Mohon tunggu...
Ayub Wahyudin
Ayub Wahyudin Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, Bukan Anak dari Trah Ningrat, Maka Menulis untuk menjadikan Hidup Lebih Bermartabat!!

Hobi Menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kampus dalam Jeratan Harta, Tahta, Asmara dan Kuota

31 Mei 2023   20:26 Diperbarui: 20 Agustus 2023   13:48 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kampus sebagai pusat produksi pengetahuan serta menjadi epicentrum pendidikan, teknologi dan moral, diambang keruntuhan karena ancaman kekerasan seksual yang merajalela. Itupula yang disampaikan oleh Prof. Alimatul Qibtiyah, Ph.D (Komisioner Komnas Perempuan) dalam agenda “Lokakarya Inisiasi Penyusunan Regulasi Tentang Pencegahan dan Penangan Kekerasan Seksual di Kampus”.

Cherbon Feminist, Fahmina Institute, We Lead, ISIF (Institut Studi Islam Fahmina), PUSIGA (Pusat Studi Islam Gender dan Anak) ISIF, KKN-MM STAI SADRA, dan Ma'had Aly kebon Jambu, memandang perlu untuk membuka wawasan tentang kampus yang ramah terhadap perempuan, lokakaryapun terlaksana dengan baik pada akhir 2022 lalu.  

Hal yang menjadi diskusi terkait dengan peranan kampus sebagai pionir pembebasan Kekerasan Seksual sekaligus menjadi citra dan sumber rujukan penangan Kekerasan Seksual bagi lembaga lain, juga masyarakat adalah bagaimana membuat sistem dan regulasi yang ramah, bukan hanya soal pencegahan, juga menyangkut implementasi perlindungan terhadap korban serta penerapan sanksi terhadap pelaku dan penindakan yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum.

Stereotif Sumber Fitnah

Sejak mengenal istilah harta, tahta dan wanita, tafsir tentang sosok perempuan seolah sumber fitnah, telah berpengaruh terhadap mental mode dalam Iceberg Analysis, yakni perempuan berhak untuk dilecehkan, harus melayani laki-laki, karena sumber fitnah yang dijadikan stereotif pada perempuan, akan melegalkan semua perempuan tanpa pengecualian.

Persoalan tersebut berlaku secara umum, di kampus dan luar kampus atau masyarakat pada umumnya. Padahal, sebagai korban secara simbolik (halus) sering kita temui dalam interaksi, misalnya “pantesan ga nutup aurat, layak disebut perempuan ga bener”, “hai cantik, open BO dong?” dan sebagainya. Lalu, bagaimana dengan ragam kasus terhadap perempuan berhijab?, apakah hal itu, kesalahan dari perempuan sebagai “sumber fitnah”. 

Apakah laki-laki berhak lolos dari dosa nafsu seksual?, berhak melakukan kekerasan seksual?, berhak mengintimidasi dan sebagainya. Soal Perempuan berhijab, hasil survei Hollaback! Jakarta, perEMPUan, Lentera Sintas Indonesia, Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta, dan change.org Indonesia, menunjukan kasus kekerasan seksual sebanyak 17% 

Hingga Bunuh Diri

Perempuan korban kekerasan yang dikucilkan keluarga dan kerabatnya, menambah trauma, stress, bahkan bunuh diri. Seperti yang terjadi pada 2020 silam, Novia Widyasari, seorang Mahasiswi yang tewas di dekat pusara sang Ayah. 

Mahasiswi Universitas Brawijaya (UB) ini menenggak racun karena depresi usai diperkosa dan dipaksa aborsi oleh sang kekasih, Randy Bagus, yang sudah dijebloskan ke dalam penjara. 

Sebagai mahasiswi Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Ilmu Budaya, UB, pernah melaporkan kasus pelecehan seksual yang pernah dialaminya ke pihak kampus, pendampingan terhadap korban tak hanya kewajiban keluarga, hendaknya juga dilakukan oleh pihak kampus. Inilah yang seringkali diabaikan.

Adapula, oknum dosen melakukan pelecehan seksual pada mahasiswi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Amai Gorontalo. Unjuk rasa, aksi teatrikal menutup mulut menggunakan lakban, sebagai bentuk keprihatinan atas isu pelecehan seksual yang menerpa kampus mereka. 

Lain halnya di Universitas Negeri Padang, Dosen meminta sesuatu yang panas-panas ke Bunga (bukan nama sebenarnya). Saat itu Bunga berpikir dosen tersebut minta teh atau kopi. Lalu, Bunga pergi ke dapur. Tapi, sesampai di sana, tangannya ditarik si dosen ke WC perempuan dan di sanalah si dosen melakukan hal bejat pada Bunga (liputan6.com, 11/02/2020)

Stereotif tentang perempuan, dikampus telah banyak memakan korban. Bahkan 77% dosen menyatakan pernah terjadi Kekerasan Seksual di Kampus. 63 % dari mereka tidak dilaporkan atau memilih bungkam, meskipun diketahui pihak kampus. Kekerasan terhadap Perempuan di lingkungan kampus, terjadi di berbagai tempat, tempat magang, KKN, rumah dosen dan daring (Data Lokakarya ISIF dan Komnas Perempuan)

Asmara dan Kuota

Sebagaimana data yang dihimpun oleh Komnas Perempuan, Kekerasan Seksual terbanyak dilakukan oleh pelibatan asmara kedua sejoli, sebagai istri maupun pacar. Kekerasan terhadap istri (KTI) menempati peringkat pertama 3.221 kasus (49%), disusul kekerasan dalam pacaran 1.309 kasus (20%) yang menempati posisi kedua. 

Perempuan masih menyandang stereotif sebagai sumber masalah maupun sumber fitnah, harus tunduk dan patuh adalah pemicu banyak persoalan dalam Kekerasan tersebut. Asmara yang merupakan perasaan senang kepada lain jenis (kelamin); (rasa) cinta terhadap lawan jenis.

Asmara maknanya sangat mulia, namun faktanya stereotif telah mengubahnya menjadi “srigala” yang tak berprikemanusiaan. Asmara harusnya mampu saling melengkapi dan tidak berpotensi merendahkan pasangan lainnya, yakni perempuan. Oleh karenanya, stereotif sumber fintah terhadap perempuan harus dihapuskan, tak lagi bersemayam dalam pikiran pasangan kita

Selain asmara, kuota yang mengilustrasikan Kekerasan Berbasis Gender Siber (KBGS), makin meningkat, akses yang tak terbatas dunia maya menjadi sumber kekerasan yang meluas. Misalnya, teman, teman media sosial orang yang belum dikenal sebelumnya (anonim). Bentuk kekerasan yang mendominasi KBGS adalah kekerasan psikis 49% (491 kasus) disusul kekerasan seksual 48% (479 kasus) dan kekerasan ekonomi 2% (22 kasus).

Jenis kekerasan bervariasi mulai dari Cyber Harrasment (Pengiriman Teks untuk Menyakiti, Menakuti, Mengancam, Mengganggu), Malicious distribution (Ancaman Distribusi Foto atau Video Pribadi atau penghinaan), Online defamation (Pencemaran Nama Baik), Sexting (Kegiatan pelaku yang dengan sengaja mengirimkan gambar intimnya ataupun pesan bernada seksual dengan maksud untuk melecehkan korban), Online Grooming (Sikap Pelaku untuk mendekati korban dan membangun koneksi emosional dengan seseorang di dunia maya hingga memperoleh kepercayaan korban) dan lain sebagainya (Catahu, Komnas Perempuan, 2021).

Cyber Harrasmen pernah menimpa mahasiswi Universitas Airlangga (UNAIR), dan mealporkan kasusnya ke Polres Setempat, ia mendapatkan teror bernada sexis melalui media daring, secara terus menerus. Banyak pula kasus yang tak dilaporkan kepihak kampus maupun Aparat Penegak Hukum.

Meskipun telah terbit SK Dirjen Pendis Kemenag nomor 5494 tahun 2019 serta Permendikbud 30 tahun 2021 tentang PPKS dan Hingga desember 2021 terdapat 23 PTKIN yang sudah resmi (ditanda tangani Rektor) menerapkan kebijakan PPKS. Namun Pengawalan harus tetap dilakukan, kecenderungan institusi pendidikan meskipun telah ada kebijakan, seringkali ada pengabaian terutama pendampingan korban dan penindakan terhadap pelaku melalui proses hukum oleh Aparat Penegak Hukum (APH)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun