Tanggal 28-30 Juli 2017 mendatang, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Jawa Barat akan memiliki hajatan besar yakni Konferensi Wilayah (Konferwil) ke-XVIII di Kabupaten Tasikmalaya. Tentu momentum ini sangat ditunggu-tunggu oleh setiap kader IPNU di seluruh penjuru Jabar.
Setiap momentum Konferwil kerap menguras energi baik pikiran maupun fisik dan tentu tentang angka intrinsik dalam satuan mata uang. Konsolidasi melebur jadi satu dalam ambisi atau cita-cita. Beda-beda tipis. Tapi hal itu apakah kehendak dari alam bawah sadar atau ruang kesadaran untuk bergerak ke arah lebih baik?
Masing-masing kader akan bersaing memunculkan diri dalam perebutan suksesi kepemimpinan ini. Tentu bukan menjadi permasalahan bagi setiap person kader atau hanya sekedar eksistensi akan diri untuk mewakili ego kewilayahan mengikuti kompetisi dalam pemilihan. Berbagai gaya dan cara ditempuh, loby, diplomasi dan tentunya silahturahim dilakukan. Ini merupakan bagian dari aplikasi materi kaderisasi, teknik komunikasi dan lobying.
Dalam momentum ini, kita seakan terjebak pada rutinitas yang dapat dikatakan telah mengkultus dalam alam bawah sadar kader IPNU dari konferwil ke konferwil. Seolah Konferwil hanya menjadi ajang suksesi kepemimpinan di IPNU Jabar. Lalu pertanyaannya, siapa selanjutnya pemegang pucuk pimpinan organisasi pelajar-santri di tingkat Jawa Barat ini?
Hemat penulis, dalam momentum konferwil dan suksesi kepemimpinan IPNU Jabar nanti harus meninggalkan sesuatu yang lebih berarti. Harus seimbang antara nalar untuk berkuasa dan nalar berpengetahuan. Minimalnya itu. Dengan kata lain, harus terjadi gradasi atau pergeseran nalar dari hanya sekadar suksesi kepemimpinan ke arah nalar suksesi untuk berpengetahuan.
Bahwa Konferwil menjadi ajang pergantian kepemimpinan di IPNU Jabar melalui proses pemilihan Ketua baru adalah tempat yang tepat. Dan memang di konferwillah arenanya. Namun perlu disadari momen konferwil jauh lebih dari sekadar itu. Konferwil juga harus dijadikan ajang arena penguatan visi kaderisasi organisasi sebagai manifestasi nalar berpengetahuan. Tentu ini harus digerakan dengan nalar pengetahuan yang menjadi visi dari IPNU itu sendiri. Meninggalkan tradisi nalar pengetahuan tentu akan menciderai ruang pelajar-santri sebagai penerus kelas intelektual handal di dalam tubuh Nahdlatul Ulama.
Pada momen konferwil nanti perlu ada kajian yang mendalam bagaimana Garis-garis Besar Program Perjuangan dan Pengembangan (GBPP) IPNU, Prinsip Perjuangan, dan Sistem kaderisasi IPNU yang sudah disepakati di Kongres, lebih bisa diejawantahkan secara teknis-aplikatif di setiap tingkatan organisasi hingga tingkatan paling bawah sekalipun, berupa program-program yang nyata, kreatif, dan inovatif plus berkesinambungan.
Diskursus sistem kaderisasi jauh harus lebih diperhatikan. Teknis di lapangan tidak semudah di buku pedoman kaderisasi nasional. Sistem kaderisasi dari periode ke periode seperti mengulang-ulang istilah yang digeser sana sini tanpa mengetahui makna filosofi dan hakekat materi yang ada dan yang dibutuhkan. Ini bukan sistem bongkar pasang teori. Ini soal teknis di lapangan. Atau memang kita menginginkan sistem kaderisasi yang terus melulu dibongkar, biar di bawah tetap melaksanakan kaderisasi dengan apa adanya?
Sistem kaderisasi IPNU harus sudah bisa diejawantahkan dalam bentuk formula yang tidak pernah berhenti berproses. Artinya kaderisasi yang terstruktur dan kontinue. Dari mulai rekrutmen, pelatihan kaderisasi formal dan nonformal, hingga distribusi kader. Sehingga kaderisasi tidak terjebak pada kuantitas semata, tapi kaderisasi yang mengedepankan kualitas.
Soal rekrutmen dan pelaksanaan kaderisasi formal penulis kira sudah clear di banyak jenjang kepengurusan. Meski harus diakui soal kaderisasi dan organisasi di Jawa Barat masih debatable. Diskursus ini belum menemukan titik temu, sekalipun sudah dibahas hingga larut Shubuh saat Rakorwil IPNU Jabar di Sumedang lalu. Soal PC yang masih berkutat pada pelaksanaan Makesta, padahal syarat menjadi pengurus PC adalah Lakmud. Bagaimana ingin memenuhi kriteria itu, jika PC nya saja tidak melaksanakan Lakmud?!. Pada akhirnya banyak pengurus PC bahkan jajaran BPH nya belum Lakmud. Penulis kurang tahu apakah fenomena ini terjadi di PW bahkan PP yang standar kaderisasinya jauh lebih ketat. Bahkan ada usulan PC boleh mengadakan Lakmud jika sudah terbentuk 50% atau sekian persen PAC diwilayahnya. Ini tambah berat saja bagi PC yang PAC nya belum banyak terbentuk. Ada wacana PC boleh Lakmud asal sudah mengadakan Makesta sebanyak sekian kali di setiap Kecamatan yg belum terbentuk PAC nya. Sunggguh persoalan ini masih menjadi diskursus yang tidak akan pernah berhenti. Penulis kira tidak salah jika persoalan kaderisasi dan organisasi ini dikemukakan kembali di Konferwil nanti.
Secara garis besar kita sudah sepakat dengan skema kaderisasi di mana setiap jenjang kaderisasi ada penanggungjawab utama, misal; tanggung jawab Makesta untuk PAC/PK, sedangkan Ranting hanya rekrutmen dan pendelegasian calon anggota -ini pun jika Ranting tidak mampu Makesta-, Lakmud untuk PAC/PC, Lakut untuk PC dengan beberapa persyaratan, tetapi Lakut wajib untuk dilaksanakan setiap PW. Dan Latihan Instruktur Nasional (Latnas) wajib dilaksanakan oleh PP.