Oleh: Uub Ayub Al Ansori
Al-Maghfurlah Kang Asror -panggilan hormat untuk KH Asror Muhammad-, Pengasuh Pondok Kebon Jambu Pesantren Babakan Ciwaringin Kab. Cirebon. Beliau putra Al-Maghfurlah Akang KH Muhammad sang pendiri Pesantren. Beliau salah seorang Kyaiku di Pesantren. Beliau yang menanamkan karakter pada diriku. Pada beliaulah aku belajar arti khidmah yang sesungguhnya. Belajar bagaimana memiliki integritas dan profesionalitas diri.
Masih selalu ingat ketika mondok dulu, mesti, setiap sebulan sekali aku dipanggil ke griya beliau. Beliau hanya menanyakan kabar dan menanyakan sejauh mana aktifitasku di luar Pondok. Maklum santri yang berangkat pagi, pulang malam. "Santri Mahasiswa" kata rekan-rekanku di Pondok bilang. Beliau selalu berpesan dan selalu diulang-ulang jika aku dipanggil, "Kudu pinter bagi waktu. Mana waktu untuk Pondok, untuk kuliah, dan untuk berorganisasi. Dahulukan pondok. Di Pondok kamu belajar bertahan diri, belajar mandiri, belajar ngaji, belajar ngajar, dan belajar khidmah,".
Pesan itu selalu teringat hingga kini. Kebetulan waktu itu aku sedang diberi amanah memimpin salah satu komplek di Pondok Kebon Jambu. Namanya Komplek Arofah Al Musyarrofah. Sedikitnya ada 200-an santri di komplek tersebut. Berat memang, namun harus dijalani. Berbekal rasa percaya diri dan niat khidmah untuk Pesantren. "Amanah ti santri kudu dicekel. Sing percaya diri. Nu penting niat khidmah Lillahi ta'ala. Kudu yakin urang bisa" (Amanah dari santri harus dipegang. Harus percaya diri. Yang penting niat untuk khidmah karena Allah. Yakin pasti bisa -terj).
Kata-kata dari beliau itulah yang menjadi motivasi sekaligus prinsipku hingga kini. Setiap aku dinasihati, kata "khidmah" selalu tidak ketinggalan beliau ucapkan.
Aku masih ingat, beliau juga manajer dan penata ruang yang handal. Suatu kali aku dipanggil oleh beliau. Sekira pukul 07.00 pagi. Padahal waktu itu aku sudah rapih mau berangkat ke kampus untuk ujian tengah semester. Buru2 aku mengenakan sarung dan pakaian lengan panjang untuk memenuhi panggilan beliau. Sesampainya di griya beliau, aku ditanya sudah sarapan belum. Dan yg lebih penting beliau mengajakku berdiskusi tentang tata kelola pesantren. Khususnya tata kelola komplek. "Menurut Ayub di depan komplek Arofah kira2 rapih tidak kalau pakai paving blok?" Pertanyaan yg membuatku berpikir keras. "Insya Allah rapih, Kang. Taman komplek juga rencananya akan dirapihkan, Kang," jawabku saat itu dengan hati2 takut salah. Beliau memberikan kepercayaan padaku untuk mengelolanya. Tentu masih banyak obrolan pagi hari itu.
Sebelum aku pamit, beliau berpesan padaku, pagi itu juga aku harus mimpin santri komplek untuk roan -semacam kerja bakti- merapihkan area belakang komplek. Saat itu aku galau. Harus ke kampus untuk UTS. Bahkan rekan2 sekamarku menganjurkan untuk tetap ke kampus, biar urusan roan mereka yg handle. Tapi aku punya keyakinan akan lebih baik dan manfaat "sam'an wa to'atan". Akhirnya aku harus mimpin roan, dan merelakan dapat nilai D untuk matkul yg tidak aku ikuti UTS nya. Dan aku tidak pernah menyesalinya.
Beliau juga yang mengajarkanku berani bicara di depan orang. Saat kelas Fathul Qorib, setiap hari selalu pakai metode musyawarah. Bergiliran, setiap santri wajib bicara mengutarakan pendapatnya sesuai referensi yang ditemukan kelompoknya. Beliau memperhatikan, tidak bicara kecuali mengakhiri pengajian. Aku dan teman2 dibiarkan adu argumentasi dg referensi masing2, tak jarang sampai larut malam.
Beliau juga mengajarkan kepadaku arti sesungguhnya menghormati tamu dan profesional dalam bertugas. Tamu yg datang ke Pesantren siapapun dia, baik pejabat maupun wali santri harus betul2 dihormati. Tidak boleh ada tamu yg dibiarkan menunggu tanpa diajak ngobrol. Ketika Pesantren punya hajat, panitia mesti rapih bahkan harus pakai celana bahan panjang dan pakaian seragam. Selalu siap dengan tugasnya masing2.
"Berikan yang terbaik untuk para tamu kita," begitu beliau selalu mengingatkan saat musyawarah.
Terlalu banyak kenaganku dengan beliau. Aku yang agak bandel di Pesantren, pernah "dibotak" oleh beliau karena pulang tanpa izin, pernah digrujug oleh beliau dg air kecomberan kakus santri gara2 bolos ngaji, pernah direndam di kolam wudhu malam2 akibat keluyuran malam dan nonton final piala dunia tanpa izin, dan pernah betis kaki disabet pake papan gara2 bantu teman memprovokasi se-angkatan/kelas untuk setor hafalan Alfiyah serentak hanya 100 nadzom per orang, padahal banyak yg sudah hafal mencapai 500 nadzom lebih, bahkan khatam 1001 nadzom.
Meskipun begitu beliau selalu sabar dan tenang. Tidak memperlihatkan raut marah dan emosi. Bahkan beliau mendo'akan dan menasihati. Masih teringat yg selalu beliau katakan, "Harus malu sama santri dibawah kalian. Belajar dewasa dan berikan contoh akhlak yg baik,". Nasihat itu selalu ku ingat.
Aku juga masih ingat kala memberanikan diri, sendirian memohon izin kepada beliau untuk boyong -keluar Pesantren-, banyak sekali aku dinasihati. "Jangan lupakan Pondok Kebon Jambu. Sering shilaturahmi ke pondok. Kang Asror izinkan -boyong-. Kang Asror ridlo," pesan beliau saat itu yg membuatku lega.
Suatu saat, organisasiku mengadakan Latihan Kader Muda (Lakmud) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) -- Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) se-Wilayah 3 Cirebon di Gedung Pertemuan Ulama Pesantren Babakan Ciwaringin. Sekira pukul 13.30 tiba-tiba beliau (KH Asror Muhammad) mendatangi tempat kegiatan. Seketika itu aku merasa sangat malu. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Malu karena belum sempat sowan padahal lokasi kegiatan tidak terlalu jauh dari Pondok. Malu karena jarang shilaturahim. Sekadar untuk mengundang beliau saja aku mesti mewakilkan orang. Ahhh, serasa jadi santri yang Su-ul adab pada Kyainya.
Tidak disangka beliau justru bilang, "Sengaja, hari ini ba'da dzuhur dan ashar pengajian santri bagian saya diliburkan. Ingin nengok anak (aku sebagai santrinya-red) yang sedang khidmah di NU," beliau bilang di depan sebagian rekan-rekan dan tamu yang menunggu giliran mengisi materi.
Namun beliau melanjutkan "Meski anak saya itu jarang pulang ke Pondok. Jarang nengok Arofah (Komplek Arofah Al Musyarrofah) yang masih pake gribik," beliau tertawa kecil sambil menengok ke arahku.
"Kapan Ayub terakhir kali ke Jambu?" Tanya beliau kepadaku. Dan pertanyaan itu sulit aku jawab. Memang harus ku akui beberapa bulan ke belakang aku jarang sekali sowan ke Pondok.
Saat itu aku seolah-olah disadarkan kembali, betapa pedulinya beliau padaku. Aku yang tidak peduli masih dianggapnya sebagai anak. Subhanallah.
Yang membuatku merasa kehilangan, aku belum sempat sowan ke beliau untuk sekadar menanyakan kabar dan memberi kabar baik bahwa operasi kelainan kelenjar tiroidku berjalan lancar.
Sebelumnya aku tidak berani melakukan cek up ke dokter. Namun beliau menasihatiku sekaligus mendo'akanku agar lekas sembuh dan sehat. "Ikhtiar mah kedah. Enggal ka dokter. Kedah operasi ya operasi. Insya Allah dipasihan sehat," kata beliau sambil memegang benjolan tiroidku dan mendo'akanku.
Itulah terakhir kali aku bertemu dengan beliau. Hingga suatu pagi Jum'at di bulan Ramadan aku mendapat kabar beliau telah menghadap dan bersanding dengan Allah SWT dengan tenang. Yaa Allaah, untuk beliau Kang Asror, Al Fatihah. .
Majalengka, 11 Juni 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H