Mohon tunggu...
Ayub Wahyudin
Ayub Wahyudin Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, Bukan Anak dari Trah Ningrat, Maka Menulis untuk menjadikan Hidup Lebih Bermartabat!!

Penulis Buku Bajik Bijak Kaum Sufi, Pemuda Negarawan, HARMONI LINTAS MAZHAB: Menjawab Problem Covid-19 dalam Ragam Perspektif. Beberapa tulisan opini terbit di Kompas.id, Koran Tempo, Detik.com, Republika.id, serta beberapa tulisan di jurnal Ilmiah

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pamor Sang Koruptor

23 Agustus 2023   11:38 Diperbarui: 23 Agustus 2023   13:38 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Sesungguhnya mantel yang diambil pada penaklukan Khaibar dari rampasan perang belum dibagi akan menyulut api neraka yang akan membakarnya. Mendengar hal tersebut, seorang lelaki menghadap Rasulullah SAW membawa seutas tali sepatu dan dua Utas tali sepatu. Ketika itu, nabi mengatakan seutas tali sekalipun akan menjadi api neraka (HR. Abu Dawud).

SEUTAS tali sepatu menjadi bahan bakar api neraka. Apalagi sepatunya, apalagi pabrik sepatunya. Bangun di pagi hari, setelah bermimpi mendapatkan kekayaan berlimpah dengan cara korupsi, maka siangnya bekerja sambil memikirkan cara mendapatkan sesuatu dengan merampok. Merampok dengan cara cerdas. Merampok dengan cara memanipulasi laporan dan data. Sementara, sejumlah uang masuk ke kantong pribadinya. Memenuhi gaya hidupnya, memenuhi keinginannya. Karena jika hanya untuk makan, tak perlu korupsi. Gaji dari negara sudahlah cukup.

Cerita itu hanya fiktif saja. Nama dan tempat disamarkan, seperti dalam sinetron. Tapi dalam faktanya ternyata ada, bahkan banyak. Awal tahun, pertengahan tahun, penghujung tahun dan sepanjang tahun selalu terjadi. Korupsi mewabah tak kenal hari, merebak seperti virus mematikan melebihi corona. Karena rakyat akan dibuat susah, dibuat sengsara oleh para wakil rakyatnya, sesekali mereka gembira dengan adanya bansos, tapi boncos karena ulah sebagian oknum wakilnya.

Tak tanggung-tanggung korupsinya miliaran dilakukan oleh walikota Bekasi saat itu, serta tersangka lain yang kian marak. Bagi kami, rakyat kecil buat apa uang sebanyak itu. Para pedangang sedang mengeluh karena penjualan menurun akibat resesi ekonomi, harga melonjak naik tak terkira, pusing tujuh keliling. Kabar baiknya kami tetap hidup dengan menurunkan daya beli, memeras pengeluaran tak berarti serta meminimalisir kerugian apapun bentuknya. Berhenti memikirkan barang mewah.

Rakyat Boncos

Akibat koruptor, Rakyat lagi yang boncos. Boncos tidak dikenal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Boncos hanya dikenal bagi mereka yang bergelut dengan investasi dan aktivitas memancing. Boncos dalam investasi memiliki arti rugi, jelek, tidak mendapatkan hasil apapun. Sementara boncos dalam aktivitas memancing, si pemancing tidak mendapatkan hasil dari pancingannya atau zonk. Boncos berarti tidak memberi manfaat, tidak juga memberi hasil. Boncos hanya menghabiskan waktu untuk kegiatan yang semestinya menguntungkan. Boncos merupakan bentuk kekecewaan seseorang atas jerih payahnya. Orang yang mengalami boncos, tentu akan merasa kecewa, gelisah juga putus asa. Begitupula, ketika orang miskin yang harusnya menerima bansos, tapi tak terdaftar sebagai penerima. Maka, bansosnya boncos. Tidak mendapatkan apa-apa atau zonk. Bagaimana ga boncos? Uangnya habis dikorupsi "pejabat buncit". Buncit yang dimaksud bukanlah perut gendut dan buncit. Sama seperti "tikus kantor". Bukanlah tikus yang berkeliaran di kantor. Hanya istilah untuk menyebut orang yang memakan uang rakyat. Bagaimana ga buncit, yang dikorupsi bukan uang sedikit.

Ketua KPK Filri mengatakan: "Perlu diketahui, jumlah uang bukti kurang-lebih Rp 5,7 miliar dan sudah kita sita Rp 3 miliar berupa uang tunai dan Rp 2 miliar dalam buku tabungan,". Catatan ICW tetang kerugian negara yang dihasilkan dari tindak pidana korupsi sepanjang tahun 2020 saja sudah sebesar Rp. 56,7T sementara yang dapat diganti hanya sebesar Rp. 8,9 T, itu berarti uang pengganti dari kerugian tersebut hanya sekitar 12-13%. Jika digunakan bagi produktifitas pertanian, perdagangan serta usaha mikro masyarakat Indonesia, tentu sangat menggembirakan. Tak perlu susah payah mengagendakan bansos yang boncos itu.

Rakyat mencoba untuk mengetuk hati para penguasa. Bahwa peduli yang dulu digembar gemborkan waktu pemilu, tak ada artinya. Peduli yang seharusnya merujuk pada keadaan mental dimana seseorang merasakan pikiran, perasaan, atau keadaan yang sama dengan orang lain, atau bagi pejabat dengan rakyatnya (orang lain). Chaplin menyebutkan pentingnya kemampuan memproyeksikan perasaan sendiri pada suatu keadaan dan kejadian, secara alamiah atau karya estetis menyangkut kebutuhan dan penderitaan orang lain.

Seorang bayi yang lahir dibawah usia lima tahun, mulai bisa membedakan bahwa kesedihan itu bukan saja miliknya tapi milik orang lain, kesusahan orang lain, bukan miliknya. Karena perkembangan kognitifnya belum matang, meskipun secara naluriyah sudah terbentuk, apakah tindakan tersebut sudah sesuai, benar atau salah. Bagaimana dengan orang dewasa, sudah akil balig  (terbebani hukum baik dan buruk) tentu sudah mahir menggunakan akal dan fikiran serta perasaannya untuk peduli. Karena 98% terlahir dengan potensi merasakan kegelisahan orang lain. Pola asuh yang membentuk karakter empati melalui orang tua, guru, sebagai pembimbing utama terbentuknya karakter tersebut.

Perilaku korupsi sudah memberangus rasa peduli terhadap rakyatnya. Bisa saja menjadi budaya dan tradisi yang menyingkirkan kepedulian terhadap rakyatnya, untuk kepentinganya, berarti 98 % potensi tersebut, hanya tersisa 10% atau bahkan 0% akibat keserakahan manusia.

Selektif Yang Efektif

Rakyat dan pemerintah harus selektif dalam memilih para wakilnya, tidak hanya janji politiknya, yang seolah peduli tersebut, tetapi juga rekam jejaknya. Tak cukup sampai disitu, pemerintah tak boleh memberi peluang seseorang untuk korupsi. Terkait prosedur dan mekanisme yang berbelit, sehingga banyak kasus suap menyuap untuk melancarkan proses perizinan, karena banyak tangan serta minimnya pengawasan. Di tingkat daerah misalnya, banyak terjadi korupsi bansos, pungli dan sebagainya, hanya sedikit yang terjamah hukum, karena saling melindungi dan lemahnya pengawasan.

Fakta lain tentang manipulasi data, tidak hanya data laporan keuangan yang dimanipulasi, tetapi menyangkut data hak orang miskin penerima bansos. Temuan Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini yang mengungkap adanya penerima bansos sebanyak 31.624 dari anggota ASN berupa bansos program keluarga (PKH) dan Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), sebagai bukti banyak peluang yang terbuka untuk korupsi. 

Dari ragam fakta tersebut, penulis berharap adanya upaya perbaikan terkait dengan pembenahan mentalitas korup bagi pejabat pusat dan daerah lebih di prioritaskan. Proses rekruitmen di hilir sampai ke hulu, atau sebaliknya lebih ketat lagi. Peningkatan pemahaman mekanisme layanan bebas korupsi, yang tidak cukup hanya spanduk, pin dan poster bebas korupsi. Karena pejabat kita sudah "bebal".

Selain itu, tata laksana untuk menciptakan efektivitas dan efisiensi kinerja. Memangkas alur birokrasi yang berbelit dapat segera disederhanakan serta mudah dipahami. Flow chart di ruang layanan publik dapat dengan mudah memperoleh kejelasan dan kepastian alur layanan, serta mencegah ruang privat layanan publik, dibuat secara transparan serta akuntable melalui sistem pelayanan publik elektronik (electronic public service). Salah satu keuntungan di era digital ini, masyarakat dapat ikut berpartisipasi sebagai pengawas dan pelapor, misalnya rekaman video kejahatan korupsi yang menjadi viral dan memicu penangkapan oleh Aparat Penegak Hukum. 

Namun, masyarakat sebagai aktor defender anti korupsi, perlu terlindungi dari intimidasi serta ancaman yang akan dihadapinya. Mereka juga harus diberi pemahaman dan mekanisme pelaporan yang jelas, simpel dan mudah. 

Selama ini, mereka ada dalam bayang-bayang ketakutan untuk melaporkan peristiwa korupsi disekitar mereka. Selektif dalam menetapkan pejabat publik harus pula dibuat efektif dalam pemberantasan korupsi yang akut, melalui mekanisme yang dapat dilakukan bersama. Sederhana tak berbelit, serta dapat menjerat pelaku di tingkat daerah maupun pusat secara menyeluruh. Semoga di 2022 berhenti pada kasus ini saja. Rakyat tak boncos lagi. Bangun pagi meraih mimpi, bukan bangun pagi, korupsi lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun