Mohon tunggu...
Ayub Wahyudin
Ayub Wahyudin Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, Bukan Anak dari Trah Ningrat, Maka Menulis untuk menjadikan Hidup Lebih Bermartabat!!

Penulis Buku Bajik Bijak Kaum Sufi, Pemuda Negarawan, HARMONI LINTAS MAZHAB: Menjawab Problem Covid-19 dalam Ragam Perspektif. Beberapa tulisan opini terbit di Kompas.id, Koran Tempo, Detik.com, Republika.id, serta beberapa tulisan di jurnal Ilmiah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Beasiswa Untuk Siapa?

17 Agustus 2023   14:20 Diperbarui: 17 Agustus 2023   15:35 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BEASISWA UNTUK SIAPA?

Perburuan Beasiswa Indonesia Bangkit (BIB), Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI), LPDP setiap tahunnya belum memenuhi kebutuhan pendidikan di Indonesia. Tentu saja, peserta yang dinyatakan lulus patut bangga, sementara yang tak lulus, harus menata suasana hati, legowo, semangat, dan terus mencobanya. Karena keterbatasan kuota menjadi kendala.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) telah memberikan beasiswa kepada 29.872 penerima sejak 2012 hingga 2021. Dia menilai bahwa penerima beasiswa LPDP yang berjumlah 29.872 masih sangat sedikit dari persentase masyarakat Indonesia atau sekitar 0,1 persen dari penduduk Indonesia yang berpendidikan S2 dan S3 (Tempo.co, 26/02/2022).

Gagasan mulia untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa” yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, alinea keempat, harus terus digelorakan, tak peduli kegagalan selalu menyertai, tidak sesuai dengan apa yang diharapkan serta belum memenuhi kebutuhan orang mendapatkan beasiswa. Masyarakat tak hanya menaruh harapan besar terhadap pemerintah dalam hal pemenuhan, sebagaimana tercantum dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang menyatakan bahwa pendanaan pendidikan itu menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta masyarakat.

Sementara, pemerintah mendorong agar penerima beasiswa memiliki tanggungjawab mengimplementasikan pengetahuannya bagi bangsa sendiri, bukan awardee Luar Negeri yang memilih untuk menetap dan berkontribusi di negara asing tersebut. Begitu pula bagi penerima beasiswa dalam negeri yang harus mampu berkontribusi bagi kemajuan Bangsa.

Fenomena, semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin besar biaya yang perlu dikeluarkan. Misalnya, biaya untuk studi S1 adalah 14,47 juta. Jumlah tersebut hampir dua kali lipat dari total biaya pendidikan SLTA/ Sederajat yang mencapai 7,8 juta rupiah (BPS, Juni 2022). Hal ini seolah menegaskan, kita belum beranjak dari rumitnya mencerdaskan kehidupan bangsa, bereda dengan Finlandia yang termasuk dari salah satu negara maju di benua Eropa Utara, dikenal dengan sistem dan kualitas pendidikan terbaik di dunia. Negara ini tak hanya hanya membebaskan biaya pendidikan, juga menyediakan banyak program studi berbahasa Inggris yang memudahkan mahasiswa asing dalam menempuh pendidikan di negara tersebut.

Mampu Intelektual VS Mampu Finansial

Pemerataan pendidikan diperuntukan bagi yang tidak mampu secara finansial, namun, kategori mampu tak hanya soal finansial, tetapi mereka juga harus mampu menyelesaikan studi, tanpa melihat status miskin dan kaya. Pendidikan berbasis hasil akhir studi (end result), tentu membuka peluang terhadap kalangan menengah keatas, mendapatkan beasiswa karena ia mampu secara intelektual, bahkan diantara mereka dapat menyelesaikan studi tepat waktu serta mendapatkan hasil yang memuaskan. Sasaran utama pemberian beasiswa, penerima beasiswa harus menunjukkan seberapa besar kontribusi mereka terhadap kemajuan, akselerasi bangsa yang cerdas dan memiliki daya saing.

Meskipun demikian, hasil riset peneliti pada Center on Education and Workforce, Georgetown University, USA. mengungkap fakta menarik tentang peluang probalilitas anak pintar dari keluarga miskin untuk meraih sukses finansial hanya 31%, sementara peluang sukses finansial anak-anak tak pandai dari keluarga mampu adalah 71% (cnbc.com 29/05/2019). Riset tersebut menunjukan bahwa anak intelektual rendah dari keluarga kaya memiliki peluang sukses melampaui teman yang pintar tapi lahir dari keluarga miskin. Hal itu karena anak orang kaya mampu menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi.

Bermula dari Kategori Miskin

Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara, merupakan pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tetapi yang dimaksud dengan fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya, apalagi untuk pendidikan. Maka, kewajiban Negara hadir untuk pemenuhan hak mereka termasuk dengan Beasiswa.

Sementara itu, fakir miskin (miskin akut) dan miskin adalah dua hal yang berbeda, BPS berpedoman pada 14 kriteria miskin. Masyarakat bisa dikatakan miskin jika memenuhi 9 kriteria miskin mulai dari luas lantai bangunan, fasilitas tak memadai/ tidak memiliki, sumber air dari sumur, tanpa listrik, tak sanggup membayar kesehatan dan lain sebagainya. 

Fakta tersebut jika di konfrontir pada pernyataan “semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin besar biaya yang perlu dikeluarkan”.  Acuannya kriteria kemiskinan versi BPS, tak semua yang masuk kategori menengah ke atas memiliki biaya untuk studi S2 dan S3. Karena persoalannya bukan pada kategori miskin, tetapi biaya pendidikan yang terlalu mahal bahkan untuk kelas menengah sekalipun. Mengutip pernyataan Frans Seda bahwa “Orang boleh tidak kuliah di Atma Jaya karena tidak mampu secara intelektual, tapi orang tidak boleh tidak kuliah di Atma Jaya karena tidak mampu secara finansial!” menjadi titik tolak karut-marutnya distribusi beasiswa tepat sasaran. 

Maka, secara tegas bahwa Pendidikan hanya bagi mereka yang mampu secara intelektual. Inipun masih menyisakan tanda tanya yang besar. Bagaimanakah dengan orang yang disebut dengan tidak mampu secara intelektual, apakah dia orang bodoh?, atau keterbelakangan dalam mencerna pengetahuan, atau seperti apa?. Karena orang yang bodohpun berhak untuk memperoleh keberhasilan utamanya melalui pengetahuan. Banyak Perusahaan yang mengedepankan kecerdasan karakter atau budi pekerti. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat saja tidak kekurangan dengan orang pintar, tapi hanya sedikit anggota Dewan yang memiliki Akhlak baik.

Bertrand Russell mengatakan “Hidup yang baik adalah hidup yang diinspirasi oleh cinta dan dipandu oleh ilmu pengetahuan.” Pengetahuan menempati posisi yang penting dalam upaya memberangus kebodohan. Negara memiliki tujuan dan sebuah cita-cita besar untuk pemenuhan asupan pegetahuan yang memadai. Begitupula dengan Negara kita, pada alinea keempat Undang Undang Dasar 1945 secara tegas menyatakan “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Maka dalam Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa tak ada tebang pilih. Dari kalangan manapun yang paling penting dia punya spirit masuk dalam kategori “mencerdaskan kehidupan Bangsa,” setujukah?.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun