Menziarahi Mahbub Djunaidi dan M Zamroni (Refleksi Harlah PMII ke-56)
Oleh: Ayub Al Ansori *)
Saat menulis catatan ini, dalam bayangan penulis, Mahbub Djunaidi sedang membaca koran seperti semasa hidup dulu dan M. Zamroni sedang lantang berorasi di atas podium atau di depan khalayak ramai. Tanggal 17 April 2016, kami kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) memiliki hajatan besar. Hajatan yang dulu pernah Mahbub Djunaidi dan M. Zamroni berikut sahabat-sahabat lainnya lakukan pula.
Tahun ini organisasi yang dulu pernah mereka berdua pimpin kini sudah berumur 56 tahun. Umur yang tidak lagi muda. Bahkan, sudah setengah abad lebih umur organisasi yang dulu pernah berjuang di era 60-an, hingga hari ini tentunya. Tepatnya tanggal 17 April 1960 dideklarasikan sebagai Hari Lahir (Harlah) PMII di balai Pemida Surabaya.
Menziarahi Mahbub Djunaidi
Bagi Mahbub Djunaidi, penulis yakin, jika beliau masih hidup, masih ingat betul suasana saat itu. Ditempat itu pula beliau didaulat menjadi ketua umum pertama PMII. Setelah disepakati oleh 13 orang pendiri PMII. Penulis ingin sekali rasanya mendengar susah senangnya merintis PMII kala itu. Juga gagasan-gagasan dan humor-humor yang selalu beliau sampaikan kepada khalayak. Penulis yakin, kerinduan tentang ide-ide beliau dalam bentuk tulisan serta humor-humor bukan hanya ingin didengar oleh penulis. Tapi, kader-kader PMII yang lain juga ingin mendengarnya.
Untuk mengetahui ide-ide dan gagasan beliau juga humor-humornya, kita hanya bisa membacanya lewat buku-buku dan beberapa artikel yang ada di situs internet. Misalnya dengan membaca tulisan-tulisannya yang pernah dimuat dalam koran kompas. Kini sudah menjadi buku yang judulnya Asal-Usul. Atau tulisan gaya humorisnya lewat novel Dari Hari ke Hari. Hanya lewat membaca tulisan-tulisan itu lah kita merasa berada dekat dengan Mahbub Djunaidi.
Seorang sahabat lamanya, Umar Said (Bendaraha Pusat PWI 1963) pernah menulis tentang Mahbub Djunaidi. Begini dia menulis: “Mahbub adalah aset berharga yang pernah dimiliki oleh NU. Banyak orang menemukan pada dirinya sosok seorang Muslim yang membawakan kehangatan sesama manusia, dan toleransi yang mengandung rasa saling menghargai. Ketika banyak orang masih takut berhubungan dengan para wartawan ex-tapol - atau bahkan memusuhi mereka – ia berani menggalang persahabatan dengan mereka. Ketika sebagian dari kalangan Islam masih bisa dipengaruhi dan digunakan oleh rezim militer Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan Suharto dkk, ia sudah mengambil sikapnya sendiri, dan tidak mau diajak untuk ikut-ikut atas nama agama menginjak-injak ajaran agama, dan ikut-ikut menjadi penyulut rasa permusuhan di antara berbagai komponen bangsa. Waktu itu, Mahbub sudah tampil sebagai salah satu di antara berbagai sosok pembangkit dan pembaru bangsa,”.
Saat membaca tulisan di atas, penulis benar-benar merinding. Belajar dari Mahbub Djunaidi bahwa ia adalah sosok yang bisa berbaur dengan berbagai kalangan. Sosok yang siap memberikan kritik pada siapapun. Tak hanya kiritik saja. Tapi gagasan-gagasan besar juga tak lupa ditawarkan. Tak jarang beliau menulis dengan kritis, menukik, dan tajam namun humoris. Sehingga beliau mendapat julukan “Si Pendekar Pena”.
Bahkan, kita juga harus belajar pada sosok Mahbub Djunaidi yang berjiwa besar. Misalnya, saat Mahbub Djunaidi meminta pada Presiden Soekarno agar tidak membubarkan HMI. Saat itu beliau menemui Bung Karno di istana Bogor dan meminta agar HMI tidak dibubarkan. Padahal, saat itu beliau sedang menjabat sebagai ketua umum PMII. Ah, beruntung sekali kawan-kawan HMI saat itu organisasinya tidak jadi dibubarkan.
Menziarahi M Zamroni
Sedangkan bagi M Zamroni, menjadi orator di atas podium dan di depan khalayak ramai sudah menjadi makanan sehari-hari. Beliau memang sosok yang banyak menjadi buah bibir.
Saat penulis pertama kali masuk PMII dan mendapatkan materi tentang sejarah PMII, dalam modul tertulis jelas nama M Zamroni sebagai orang yang sangat berpengaruh saat itu. Bahkan, ada buku berjudul ‘’Muhammad Zamroni Tokoh Kunci Angkatan ‘66’’. Buku itu bersampul hitam. Disampulnya terdapat foto beliau di depan microfon. Mungkin saat itu beliau sedang berorasi di depan khalayak ramai.
Beliau merupakan penggagas Independensi PMII. Menjadi Ketua Presidium KAMI Pusat (mulai pertama dibentuk sampai bubar). Beliau sosok yang berhasil menggerakkan Mahasiswa dan Pemuda di seluruh Indonesia berdemonstrasi turun ke jalan menuntut dan berhasil merontokkan Rezim Orde Lama. Beliaulah tokoh yang berani berdemonstrasi dan berdebat berhadap-hadapan secara langsung dengan Presiden Soekarno.
Jika Mahbub Djunaidi teman diskusi Soekarno sambil ngopi dan membaca koran, maka M. Zamroni menjadi teman debat Soekarno sambil tetap lantang demontrasi di depannya.
Hari ini, santer dibicarakan PMII back to NU, PMII kembali ke rumah, tak hanya satu atau dua orang yang ingin mengembalikan PMII ke NU. Bahkan, KH Nuril Huda tokoh pendiri PMII juga sependapat akan hal itu. Kabar itu sudah beredar di berbagai media baik online maupun cetak. Sudah dibahas dari tingkat diskusi rayon sampai seminar dan dialog publik. Juga menjadi pembahasan menarik di Muktamar NU Jombang 2015 kemarin.
Isinya, KH Nuril mengatakan saat ini kondisi perpolitikan sudah normal. PMII harus kembali pada NU. Menurut beliau terpisahnya PMII dari NU saat itu karena kondisi politik. Sehingga mengharuskan demikian (independen). Masih, kata Kiai Nuril, di era Orde Baru, bila tidak memisahkan diri dari NU, PMII terancam dibubarkan oleh pemerintah saat itu. Namun, berbekal dokumen Deklarasi Murnajati yang isinya tertulis beberapa poin yang melandasi PMII menyatakan untuk menjadi organisasi independen. Dan diakhir dokumen deklarasi itu tertulis: “menyatakan diri sebagai organisasi independent yang tidak terikat tindakannya kepada siapapun dan hanya komitmen dengan perjuangan nasional yang berlandaskan Pancasila”.
Pernyataan tersebut dideklarasikan di Murnajati Malang Jawa Timur 17 Juli 1972. Membaca catatan sejarah PMII, tahun itulah M. Zamroni sedang menjabat sebagai ketua umum PMII.
Sementara dalam buku yang disusun Effendy Choirie dan Choirul Anam yaitu Pemikiran PMII dalam berbagai visi dan persepsi, M. Zamroni juga pernah menulis tentang detik-detik munculnya deklarasi Munarjati.
Dalam tulisannya tersebut, M. Zamroni mengatakan, saat itu NU terkena polusi dan berfirqoh-firqoh. Ada kelompok KH Idam Cholid, ada kubu Pak Subhan ZE, dan ada golongan Pak Syaichu. Dari kondisi itulah beliau berfikir untuk menyelamatkan PMII. Caranya adalah PMII harus independen. Masih dalam tulisan itu, beliau juga mengungkapkan alasan independen PMII tidak hanya muncul karena ada firqoh di tubuh NU. Namun, beliau meyakinkan pisahnya PMII dengan NU itu karena PMII semakin besar dan dewasa, jadi harus bisa menentukan sikap dan masa depannya sendiri. Bahkan, sebelum gagasan independen itu dibawa ke Musyawarah Besar (Mubes), beliau mengkonsultasikannya ke KH Idham Kholid, H Mahbub Junaidi, dan Pak Subhan ZE. Saat itu, beliau menuliskan KH Idham Cholid dan Mahbub Junaidi setuju. Sedangkan Pak Subhan ZE tidak. Selain itu, M Zamroni menyampaikan sikap independensi PMII tetap berada dan konsisten pada Islam Ahlussunnah Wal Jamaah.
Beliau juga menyatakan saat itu PMII-lah perumus konsep Aswaja secara tertulis. Para perumus itu diantaranya Harun Al-Rasyid dan Chatibul Umam. Beliau juga berpendapat biar PMII independen tetapi tetap Aswaja. Sehingga kata beliau, PMII harus menjadi pengawal utama dalam membumikan Islam Ahlussunnah Wal Jamaah. Patokannya dalil naqli dan dalil aqli (rasio). Karena itu, pengkajian, pemahaman, dan perekayasaan pemikiran keislaman hendaknya terus menerus dilakukan.
Kembali ke Cirebon
Kalau boleh penulis sedikit bercerita, jika dulu saat Mahbub Djunaidi dan M Zamroni menjadi ketua umum hanya memiliki beberapa cabang. Kini, cabang PMII hampir ada di setiap kota dan kabupaten di Indonesia. Bahkan, di Cirebon, di beberapa komisariat/kampus agama maupun umum, mars PMII sudah banyak dilantunkan oleh kader-kader perisai sakti ini. Tapi, banyak-sedikitnya komisariat PMII di Cirebon bukan menjadi satu-satunya tolak ukur organisasi ini sudah benar-benar maju atau stagnan.
Kini, geliat-geliat intelektual sudah mulai luntur. Jarang sekali kader PMII yang mempublikasikan ide, gagasan, hasil diskusi atau hasil bacaanya dalam bentuk tulisan. Sehingga dibaca orang dan bisa menjadi bahan diskusi berkelanjutan. Yang ada hanya konflik-konflik internal yang dihadapi oleh para kader PMII. Pada kondisi ini, kita harus benar-benar belajar pada sosok Mahbub Djunaidi.
Di Cirebon, dari 2. 121 anggota dan kader, kader PMII yang militan hanya bisa dihitung jari. Sehingga, munculah kader-kader narsis bukan lagi kader kritis. Apa kondisi ini dipengaruhi jarangnya anggota dan kader PMII merefleksikan diri dengan keadaan sosial masyarakat saat ini?. Sehingga, kita sudah lupa dengan tujuan dan arah gerak dilahirkannya PMII. Pada kondisi ini, kita harus benar-benar belajar pada sosok M Zamroni.
Namun kita harus yakin kondisi ini pasti akan berlalu. Sebab, masih banyak kader PMII yang benar-benar ingin menghidupkan dan berjuang bersama PMII. Kader yang rela tikak makan karena uangnya disisihkan untuk menggelar kegiatan kaderisasi. Tak hanya itu, komisariat dan rayon bahkan cabang harus berpindah-pindah tiap tahun hanya untuk mempertahankan adanya kantor PMII. Semangat itulah yang membuat keyakinan besar bahwa PMII, khususnya PMII Cirebon, akan terus mendapatkan tempat ditengah-tengah mahasiswa dan masyarakat.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, kita juga harus belajar pada Mahbub Djunaidi dan M Zamroni terkait soal independensi PMII. Kita mesti cermat dalam mengkaji soal ini. Karena bagaimanapun hubungan PMII dengan NU merupakan hubungan sejarah yang tidak dapat dipisahkan. Terlepas PMII menjadi banom NU lagi, yang otomatis melepaskan independensinya, biarlah Kongres PMII mendatang yang akan menjawabnya. Menjadi banom NU atau tidak, PMII akan tetap menjadi basis kaderisasi NU dilevel mahasiswa.
Akhir kalam dari tulisan pendek ini: Selamat Harlah PMII ke 56. Doaku dan sahabat-sahabat PMII tak pernah telat untuk beliau berdua, Sahabat Mahbub Djunaidi dan Sahabat M Zamroni. Wallahu A’lam Bisshowabi.
Cirebon, 17 April 2016
*) Penulis adalah Kader PMII Cirebon.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H