Mohon tunggu...
Ayub Wahyudin
Ayub Wahyudin Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, Bukan Anak dari Trah Ningrat, Maka Menulis untuk menjadikan Hidup Lebih Bermartabat!!

Hobi Menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Label Halal, Label Komersial

3 Oktober 2024   12:02 Diperbarui: 3 Oktober 2024   12:16 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

DALAM beberapa hari terakhir, publik dibuat terperangah oleh kemunculan produk-produk dengan label halal yang tampaknya menantang logika dan moralitas. Bayangkan saja, produk dengan nama-nama seperti "wine," "beer," bahkan "tuyul" dan "tuak" kini mendapat sertifikat halal resmi. Kasus ini sontak memicu kontroversi, bukan hanya tentang aturan halal itu sendiri, melainkan juga bagaimana komodifikasi agama bisa terjadi di tengah tuntutan pasar. Di sinilah pertanyaan besar muncul: apakah stempel halal kini telah terjebak dalam jerat komersialisasi?

Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) telah mengeluarkan klarifikasi yang secara teknis dapat diterima. Mereka menjelaskan bahwa nama "wine" dalam produk kosmetik, misalnya, hanyalah penanda warna, bukan rasa atau aroma minuman beralkohol. Begitu juga dengan istilah "beer" yang merujuk pada minuman tradisional bir pletok, yang dikenal sebagai minuman non-alkohol. Namun, persoalannya tidak sesederhana itu. Dalam masyarakat, kata-kata seperti "wine" dan "beer" sudah terlanjur melekat dengan makna tertentu yang sarat dosa dan kemaksiatan. Di sinilah letak kegelisahan yang muncul di tengah umat.

Dalam dunia semiotik, tanda seperti "wine" dan "beer" berfungsi sebagai signifier (penanda) yang membawa makna (signified) tertentu di benak publik. Nama-nama ini tidak muncul dalam ruang hampa. Secara historis dan budaya, istilah-istilah tersebut sudah diasosiasikan dengan alkohol dan kemaksiatan, sesuatu yang diharamkan dalam ajaran Islam. Ketika nama-nama ini dipadukan dengan label halal, terjadi benturan makna yang tak terhindarkan. Makna halal, yang seharusnya menandai kesucian dan kepatuhan terhadap syariat, seolah diwarnai oleh ambiguitas.

Lebih dari sekadar masalah teknis atau semantik, kasus ini menunjukkan bagaimana sertifikasi halal bisa dijadikan alat komersialisasi yang membingungkan. Istilah "wine" dan "beer," meski diberikan konteks yang berbeda, tetap memanfaatkan daya tarik kultural dan global yang melekat pada istilah tersebut. Apakah ini strategi pemasaran cerdas untuk menarik konsumen Muslim yang ingin tampil modern? Mungkin saja. Namun, di balik itu ada harga yang harus dibayar: erosi makna sertifikasi halal sebagai simbol kepercayaan yang suci.

Dalam dunia yang semakin digerakkan oleh kapital, kita menyaksikan tanda-tanda agama yang sakral diambil alih oleh logika pasar. Sertifikasi halal, yang pada hakikatnya adalah simbol kesucian, mulai terdegradasi menjadi sekadar alat branding untuk meningkatkan daya tarik suatu produk. Istilah "halal" yang seharusnya membawa ketenangan bagi konsumen Muslim kini berpotensi kehilangan esensi spiritualnya, berubah menjadi floating signifier---tanda yang tak lagi memiliki makna yang jelas dan pasti.

Apakah Label Menunjukkan Substansi?

Pertanyaan ini penting untuk kita renungkan, terutama ketika membahas produk, sertifikasi, dan kepercayaan masyarakat. Label, seperti "halal", "organik", atau "ramah lingkungan", seharusnya mewakili esensi produk tersebut. Namun, apakah label selalu mencerminkan substansi yang sebenarnya? Inilah yang sering menjadi bahan perdebatan, terutama dalam isu sertifikasi halal dan label lainnya.

Label adalah representasi formal yang digunakan untuk menegaskan bahwa suatu produk telah melalui proses tertentu dan memenuhi standar yang ditetapkan. Misalnya, label halal menunjukkan bahwa produk tersebut sudah diuji dan diverifikasi oleh lembaga resmi, sehingga dianggap sesuai dengan aturan syariat Islam. Secara teori, label ini menunjukkan substansi produk sesuai dengan standar yang berlaku.

Namun, kenyataannya tidak selalu demikian. Produk dengan label halal yang menggunakan nama-nama seperti "wine" atau "beer" menimbulkan kontroversi. Meskipun secara teknis label tersebut benar, makna kata-kata tersebut dalam persepsi umum seringkali bertentangan dengan konsep halal. Ada jarak antara apa yang disampaikan oleh label dan apa yang dipahami oleh konsumen. Kata-kata yang ambigu atau membawa asosiasi negatif bisa membuat label kehilangan kepercayaan di mata masyarakat, meskipun produk tersebut secara hukum halal.

Dalam ekonomi pasar, label seringkali digunakan sebagai alat pemasaran. Sertifikasi halal, misalnya, menjadi daya tarik bagi konsumen Muslim, yang jumlahnya terus meningkat. Namun, jika label lebih difokuskan pada kepentingan ekonomi daripada substansi kehalalan yang sesungguhnya, maka nilainya bisa tergeser. Label halal mungkin sah menurut hukum, tetapi apakah ia masih mewakili esensi dan ruh kehalalan?

Banyak konsumen mengandalkan label sebagai panduan dalam memilih produk. Mereka mempercayai label untuk memastikan bahwa produk yang mereka beli sesuai dengan nilai-nilai yang mereka anut, seperti kehalalan dalam produk makanan dan kosmetik. Jika label hanya menjadi alat untuk kepentingan komersial, tanpa pengawasan ketat terhadap substansinya, maka kepercayaan masyarakat bisa runtuh.

Pada akhirnya, meskipun label bertujuan untuk menunjukkan substansi, tidak selalu berhasil melakukannya dengan sempurna. Ambiguitas kata, komersialisasi, dan perbedaan persepsi budaya sering kali menimbulkan jarak antara label dan substansi yang seharusnya. Oleh karena itu, penting bagi lembaga pemberi label, seperti LPPOM MUI, untuk memastikan bahwa label yang mereka keluarkan benar-benar mencerminkan esensi yang sebenarnya, bukan sekadar formalitas atau alat pemasaran.

Komesialisasi Label

Pada titik ini, LPPOM MUI dan BPJPH harus waspada terhadap fenomena yang kami sebut sebagai "halal stempel komersial." Label halal seharusnya lebih dari sekadar strategi marketing yang menguntungkan secara ekonomi. Ia harus tetap menjadi simbol yang mengandung ruh keimanan, kejelasan, dan ketenangan bagi umat. Jika tidak, kepercayaan publik terhadap sertifikasi halal bisa terkikis, dan pada akhirnya, yang tertinggal hanyalah sebuah tanda tanpa makna, hanyut dalam lautan komersialisasi tanpa batas.

Di balik hiruk-pikuk perdebatan ini, ada satu hal yang harus kita renungkan: sertifikasi halal adalah janji kepercayaan yang tak boleh dicampuradukkan dengan logika pasar. Ketika nama-nama yang sarat dosa mulai bersanding dengan label halal, umat mulai bertanya-tanya, di mana batas antara yang suci dan yang profan? Apakah tanda halal kini hanya soal estetika kemasan, atau masih mengandung ruh syariat yang sejati?

Pada akhirnya, yang kita butuhkan adalah keseimbangan. Modernitas boleh diikuti, namun tanpa mengorbankan prinsip dan nilai agama yang seharusnya menjadi landasan utama. Stempel halal bukanlah sekadar simbol yang bisa dipermainkan, melainkan tanda yang harus terus menjaga kesucian maknanya di tengah derasnya arus komersialisasi yang kian tak terkendali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun