Mohon tunggu...
ayudia siregar
ayudia siregar Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Seorang ibu rumah tangga yang sangat berduka dengan kondisi pendidikan (di manapun) saat ini.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sekolah Masa Depan: Esensi Pendidikan VS Prestise

18 Januari 2014   21:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:42 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ide tulisan ini bermula ketika saya menonton sebuah video di situs www.ted.com yang diisi oleh Sugata Mitra. Beliau adalah seorang penggiat di dunia pendidikan dan telah melakukan sebuah peneilitian yang sangat menarik yang berjudul ‘Hole in the Wall’ (Lubang di Tembok).

Penelitian ini beliau lakukan di beberapa lokasi di India. Pada dasarnya penelitian ini sangatlah sederhana. Keingintahuan Sugata Mitra terhadap kemampuan belajar individu secara mandiri akan hal-hal baru menjadi dasar eksperimen ‘Lubang di Tembok’ ini. Ia percaya bahwa manusia pada dasarnya memiliki kemampuan untuk mengajari dirinya sendiri jika mereka memiliki sumber daya dan rasa ingin tahu walaupun tidak memiliki dasar pengetahuan untuk hal tersebut. Di video tersebut, Sugata Mitra menyajikan sebuah cerita yang sangat menarik ketika sebuah desa terpencil di India yang sama sekali belum pernah tersentuh teknologi tiba-tiba diberikan sebuah komputer. Beberapa bulan kemudian Mitra datang kembali ke desa tersebut dan mendapati anak-anak desa tersebut sedang bermain game di komputer tersebut. Ia pun bertanya kepada orang di desa itu bagaimana mereka dapat mengoperasikan komputer tersebut. Jawaban yang ia peroleh tak kalah menariknya. Mereka menjawab bahwa Anda memberikan kami sebuah mesin yang menggunakan bahasa Inggris karena kami tidak bisa bahasa itu maka kami mengajari diri kami sendiri bahasa tersebut. Hmm.. Mengajari diri mereka sendiri? Bagaimana mungkin? Mereka yang tidak berbahasa Inggris, tidak pernah melihat sebuah komputer apalagi mengoperasikannya pada akhirnya bisa menggunakan komputer tersebut hanya dalam jangka waktu beberapa bulan, bahkan dapat mengkritisi kemampuan mesin tersebut. Sungguh menarik, bukan? Bayangkan jika hal ini diterapkan kepada anak-anak di perkotaan yang notabene mempunyai sumber daya yang jauh lebih baik dari orang-orang di desa itu, apakah mereka akan memberikan hasil yang lebih menakjubkan ataukah justru tidak menghasilkan apa-apa akibat kurangnya rasa ingin tahu? Pertanyaan inilah yang akhirnya membuat saya tertarik menulis pandangan saya tentang pendidikan saat ini dan masa yang akan datang di negeri kita tercinta, Indonesia.

Sekolah yang selama ini saya ketahui hanya berputar di pembagian ilmu yang wajib kita pelajari, di waktu yang ditentukan dengan jumlah jam yang telah ditetapkan, serta evaluasi (baca: ujian) apakah siswa sudah paham atau tidak terlepas dari apakah gurunya sendiri benar-benar paham atau belum. Sekolah, secara umum, tidak lagi menjadi tempat untuk memuaskan rasa ingin tahu tetapi sebuah fardhu a’in agar tidak menyesal di masa depan. Rasa ingin tahu dimatikan karena tidak sesuai dengan silabus pembelajaran saat itu. Semua harus mengikuti aturan birokrasi yang dilegalkan dengan nama kurikulum. Di era yang berpacu dengan kreativitas tanpa batas apakah hal ini masih sesuai?

Saya teringat dengan sebuah ide tentang Community of Practice (Kelompok Belajar) yang ditawarkan oleh Etienne Wenger. Ooo.. Ini bukan sekedar Kelompok Belajar dimana sekelompok anak sekolah berkumpul di rumah seorang siswa dan belajar bersama untuk mengerjakan PR atau menghapal untuk menghadapi ujian (dan buat penulis hal ini tidak pernah berhasil karena pada akhirnya penulis dan teman-teman menghabiskan waktu hanya untuk bergosip dan menonton TV). Community of Practice lebih mengacu kepada sekelompok orang dengan atau tanpa struktur organisasi yang resmi bersatu didasari rasa ketertarikan terhadap hal yang sama dan ingin belajar lebih banyak tentang hal itu. Tidak ada rasa persaingan negatif dalam proses pembelajaran tersebut, seperti iri karena rekannya tahu lebih banyak atau malas mencari tahu karena semua bersumber dari satu orang. Mereka saling bahu membahu menggali informasi lebih dan berbagi karena mereka ingin menjadi lebih baik secara bersama-sama. Seperti halnya yang terjadi di desa terpencil yang saya ceritakan di atas tadi. Rasa ketertarikan terhadap sebuah mesin alien mendorong warga desa, tua dan muda, itu untuk belajar hal yang bahkan tak pernah terlintas di kepala. Saya membayangkan bagaimana seandainya sekolah itu tidak lagi sebatas gedung, ruang kelas, papan tulis, guru, kepala sekolah, dan buku teks wajib. Sekolah menjadi sebuah kata lain untuk Kelompok Belajar yang berisi individu-individu dari latar belakang pengetahuan dan umur yang berbeda tetapi saling bekerja sama untuk memahami sebuah pertanyaan atau ide menarik.

Tren yang berkembang saat ini adalah tak ada hal yang tak mungkin. Enam puluh tahun yang lalu, cerita almarhum nenek saya, butuh dua bulan untuk mencapai tanah suci dan dua bulan lagi untuk kembali ke tanah air. Terbayang di benak saya betapa susahnya untuk minta cuti naik haji saat itu. Tapi lihat saat ini, berjuta-juta orang datang dan pergi umrah atau naik haji tanpa mengganggu produktivitasnya sebagai karyawan atau pengusaha. Teknologi semakin mengerucut dan pasar tenaga kerja pun menuntut orang-orang dengan keahlian yang semakin spesifik. Seorang teknisi tak butuh mampu merangkai puisi untuk mendapatkan pekerjaan (mungkin butuh untuk mendapatkan kekasih), dan seorang seniman balet tak perlu memahami teori fisika yang mendasari kesuksesan lompatan Brisé, walaupun tak berarti mereka tidak jago fisika di sekolahnya. Rasa ingin tahu dan tertariklah yang membuat mereka belajar lebih giat di dibidang tersebut dan menjadikan mereka orang-orang terbaik. Setiap anak lahir dengan minatnya masing-masing, hanya sayangnya karena terbentur oleh birokrasi kurikulum dan sekolah konvensional mengharuskan anak untuk belajar dan paham akan hal-hal yang sama sekali tidak ingin mereka pelajari. Bayangkan saja betapa membosankannya harus menghapal rumus-rumus fisika yang bahkan tidak ketahui kegunaannya (penulis yakin tidak hanya satu dua orang yang mengeluhkan hal ini). Bandingkan jika si anak sangat tertarik menjadi balerina tapi selalu gagal dalam melakukan putaran pirouette à la seconde dan ia tahu bahwa dengan belajar formula momentum dia dapat memperkirakan titik-titik yang pas agar dapat berhasil melakukan putaran tersebut. Berdasarkan dua skenario tersebut, menurut Anda manakah yang lebih berhasil memahami pelajaran fisika? Tetapi tentu saja anak juga harus tetap dibekali skil dasar seperti berhitung, membaca, menulis, dan mendengarkan tetapi untuk belajar ke tingkat lanjutan adalah pilihan. Sistem Kelompok Belajar juga mengarahkan anak menjadi manusia sebagai makhluk sosial. Saya sering bertanya-tanya pada diri saya pribadi sebagai seorang guru dan orangtua, pantaskah sebenarnya kita membangun sistem ujian tertulis yang mengajarkan anak untuk menjadi pelit berbagi ilmu dengan teman hanya untuk memenangkan kompetisi nilai terbaik? Bukankah tugas kita sebagai orang yang lebih tahu membantu orang yang tidak tahu sehingga menjadi paham? Harap dipahami bahwa ide yang saya sampaikan ini sama sekali tidak berarti saya membenarkan plagiarisme. Menyontek itu salah, tetapi bertanya karena tidak tahu kepada teman tidak berarti menyontek kan? Metode Community of Practice mengajarkan kepada siswa untuk saling tolong menolong dalam belajar. Saya ingat ketika masih duduk di bangku SMP dan SMA sering kali teman-teman saya melontarkan pledoi saat tertangkap menyontek bahwa bukankah dalam Pancasila kita diwajibkan untuk saling bekerja sama dan membantu. Mungkin pledoi itu ada benarnya hanya dalam wujud pengamalan yang salah. Sekolah yang berjiwa Community of Practice akan menekankan bahwa kesuksesan itu bukanlah ketika mendapatkan nilai terbaik saat ujian melainkan ketika masing-masing individu telah berhasil berpindah status dari tidak tahu menjadi mengerti.

Apakah itu mungkin? Ide itu memang terlihat absurd apalagi mengingat bahwa sekolah tidak lagi hanya sebagai tempat menggali ilmu tetapi juga sebagai simbol status sosial para orangtua. Jujur saja, kebanggaan saat orangtua menyebutkan nama sekolah favorit atau sekolah termahal di kota X tempat anaknya belajar tak dapat disembunyikan dari nada bicaranya. Apakah mungkin seorang orangtua mau mempercayakan anaknya berangkat menuntut ilmu ke sebuah ‘sekolah’ yang hanya berisi segelintir orang dengan modal rasa ingin tahu dan sumber daya semacam buku, komputer, dan koneksi internet? Hmmm.. Rasanya nyaris tidak mungkin. Tentu saja selain itu memang masih banyak tantangan lainnya. Pertanyaan seperti apakah anak-anak itu bisa dipercaya begitu saja bahwa mereka akan belajar, bukan bermain-main? Atau amankah anak-anak jika diberikan akses internet di usia dini? Hingga ke pertanyaan mendasar mampukah sebagai orangtua kita mempercayai anak dapat bertanggungjawab atas sistem pembelajaran mandiri ini? Dibutuhkan sekedar kepercayaan orangtua untuk dapat mewujudkan sekolah ini. Satu hal pasti adalah kemampuan kita untuk menyediakan sumber daya. Tidak harus seorang profesor di bidang tertentu. Buku dan artikel-artikel menjadi benda wajib yang harus dilahap para siswa-siswi tersebut. Koneksi internet dengan performa optimal menjadi sebuah tuntutan infrastruktur demi terwujudnya kemandirian pembelajaran. Satu hal lagi peran orangtua adalah sebagai fasilitator yang membantu mengarahkan rasa ingin tahu anak menjadi sangat krusial. Dengan demikian, sistem Kelompok Belajar ini juga mampu memberikan efek samping peningkatan kualitas hubungan anak-orangtua dalam segi pendidikan yang selama ini lebih banyak dilimpahkan ke pihak sekolah. Namun demikian hal-hal tersebut tidaklah cukup jika belum diimbangi rasa percaya bahwa anak sebagai manusia mampu belajar secara mandiri asalkan diberikan kesempatan dan sumber daya yang cukup. Sayapun menyadari bahwa konsep yang ditawarkan ini masih sulit untuk diimplementasikan di Indonesia apalagi mengingat bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih jauh dari kemandirian anak bahkan hingga mahasiswapun kita masih dicekoki dengan apa yang menurut para ‘ahli’ wajib dipelajari, bukan apa yang sesuai dengan kebutuhan dan minat. Hanya saja tidak berarti bahwa hal yang ditawarkan oleh Sugata Mitra adalah sesuatu yang imajiner dan patut untuk dipertimbangkan sebagai alternatif pendidikan di masa depan.


Sumber: http://www.youtube.com/watch?v=y3jYVe1RGaU

http://wenger-trayner.com/wp-content/uploads/2012/01/06-Brief-introduction-to-communities-of-practice.pdf

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun