Mohon tunggu...
Ayub Al Ansori
Ayub Al Ansori Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Penikmat tulisan. Peminum teh hangat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menangkal Radikalisme Agama di Kalangan Pelajar

12 Juli 2017   14:03 Diperbarui: 12 Juli 2017   14:07 4084
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
serambimata tribratanews.ntb.polri.go.id

Setiap sekolah baik negeri maupun swasta pasti memiliki organisasi ekstrakurikuler keagamaan untuk menambah wawasan keagamaan para siswanya. Khusus untuk siswa yang beragama Islam, sekolah menyediakan organisasi Rohis (Rohani Islam). Rohis menjadi nama umum untuk organisasi tersebut. Meski ada dibeberapa sekolah memberi nama yang berbeda, namun substansinya sama yaitu bimbingan keagamaan. Rohis banyak digemari siswa yang haus akan ilmu agama. Hingga suatu ketika ada siswa yang mengikuti bimbingan di Rohis tersebut mengkritik cara beribadah temannya bahkan orang tuanya yang dinilai tidak benar, entah shalatnya, cara mua'malah-nya, atau paradigma beragamanya.

Gejala demikian kini mulai berkembang di kalangan pelajar. Bahwa Islam, menurut sebagian kalangan termasuk siswa tadi, harus dilaksanakan secara "kaffah' atau murni, karena yang dilakukan oleh teman dan orang tuanya di rumah terkait ritual keagamaan dianggap tidak sesuai dengan tuntunan yang diajarkan Nabi. Tidak sesuai dengan Al Qur'an dan Sunnah/Hadits Nabi. Sehingga apapun ritual atau kegiatan yang dianggapnya tidak sesuai maka bid'ah, haram bahkan syirik. 

Padahal kita tidak bisa menjustifikasi cara ber-Islam model seperti apa yang menurut Al Qur'an dan Hadits Nabi. Sehingga berani mengatakan, bila ibadah yang tidak ditemukannya dalam Al-Qur'an dan Hadits, dianggap salah. Yang dianggap salah tersebut kalau jaraknya masih tipis dianggap bid'ah, kalau jaraknya sudah jauh dianggap kafir. Pada tahap yang lebih serius, pemahaman siswa tadi, kita menyebutnya radikal.

Kenapa Bisa Terjadi?

Pemahaman radikal ini sudah merasuk kepada pelajar di sekolah. Para pelajar kini sudah banyak disuguhkan pemahaman Islam yang keras, kaku, dan rigid. Bahkan diajari cara berdakwah yang konfrontasi, menyalahkan dan menuding sesat. Bukankah seharusnya mereka mendapat pemahaman Islam yang damai dan lembut, sebagaimana usia mereka yang masih kategori remaja. Mereka menerima doktrin begitu saja tanpa ada kesempatan cek and ricek dengan melakukan diskusi dan kajian ilmiah, apakah benar cara ber-Islam yang teman dan orang tua mereka lakukan di lingkungannya itu keluar dari koridor Al-Qur'an dan Hadits dengan menjustifikasi haram, bid'ah, syirik, dan sesat, sehingga harus ada gerakan kembali pada Al-Qur'an dan Hadits. Padahal menurut KH Husein Muhammad dalam buku Toleransi Islam menuliskan, Agama hadir untuk mewujudkan etika-etika kemanusiaan, kedamaian, kebaikan, dan cinta, bukan untuk merusak, membodohi, dan membenci.

Melihat hasil riset Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) yang dipublikasikan empat tahun lalu sangat mengkhawatirkan. Pandangan radikal dan intoleransi menguat di lingkungan pelajar dan guru Pendidikan Agama Islam (PAI). Dibuktikan dengan hampir 50 persen pelajar setuju tindakan radikal. Data itu menyebutkan 25 persen siswa dan 21 persen guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi. Sementara 84,8 persen siswa dan 76,2 persen guru setuju dengan penerapan Syariat Islam di Indonesia. 

Jumlah yang menyatakan setuju dengan kekerasan untuk solidaritas agama mencapai 52,3 persen. Untuk lengkapnya, setuju terhadap tindakan pelaku pengrusakan dan penyegelan rumah ibadah (guru 24,5%, siswa 41,1 %); pengrusakan rumah atau fasilitas anggota keagamaan yang dituding sesat (guru 22,7%, siswa 51,3 %); pengrusakan tempat hiburan malam (guru 28,1%, siswa 58,0 %); atau pembelaan dengan senjata terhadap umat Islam dari ancaman agama lain (guru 32,4%, siswa 43,3 %). Parahnya ada 14,2 persen siswa yang membenarkan serangan bom.

Kita juga mesti menyadari, pemahaman agama siswa tidak hanya merujuk pada guru mata pelajaran agama atau PAI, tapi justru mentor-mentor kegiatan keagamaan ekstrakurikuler seperti Rohis. Mentor-mentor ini yang kadang menularkan virus intoleransi. Misalnya doktrin agar tak hormat bendera merah putih dan Pancasila itu "thogut" atau setan.

Sementara itu, peneliti LIPI Anas Saidi mengatakan, paham radikalisme ini terjadi karena proses Islamisasi yang dilakukan di kalangan anak muda berlangsung secara tertutup, dan cenderung tidak terbuka pada pandangan Islam lainnya, apalagi yang berbeda keyakinannya. Dia mengatakan jika pemahaman ini dibiarkan, bisa menyebabkan disintegrasi bangsa karena mereka menganggap ideologi pancasila tidak lagi penting (BBC Indonesia, 18/2/2016).

Hal ini sebetulnya sudah disadari oleh pemerintah kita. Isu penolakan terhadap keberagaman muncul menjadi salah satu isu strategis bidang pendidikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Pemerintah mengakui pendidikan agama masih belum mampu menumbuhkan wawasan inklusif. Proses pengajaran cenderung doktriner dan belum sepenuhnya diarahkan pada penguatan sikap keberagamaan siswa. Pertanyaannya adalah bagaimana kita sebagai msyarakat dapat bekerjasama dengan pemerintah dalam menangkal radikalisme di kalangan pelajar ini?.

Jika kita mencoba menganalisis, ada beberapa faktor mengapa radikalisme di kalangan pelajar ini menguat. Pertama, tidak adanya proteksi diri dari dalam diri pelajar itu sendiri. Bisa jadi mereka merasa tidak enak atau bahkan tidak berani untuk melakukan tabayunkepada guru atau mentor kerohaniannya terkait apa yang didokrtinkan kepadanya. Sehingga para pelajar ini menerima doktrin-doktrin tersebut tanpa adanya proses selektif. Atau bisa jadi tidak diberikannya akses untuk melakukan tabayun sehingga para pelajar tersebut harus menerima apa adanya doktrin yang disampaikan dengan iming-iming pahala dan surga.

Kedua, lemahnya penerjemahan "nilai-nilai agama" yang terkandung dalam Al Qur'an dan Hadits Nabi oleh pemangku kebijakan di sekolah. Sehingga muncul anggapan "yang penting siswa diberi tambahan wawasan keagamaan". Padahal memahami agama itu tidak semudah membalikkan telapak tangan namun juga tidak menyulitkan pemeluknya. Karena radikalisme di kalangan pelajar tentu muncul dari oknum guru yang mengajarkannya. Sehingga hanya karena satu atau dua orang oknum, dapat mengakibatkan dan merubah paradigma sekolah tersebut.

Apa yang Harus Dilakukan?

Ada beberapa catatan penting yang harus bersama-sama kita lakukan. Pertama, pengarusutamaan nilai-nilai kebhinekaan di sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta. Sekolah harus menjadi tempat strategis membangun kesadaran kebhinekaan dan toleransi. Sekolah harus membuka ruang dialog yang terbuka dalam melakukan kajian-kajian keagamaan bagi siswanya. Selain itu upaya-upaya yang bisa dilakukan dengan peningkatan kapasitas kepala sekolah, guru-guru, termasuk pejabat di dinas pendidikan atau kementerian agama.

Selain itu pihak sekolah harus protektif dalam menjaga proses pendidikan yang berlangsung. Tinjauan secara terus menerus terhadap kurikulum, tenaga pengajar berikut staf-stafnya, dan umumnya seluruh civitas sekolah harus tetap dilakukan, guna menghindari merembesnya gejala-gejala radikalisme.

Dalam kapasitasnya sebagai pemegang kebijakan, pemerintah dalam hal ini harus dapat berperan aktif. Pemerintah -melalui dinas pendidikan dan kementerian agama- agar tidak segan-segan untuk menindak tegas sekolah-sekolah (atau lembaga pendidikan lainnya) yang berpotensi radikalis. Terutama menindak tegas sekolah anti-Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Yang terpenting mendorong orang tua murid agar memondokkan anaknya di pesantren yang dekat dengan sekolahnya. Ini peting karena hanya pesantrenlah lembaga pendidikan keagamaan saat ini yang memberikan ajaran agama yang moderat dan cinta damai. Selain itu pesantren mengajarkan akhlak yang baik dan sikap mandiri.

Kedua, meningkatkan partisipasi orang tua murid untuk memastikan agar anak-anak mereka tidak mengambil jalan pemahaman radikalis dan intoleran. Dengan senantiasa menanyakan perkembangan anak di sekolahnya. Bisa pula memaksimalkan peran forum guru dan komite sekolah. Forum guru dan komite sekolah bisa menjadi tempat di mana mereka bisa bersama-sama mencari solusi membangun nilai-nilai toleransi.

Ketiga, penting bagi pemerintah untuk menghimbau sekolah-sekolah agar melakukan kerjasama dengan organisasi pelajar yang moderat di Indonesia dalam memperkuat nilai-nilai kebhinekaan di sekolah-sekolah.

Dengan demikian radikalisme agama di kalangan pelajar dapat diatasi. Penulis ingat apa yang dituliskan Gus Dur bahwa "Kita butuh Islam ramah bukan Islam marah". Oleh karena itu lanjut Gus Dur "Kita harus mengembangkan paradigma Islam kita yang toleran, bukan Islamku dan Islam anda yang cenderung fanatis". Mudah menuliskannya tapi perlu usaha keras melaksanakannya bukan?

Oleh: Ayub Al Ansori

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun