Kekerasan seksual menduduki peringkat pertama, menjadi momok yang belum kunjung terselesaikan sejak 2019. Ironisnya, penyintas baik secara individu maupun kolektif yang berjuang untuk bangkit dari pengalaman traumatis mereka, dihadapkan pada berbagai rintangan berat. Selain menanti ketegasan penguasa, mereka harus berhadapan dengan kurangnya pemahaman, budaya yang kerap mendiskriminasi, serta sejarah kelam yang terus berulang dari generasi ke generasi. Ini semua membentuk realitas yang menyakitkan dan sulit ditolak.
LANGGENGNYA Kekerasan terhadap anak yang mencapai ribuan korban di Indonesia mencerminkan betapa peliknya mewujudkan perlindungan pada anak. Menurut data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), dari Januari hingga November 2023, tercatat 15.120 kasus kekerasan anak, dengan 12.158 korban adalah anak perempuan dan 4.691 anak laki-laki.Gerakan akar rumput terus berupaya bangkit meskipun sering dibungkam oleh depolitisasi hak-hak korban. Organisasi seperti Yayasan Pulih, Sahabat Anak, Plan Indonesia, Save the Children Indonesia, dan UNICEF Indonesia menghadapi tantangan kompleks. Anak korban kekerasan seringkali merasa malu dan takut melapor, khawatir tidak dipercaya atau membawa dampak buruk bagi keluarga. Banyak korban juga kekurangan akses layanan psikologis dan pendampingan hukum, terutama di daerah terpencil. Kekerasan, terutama di dunia maya, sering tidak dilaporkan karena korban tidak tahu harus berbicara kepada siapa atau merasa kurang didukung. Stigma sosial semakin memperparah tekanan psikologis dan sosial yang mereka alami.
Strategi yang berfokus pada penanganan reviktimisasi pada anak menjadi sangat penting. Pendampingan psikososial yang berkelanjutan untuk anak yang menjadi korban kekerasan dapat membantu mereka mengatasi dampak dari trauma, termasuk ketika mereka mengalami kebingungan akibat manipulasi oleh pelaku. Dengan memberikan pendidikan tentang keberdayaan diri, anak-anak dapat dilengkapi dengan keterampilan untuk mengenali dan memahami situasi di mana mereka mungkin menghadapi gaslighting atau pembalikan peran antara pelaku dan korban, sehingga mereka lebih siap untuk melaporkan tindakan kekerasan dan mengklaim hak mereka sebagai korban.
Lebih lanjut, keterlibatan orang tua dan keluarga dalam proses rehabilitasi sangat krusial untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi anak-anak. Pelatihan bagi orang tua tentang bagaimana mendukung anak mereka dalam menghadapi situasi Darvo dapat mencegah anak merasa terasing atau bingung mengenai pengalaman mereka. Kebijakan anti-kekerasan yang tegas di lembaga pendidikan dan komunitas, disertai sistem pemantauan yang kuat, akan memberikan rasa perlindungan tambahan bagi anak-anak, memastikan bahwa mereka dapat berbicara tanpa takut akan pembalikan fakta atau serangan dari pelaku. Dengan pendekatan ini, kita dapat lebih efektif dalam mengatasi tantangan yang dihadapi anak-anak yang pernah mengalami kekerasan, sekaligus mencegah terulangnya siklus kekerasan dan manipulasi.
Kekerasan terhadap Perempuan bukan rekayasa, buktinya, sebagaimana tertulis dalam rilis pemantauan Catatan Tahunan Komnas Perempuan (CATAHU) dengan 289.111 kasus, pelaku berasal dari berbagai latar belakang, dari profesi yang dianggap prestisius hingga yang dipandang rendah; guru, pejabat negara, dosen, TNI, Polri, tenaga medis, aparat penegak hukum, tokoh politik, tokoh agama, pedagang, buruh, mahasiswa, hingga pelajar. Bahkan, mereka yang menganggur sekalipun memiliki potensi untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan[1].
Pemicu dari tindakan tersebut sangatlah beragam; tetapi dari karakteristik korban dan pelaku masih menunjukkan tren yang sama, yaitu korban lebih muda dan lebih rendah pendidikannya daripada pelaku, Pierre Bourdieu menyebutnya kekuasaan simbolik dan modal sosial. Pelaku yang lebih tua bisa menggunakan modal sosialnya (pengaruh, status, atau jaringan) untuk memperkuat dominasinya terhadap korban yang lebih muda. Even Shark menyoroti pelaku menggunakan kekerasan untuk menciptakan ketergantungan emosional dan fisik pada korban, bukan hanya dalam bentuk kekerasan fisik, tetapi juga melalui pelecehan psikologis dan kontrol ekonomi (kekerasan koersif). Sementara, Sylvia Walby, menyatakan pelaku hadir dalam sistem sosial patriarkal yang melekat, di mana laki-laki diberi kedudukan dominan atas Perempuan. Berbeda dengan Murray Straus yang menyebut transgenerational trauma atau trauma masa kecil akibat kekerasan dapat menciptakan siklus kekerasan di masa dewasa. Hal lainnya, diungkap Amartya Sen, bahwa ketidaksetaraan ekonomi juga mempengaruhi terjadinya kekerasan. Fenomena lainnya diungkap oleh Judith Davidson bahwa merebaknya Tindakan Kekerasan Seksual juga dipengaruhi oleh aktivitas sexting yang mereproduksi konten yang bersifat seksual secara eksplisit, atau menampilkan konten seksual melalui teknologi yang terhubung dengan internet, seperti smartphone (Sexting, Gender, and Teens: 2014)
Berbagai faktor tersebut tidak cukup hanya mengandalkan penyintas, jejaring pembela HAM Perempuan, atau Lembaga independen seperti Komnas Perempuan; sehingga mampu merealisasikan advokasi kebijakan seperti Undang-Undang Perlindungan Anak, UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), hingga Undang-Undang Tindak Perdagangan Orang. Pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), investigasi pelanggaran HAM, seperti pada kasus Timor Leste (1999) dan Papua (2001). Sedikit membantu perubahan, tetapi efektifitasnya tidaklah signifikan. Apa yang diharapkan untuk menghapus kekerasan terhadap Perempuan, misalnya Komnas Perempuan, yang hanya memiliki kewenangan yang terbatas, terbatas pada soal rekomendasi. Â
PELAKU MENUNTUT KORBAN
Selain mengurusi rekomendasi, Lembaga HAM seperti Komnas HAM dan Komnas Perempuan, harus pula mengadvokasi agar dapat melakukan tuntutan. Berbeda dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjalankan fungsi penyidikan, penyelidikan, dan penuntutan. Sementara Komnas HAM dan Komnas Perempuan Melakukan penyelidikan, pemantauan, dan pelaporan terhadap pelanggaran hak asasi manusia (HAM) maupun Hak Azasi Perempuan (HAP). Artinya negara setengah hati memberikan keluasan dalam hal penindakan, apalagi penuntutan terhadap pelaku; sangat rumit dan berliku.
Pantas saja, Laporan Indonesian Judicial Research Society (IJRS) yang meneliti pelaku dari 1.586 yang terlibat kasus kekerasan seksual, sebanyak 57% kasus tidak mendapat penyelesaian. hukum bahkan merebak taktik DARVO (deny, attack, lalu reverse victim and offender) atau sebuah taktik untuk menyangkal tuduhan yang diajukan kepada pelaku. Pelaku akan menolak segala bentuk kesalahan, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu yang salah atau melanggar, lalu pelaku akan menyerang pihak yang menuduh atau korban. Mereka mungkin akan menyerang kredibilitas, motif, atau karakter orang yang menuduh. Serangan ini bertujuan untuk merusak reputasi korban atau mengalihkan perhatian dari pelaku, membalikkan peran, mencoba untuk menggambarkan diri mereka sebagai korban, sementara orang yang sebenarnya menjadi korban dianggap sebagai pelaku atau penyebab masalah. Dengan demikian, pelaku mencoba memanipulasi situasi agar tampak seolah-olah merekalah yang diserang atau dianiaya. Sehingga, alih alih memperoleh perlindungan dan bantuan, saat melaporkan kekerasan seksual yang dialami, para korban justru mengalami menjadi korban kembali (reviktimisasi) serta harus menghadapi pertanyaan yang seringkali menyudutkan, tidak empatik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H