Ayu Dewi Novitasari, Muhammad Nofan Zulfahmi
Kearifan lokal terdiri dari dua kata: kearifan dan lokal. Kearifan dan lokal dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia, "lokal" artinya masyarakat, sementara "kearifan" berarti kebijaksanaan. Secara umum, kearifan lokal dapat dijelaskan sebagai ide-ide kearifan lokal dapat digunakan di tingkat lokal yang dipegang dan diikuti oleh masyarakat. Definisi kearifan lokal secara umum diartikan sebagai nilai budaya luar biasa atau langka di masyarakat (Hartiwisidi, 2022). Kebudayaan dalam hal ini berarti pengetahuan, kepercayaan, kebiasaan, serta pola pikir masyarakat yang turun-temurun yang tidak tertulis dan berkembang sebagai hasil dari interaksi alam lingkungan, sosial, dan budaya.
Kearifan lokal sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2009 mencakup perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Makna kearian lokal menurut Undang-undang tersebut dituangkan dalam nilai-nilai tradisional yang dimiliki dan dipraktikkan oleh masyarakat setempat yang melambangkan nilai-nilai luhur dalam kehidupan bemasyarakat, dengan mengedepankan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang berkelamjutan (Askodrina, 2021). Melestarikan kearifan lokal dalam konteks budaya adalah kunci untuk mempertahankan warisan budaya yang beragam dan memperkuat ikatan sosial dalam masyarakat. Budaya adalah cara hidup yang dikembangkan, dibagikan dan diwariskan oleh sekelompok orang dari generasi ke generasi (Suratmi, 2022: 7).
Salah satu kearifan lokal yang paling penting  dipertahankan adalah budaya apeman. Budaya apeman umumnya dikenal dalam konteks tradisi di berbagai daerah, seperti di Jepara. Budaya atau tradisi ini mengandung berbagai nilai dan ajaran yang terkait dengan interaksi sosial, kehidupan sehari-hari, dan hubungan manusia dengan lingkungan. Sebagaian besar penduduk Jepara merayakan "Bodo Apem" setiap tahun pada bulan apit dalam penganggalan jawa. Biasanya masyarakat mengadakan selametan bersama dengan masyarakat setempat di masjid atau mushola terdekat. Setelah acara selametan, masyarakat menukarkan apem kepada kerabat lain dan memakan apem  bersama yang sudah diberi gula merah dan santan. Masyarakat yang ikut selametan di masjid saling berbagi apem dan saling berbagi maaf.
Apeman telah ada selama beberapa tahun yang lalu, atau sejak zaman nenek moyang. Apeman berasal dari kata Arab "Afwan" artinya maaf. Kata "Afwan" ini diubah menjadi "apeman" oleh logat Jawa (Ma'rifatunni'mah, 2019). Budaya apeman merupakan sebuah kebiasaan atau perilaku yang sangat erat dengan keimanan, sebagai bentuk memohon ampunan kepada Allah atas kesalahan. Hal ini juga  bertujuan untuk bersyukur kepada Allah atas karunia dan keselamatan-Nya serta memohon ampunan (Ulumuddun, 2022).
Masyarakat yang menghayati budaya ini memiliki pemahaman yang mendalam tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara kehidupan sosial dan alam. Namun, dalam era globalisasi yang semakin cepat, budaya apeman menghadapi tantangan yang serius, seperti arus modernisasi, homogenisasi budaya, dan pengaruh budaya asing yang dapat mengikis nilai-nilai lokal. Budaya apeman terhubung dengan teori behavioristik. Menurut teori behavioristik, yang dikembangkan oleh John B. Watson, respon yang diberikan seseorang dipengaruhi oleh stimulus eksternal (Saihu, et al, 2019). Menurut teori ini, perilaku orang dipengaruhi oleh stimulus eksternal dan dapat diubah melalui pembiasaan dan penguatan yang konsisten. Pelestarian budaya apeman dapat dijelaskan melalui teori behavioristik sebagai proses pembelajaran sosial yang diperkuat oleh lingkungan. Budaya ini berperan sebagai pendorong tindakan positif, seperti berbagi dan minta maaf yang kemudian diperkuat melalui pengakuan sosial dari masyarakat. Proses pembiasaan dan pengamatan antar generasi adalah kunci untuk melestarikan budaya ini. Demi menjaga keberlanjutan budaya apeman di tengah tantangan modernisasi, diperlukan penguatan positif seperti penghargaan dan pengakuan terhadap partisipasi dalam budaya ini. Pelestarian budaya ini memiliki upaya yang bertujuan  untuk menjaga identitas budaya memperkuat solidaritas bangsa, mengembangkan rasa cinta tanah air, dan meningkatkan kesadaran pentingnya pelestarian kearifan lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Askodrina, H. (2021). Penguatan Kecerdasan Persepektif Budaya dan Kearifan Lokal. Al-Ihda': Jurnal Pendidikan dan Pemikiran, 16(1), 619-623.
Hartiwisidi, N., Damayanti, E., Musdalifah, M., Rahman, U., & Suarga, S. (2022). Penguatan pendidikan karakter berbasis kearifan lokal Mandar Metebe' dan Mepuang di SDN 01 Campalagian. Jurnal Pendidikan Karakter, 13(2), 150-162.
Ma'rifatunni'mah, S. (2019). Tradisi adat Jawa tentang nyumpet di desa pancur kecamatan mayong kabupaten Jepara Studi Living Qur'an (Q.S Al Baqarah (2): 170) (Doctoral dissertation, IAIN KUDUS).
Saihu, S., & Mailana, A. (2019). Teori pendidikan behavioristik pembentukan karakter masyarakat muslim dalam tradisi Ngejot di Bali. Ta'dibuna: Jurnal Pendidikan Islam, 8(2), 163-176.
Suratmi, N. (2022). Multikultural: Karya Pelestarian Kearifan Lokal kesenian Barongsai-Lion. Media Nusa Creative (MNC Publishing).
Pemerintah Indonesia. Undang-undang (UU) No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. LL Sekertariat Negara No.5587. Jakarta.
Ulumuddun, M. I. (2022). Konsep Syukur dalam Alqur'an dan Implikasinya dengan Tradisi Apeman di Desa Kecapi Kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara (Doctoral dissertation, IAIN KUDUS).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H