Pada akhirnya, meskipun label bertujuan untuk menunjukkan substansi, tidak selalu berhasil melakukannya dengan sempurna. Ambiguitas kata, komersialisasi, dan perbedaan persepsi budaya sering kali menimbulkan jarak antara label dan substansi yang seharusnya. Oleh karena itu, penting bagi lembaga pemberi label, seperti LPPOM MUI, untuk memastikan bahwa label yang mereka keluarkan benar-benar mencerminkan esensi yang sebenarnya, bukan sekadar formalitas atau alat pemasaran.
Komesialisasi Label
Pada titik ini, LPPOM MUI dan BPJPH harus waspada terhadap fenomena yang kami sebut sebagai "halal stempel komersial." Label halal seharusnya lebih dari sekadar strategi marketing yang menguntungkan secara ekonomi. Ia harus tetap menjadi simbol yang mengandung ruh keimanan, kejelasan, dan ketenangan bagi umat. Jika tidak, kepercayaan publik terhadap sertifikasi halal bisa terkikis, dan pada akhirnya, yang tertinggal hanyalah sebuah tanda tanpa makna, hanyut dalam lautan komersialisasi tanpa batas.
Di balik hiruk-pikuk perdebatan ini, ada satu hal yang harus kita renungkan: sertifikasi halal adalah janji kepercayaan yang tak boleh dicampuradukkan dengan logika pasar. Ketika nama-nama yang sarat dosa mulai bersanding dengan label halal, umat mulai bertanya-tanya, di mana batas antara yang suci dan yang profan? Apakah tanda halal kini hanya soal estetika kemasan, atau masih mengandung ruh syariat yang sejati?
Pada akhirnya, yang kita butuhkan adalah keseimbangan. Modernitas boleh diikuti, namun tanpa mengorbankan prinsip dan nilai agama yang seharusnya menjadi landasan utama. Stempel halal bukanlah sekadar simbol yang bisa dipermainkan, melainkan tanda yang harus terus menjaga kesucian maknanya di tengah derasnya arus komersialisasi yang kian tak terkendali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H