Mohon tunggu...
Ayub Wahyudin
Ayub Wahyudin Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, Bukan Anak dari Trah Ningrat, Maka Menulis untuk menjadikan Hidup Lebih Bermartabat!!

Hobi Menulis.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sang Buzzer, Turun Gunung

21 Juni 2023   11:55 Diperbarui: 17 Agustus 2023   16:03 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PEMILU sudah dekat, hati-hati dalam memilih wakil rakyat. Itulah yang menjadi slogan penting di ruang publik. Meskipun demikian, sebagian orang malas membahas kontestasi pemilu (Pemilihan Umum), kecuali mereka yang punya kepentingan sebagai juru kampanye atau buzzer politik berbayar (buzzerRp), yakni orang yang menyuarakan politik serta dibayar, penyebarannya melalui akun-akun di media sosial, akun tersebut merupakan akun anonym (akun palsu), tetapi adapula yang menggunakan akun asli dan gerak geriknya seperti buzzer, meskipun tidak mengakuinya, namun publik mencurigainya sebagai buzzer, hal itu pula yang menimpa pada pengiat sosial Denny Siregar. 

Buzzer juga biasa disebut sebagai makelar politik, ia akan terus membentuk opini, topik pembahasan di berbagai media sosial diarahkan untuk mendukung salah satu calon yang bayar.

"Perang Tendensius" Sang Buzzer

Suara lantang buzzer di media sosial sebagai sebuah fenomena yang turut di Analisa oleh Universitas Oxford, dalam laporan "The Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Organized Social Media Manipulation" disebutkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang menggunakan buzzer untuk menyebarkan propaganda, yang dikontrak tidak secara permanen. 

Mereka dibayar 1 juta hingga 50 juta untuk memanipulasi konten. Tak pelak buzzer menciptakan perspektif negatif terhadap citra lawan politiknya, tetapi ia juga mempertaruhkan dirinya dihadapan lawan politik, sehingga terjadi "perang tendensius" diantara mereka.

Selain mempromosikan serta berupaya membuat citra baik pada kandidat yang diusung, ia juga aktif melakukan pertempuran naratif yang mengarah pada perilaku doxing dengan melipatgandakan atau makin memperkeruh masalah yang terdapat dalam lawan politiknya. Komunikasi persuasif yang dilakukan untuk membangun relasi, sehingga mempercepat penyebaran informasi dengan bantuan peserta yang memiliki pengalaman, selera, atau ideologi serupa.

Sebagaimana dalam riset Sitti Utami Rezkiawaty Kamil, dengan tema "Engagement analysis on buzzer information transactions: Questioning the impression of Indonesian talk show program and how Netizen response on Twitter" yang mengatakan, bahwa mereka mengadopsi konsep marketing sebagai metode promosi dor to dor (dari pintu ke pintu) atau pesan berantai secara oral dari orang yang satu dengan yang lainnya. 

Menciptakan narasi yang "berisik", terus menerus hingga mereka tertarik dan viral. Buzzer bergerak berdasarkan tiga tujuan penting di media sosial, yaitu: pertama, membentuk citra positif (supporting), Kedua, membuat klarifikasi (defensif). Ketiga, menyerang serta merusak citra pesaing (offensive).

Provokasi Dalam Hashtag

Tiga tujuan ini sebagai indikator keberhasilan Buzzer dalam memenangkan kontestasi. Oleh karenanya, rakyat yang terjebak dengan narasi yang dibangun oleh buzzer, ia akan menjadi salah satu pendukung, bahkan sebagai follower yang ikut menggaungkan kandidatnya meskipun tak dibayar. 

Rakyat yang terpengaruh dengan narasi media sosial, tidak semata-mata karena kandidat tersebut adalah yang terbaik rekam jejaknya, hal itu tak luput dari kecerdasan para buzzer membuat narasi unik, menarik serta menyasar pada kelompok rentan terpengaruh. 

Misalnya dalam konten yang dibuat oleh buzzer, yakni #ILCPanggungProvokasi, para peneliti menemukan tingkat interaksi yang sangat tinggi, hingga mencapi mencapai 32.200 tweet dan berlangsung selama kurang lebih 8 jam, dengan 37 tayangan ulang, 852 suka, dan 244 retweet, hashtag tersebut menjadi populer.

Bagi para pendukung, kritik media televisi seperti Indonesia Lawyers Club, meningkatkan gairah politik yang berani bersuara, tentang fungsi media yang seharusnya netral, faktanya menjadi ruang yang efektif untuk menjatuhkan lawan politiknya. Kebenaran itu menjadi tampak semu, karena tidak hanya berlaku pada pendukung pemerintah atau kandidat pro pemerintah, juga berlaku sebaliknya bagi buzzer yang bersebrangan dengan pemerintah, melakukan tindakan yang sama, misalnya #2019GantiPresiden, tak kalah banyak memperoleh dukungan follower, serta menjadi inspirasi bagi pendukungnya untuk membuat atribut terkait seperti kaos serta gelang, tidak hanya mereka sebagai pendukung, penjual T-Shirt pun ikut meraup untung dari penjualan tersebut.

Dengan demikian, seorang kandidat yang masih diragukan kompetensinya, bisa meraup suara yang banyak dengan strategi buzzer yang cerdas dalam mengelola membentuk citra positif, membuat klarifikasi, maupun menyerang serta merusak citra pesaingnya.

Memilih Yang Benar, Bukan Membenarkan yang Dipilih

Setelah memahami cara kerja dan strategi buzzer, maka hal yang penting untuk dilakukan, tetap berpegang teguh pada fakta serta rekam jejak seorang kandidat yang akan dipilih menjadi sangat penting. Layaknya pada pertandingan sepak bola, provokasi lawan merupakan hal yang lazim terjadi. Bedanya, kita belum tau mana yang layak dijadikan lawan dan mana yang layak dijadikan sebagai panutan. 

Tetapi kita berupaya melepaskan provokasi yang menggunakan cara negatif. Berupaya menyikapi narasi buzzer agar tidak terjebak pada komentar yang mengandung ujaran kebencian, penyebarluasan hoax serta perlu memeriksa narasi ilokusi asertif yakni kebenaran atas apa yang dituturkannya atau disampaikannya. 

Nilai kebenaran dalam asertif ini netral karena bisa benar dan bisa juga salah, sehingga kemampuan kita untuk menguji kebenaran dalam narasi tersebut harus secara selektif, melalui sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. 

Salah satu yang paling baik dalam memahami karakter pemimpin tersebut dengan meningkatkan literasi tentang kandidat tersebut. Kita bisa memilih kisah perjalanan mereka yang akurat melalui sumber babon, atau sumber lampau yang ada sebelum mereka terjun dalam politik dan menjadi salah satu bakal calon melalui literatur yang kredibel.

Berita hoaks (palsu) akan terus diperbaharui (update), bisa jadi dalam hitungan detik menjadi konsumsi publik di media sosial. Hoaks yang sengaja dibuat oleh buzzer atau bukan buzzer sekalipun, bertujuan untuk membentuk opini yang meresahkan menggunakan gambar, kutipan yang terpotong atau narasi video yang tidak utuh. Maka, memastikan akurasi konten yang akan kita share, klarifikasi serta manfaatnya apa sebelum disebarluaskan.

Buzzer tidak selamanya negatif, tetapi menuntut kita lebih selektif. Sebagaimana yang terjadi dalam perubahan teknologi, ada asas manfaat dan madharat yang ada pada inovasi kecerdasan buatan yang memudahkan manusia. Begitupula dengan buzzer, tidak perlu dilenyapkan, karena keduanya merupakan keniscayaan yang ada pada tradisi politik maupun intelektual. 

Selain itu, perlu locus of control pada diri kita, yakni cara pandang seseorang tentang sesuatu, apakah dapat atau tidak dapat mengendalikan hal tersebut. Bahwa terdapat kesadaran dalam memilih pemimpin berada dibawah kendali kita sendiri, hal itu setelah benar benar meyakini yang terbaik, melalui pemeriksaan yang mendalam. 

Hal lainnya, tak mudah dibujuk rayu buzzer serta politik uang yang hanya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sesaat, tapi mempertaruhkan kesejahteraan umat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun