Hayam Wuruk berhasil membawa kejayaan Majapahit dibantu Gajah Mada yang berhasil merealisasikan cita-cita untuk menyatukan seluruh nusantara.
Pada akhirnya peran Gayatri Rajapatni di belakang layar adalah peranan sentral dan penting dalam kemajuan Majapahit. Gayatri sebagai seorang putri Raja yang juga istri Raja, mampu memahamai dan mengisi peran serta tanggung jawab sejatinya terhadap negara dan rakyatnya. Meskipun saat itu dia jauh dari tahta, tetapi dia mampu mengambil alih kontrol dan situasi yang nantinya tidak hanya merubah pemerintahan tetapi juga masa depan Majapahit. Peranan belakang layar yang dia lakukan sangat berpengaruh sementara disisi lain jarang dilihat atau dibahas ditengah tersohornya Patih Amangkubumi, Gajah Mada. Dengan ini penulis berharap banyak orang mengingat dan paham tentang peranan wanita yang besar dalam Kerajaan Majapahit selain dari Ratu Tribhuwana Tunggadewi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H