Membaca PMII Cirebon
(Ikhtiar Menuliskan Sejarah PMII Cirebon)
Oleh: Ayub Al Ansori *)
A. Telaah Historisitas PMII Nasional[caption caption="Peggalan berita dalam Duta MAsyarakat"][/caption]
Ide dasar berdirinya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) bermula dari adanya hasrat kuat para mahasiswa Nahdliyin untuk membentuk suatu wadah (organisasi) mahasiswa Islam Indonesia yang berideologi Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja).[1]
Ide ini tak dapat dipisahkan dari eksistensi IPNU-IPPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama-Ikatan Pelajar Putri Nadhatul Ulama), secara historis PMII merupakan mata rantai dari departemen perguruan tinggi IPNU yang dibentuk dalam Muktamar III IPNU di Cirebon, Jawa Barat tanggal 27 Desember 1958 – 2 Januari 1959.[2] Di dalam wadah IPNU-IPPNU ini banyak terdapat mahasiswa yang menjadi anggotanya, bahkan mayoritas fungsionaris pengurus pusat IPNU-IPPNU adalah mahasiswa.
Hasrat untuk mendirikan Organisasi Mahasiswa di kalangan NU sebenarnya sudah lama menjadi impian. Hal ini, terbukti dengan terbentuknya IMANU (Ikatan Mahasiswa NU) yang dibentuk pada Desember 1955 di Jakarta. Namun, organisasi ini tak mampu bertahan lama.
Berdirinya organisasi IMANU ditentang oleh Pimpinan Pusat IPNU dengan berbagai pertimbangan. Dalam hal ini, IPNU juga melakukan penelitian pada 2 (dua) permasalahan pokok yang menyebabkan pembendungan terhadap pembentukan organisasi mahasiswa NU, pertama, seberapa besar potensi mahasiswa NU; kedua, seberapa jauh kemampuan untuk berdiri sebagai organisasi mahasiswa.
Namun, hasrat untuk mendirikan sebuah organisasi bagi mahasiswa NU ini, masih merupakan api dalam sekam. Dalam Muktamar ke- II IPNU 1-5 Januari 1957 di Pekalongan, perlu tidaknya didirikan suatu organisasi kemahasiswaan tetap dibicarakan. Atas pertimbangan yang logis dan obyektif, desakan dari mahasiswa NU yang duduk di PT, Univesitas, dan Akademi akan organisasi khusus bagi mahasiswa, maka, pada Muktamar ke III IPNU di Cirebon, dibentuklah Departemen Perguruan Tinggi sebagai alat bagi pengurus yang duduk di Perguruan Tinggi.
Usaha yang dilakukan oleh IPNU dengan membentuk departemen perguruan tinggi pada dasarnya tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap kemajuan dan perkembangan mahasiswa NU. Para anggota pimpinan pusat IPNU akhirnya mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang diperdebatkan dalam rapat pimpinan pusat IPNU hal ini disebabkan beberapa hal. Pertama, wadah departemen perguruan tinggi dianggap tidak memadai dan tidak cukup menampung gerakan kemahasiswaan. Kedua, perkembangan politik dan keamanan dalam negeri yang menuntut pengamatan yang ekstra hati-hati, khususnya bagi para mahasiswa Islam. Ketiga, satu-satunya wadah kemahasiswaan Islam yang ada pada waktu itu adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang tokoh-tokohnya dinilai terlalu dekat partai Masyumi sedangkan tokoh-tokohnya telah melibatkan diri dalam pemberontakan PRRI.[3]
Dalam perkembangan berikutnya, menurut Fauzan Alfas, karena praktis departemen yang baru dibentuk tak dapat menjadi alat yang kongkret bagi mahasiswa NU yang memang alam dan kepentingannya sudah berbeda dengan pelajar, tanggung jawabnya pun berbeda, maka dalam Konferensi Besar ke-I IPNU 14-17 Maret 1960 di Kaliurang Yogyakarta, dengan diawali Ismail Makky yang saat itu menjabat sebagai ketua Departemen Perguruan Tinggi dan Moh. Hartono sebagai mantan ketua pimpinan usaha Harian Pelita Jakarta, menyatakan perlunya diadakan suatu organisasi mahasiswa secara khusus bagi mahasiswa Nahdliyyin.[4]
Untuk itu dibentuk panitia 13 (tiga belas) yang merupakan panitia sponsor pendiri organisasi ini yang ditunjuk untuk menyiapkan Musyawarah Mahasiswa NU se-Indonesia. Mereka terdiri dari A. Chalid Mawardi (Jakarta), M. Said Budairy (Jakarta), M. Sobich Ubaid (Jakarta), M. Ma’mun Sjukri BA (Bandung), Hilman (Bandung), H. Ismail Makky (Yogyakarta), Munsif Nachrowi (Yogyakarta), Nuril Huda Suaidi BA (Surakarta), Laili Mansjur (Surakarta), Abdul Wahab Djaelani (Semarang), Hizbullah Huda (Surabaya), M. Cholid Narbuko (Malang) dan Ahmad Husein (Makasar).[5]
Keputusan lainnya adalah tiga mahasiswa yaitu Hizbullah Huda, M. Said Budairy, dan M. Ma’mun Syukri untuk sowan ke Ketua Umum PBNU kala itu, KH. Idham Kholid.
Menurut Agus Sunyoto, berdirinya PMII juga tidak lepas dari permintaan Presiden Soekarno kepada KH. Idham Kholid. Ketika PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan Masyumi dibubarkan oleh Bung Karno (sapaan akrab Presiden Soekarno), beliau meminta kepada NU untuk mendirikan oganisasi mahasiswa Islam yang ‘Indonesia’ maka berdirilah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. Bung Karno sangat mengapresiasi dan mendukung PMII. Hal ini dibuktikan dengan hadirnya Bung Karno dalam Kongres Pertama PMII. Di hadapan peserta Kongres, Bung Karno menyampaikan pidatonya yang berapi-api, bahkan sempat berteriak “Hidup rakyat! Hidup PMII!”.[6]
Singkatnya, panitia 13 (tiga belas) di atas berhasil mengadakan Musyawarah Nasional (MUNAS) Mahasiswa NU pada tanggal 14-16 April 1960 di Surabaya, yang dihadiri oleh wakil-wakil Sekolah dari Sekolah Muslimat NU Wonokromo, Jakarta, Semarang, Malang, Surabaya, Senat-senat Mahasiswa dan Perguruan Tinggi NU. Atas dasar pertimbangan; pentingnya organisasi bagi mahasiswa untuk kepentingan mahasiswa, dan perjuangan politik, beridirilah PMII sebagai follow up Departemen Perguruan Tinggi IPNU.
Pada musyawarah itu disusun pula peraturan PMII, program kerja, dan menunjuk H. Mahbub Junaidi (tak hadir) sebagai Ketua Umum, A. Khalid Mawardi (Ketua I), M. Said Budairy (Sekertaris Umum), dan orang-orang inilah yang menyusun kepengurusan selengkapnya.
Berlakunya peraturan dasar dimulai pada 17 April 1960 pada resepsi diproklamirkannya Harlah (Hari Lahir) PMII di Balai Pemida Surabaya. Acara dan momen ini mendapat perhatian besar dari masa mahasiswa, senat mahasiswa, organisasi ekstra, dan intra universitas serta wakil-wakil golongan politik.
Nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia sendiri dipilih karena memiliki dasar-dasar filosofis gerakan. Makna pergerakan berarti dinamika dari hamba yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya memberikan rahmat bagi alam sekitarnya. Mahasiswa mencerminkan kelompok yang terbangun dari citra diri sebagai insan religius, akademik, insan sosial dan insane mandiri. Islam berarti nilai-nilai kebenaran yang berlandaskan ahlus sunnah wal jama’ah yang secara profesional dalam pemahaman antara Iman, Islam dan Ihsan. Sedangkan Indonesia berarti masyarakat bangsa dan Negara dalam kesatuan teritorial dan falsafah ideology bangsa (pancasila) serta UUD 1945. [7
B. Telaah Historisitas PMII Cirebon
Berdirinya PMII di Cirebon tidak lepas dari sejarahnya yang berawal dari departemen perguruan tinggi dalam IPNU. Tahun 1958 merupakan tahun bersejarah di Cirebon, bukan saja karena Muktamar III IPNU digelar di Cirebon, namun juga menjadi tempat bagi embrio yang akan melahirkan PMII. Menurut KH. Ibrahim Rozi, salah seorang pendiri PMII Cirebon, Muktamar tersebut di gelar di Gedung Bioskop yang sekarang menjadi Pasar Balong Kota Cirebon. Peserta Muktamar saat itu menginap di rumah-rumah warga dan hotel di sekitar Kota Cirebon.
Beliau juga sempat menghadiri Muktamar III IPNU pada tanggal 27 Desember 1958 – 2 Januari 1959 di Cirebon sebagai utusan dari PW. IPNU Yogyakarta. Selain membahas soal krisis politik dan ekonomi nasional, pengembangan cabang IPNU masih menjadi prioritas bahasan. Tidak hanya itu, Ibrahim Rozi juga menjadi saksi sejarah bahwa dalam Muktamar ini betapa keinginan mahasiswa NU untuk mendirikan organisasi kemahasiswaan ditubuh NU begitu tinggi, sehingga muncul gagasan pembentukan departemen perguruan tinggi sebagai embrio lahirnya PMII.[8]
Pada perjalanannya, Ibrahim Rozi lebih dahulu mendirikan IPNU di Cirebon tahun 1955 bersama teman-temannya. Baru kemudian pada tahun 1960 bersamaan dengan berdirinya kampus IAIN Cirebon, yang kemudian menjadi cabang dari IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, Ibrahim Rozi yang saat itu diberi tugas mencari mahasiswa baru untuk masuk ke IAIN bersama dengan 6 (enam) orang temannya menggagas dan mendirikan PMII di Cirebon. Mereka yang mendirikan PMII Cirebon adalah Maksudi Yusuf (Plered Cirebon), Suaeb Sumpeno (Cirebon), Umar Labib Irfan (Klayan Cirebon), Ahmad Sayuti Hasan (Kebon Baru Cirebon), Ahmad Syahari Muchsin (Kebon Baru Cirebon), Kistiharno (KS Tubun Cirebon), dan Ibrahim Rozy (Plered Cirebon). Dan ditunjuk sebagai Ketua Umum pertama PC. PMII Cirebon, pada tahun 1960, adalah H. Umar Labib Irfan, seorang jurnalis. Kemudian Ahmad Syahari Muchsin pada tahun 1966, yang tiga tahun kemudian yaitu tahun 1969 menjadi anggota DPRD Kabupaten Cirebon.[9]
Dalam ingatan Ibrahim Rozi, pada awal-awal berdirinya PMII, kegiatan-kegiatan PMII lebih mengarah pada penguatan internal khususnya diskusi-diskusi gerakan mahasiswa sebagai upaya menambah wawasan keilmuan dan kejelian dalam bernalar bagi anggota dan kader. Juga kegiatan-kegiatan pelatihan kaderisasi dan pelatihan-pelatihan kejurnalistikan. Baru kemudian pada masa Sahabat A. Syahari Muchsin terjadi pergolakan gerakan mahasiswa dengan adanya aksi yang digelar oleh KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) di Jakarta. Saat itu Ketua Presidium KAMI adalah Sahabat Zamroni yang juga merupakan Ketua Umum PB PMII. Ahmad Syahari Muchsin dan A. Sayuti Hasan mewakili PMII Cirebon berangkat ke Jakarta.
Sementara hubungan PMII dengan NU saat itu cukup erat karena sebagian pengurus PC. PMII Cirebon merupakan jebolan dari IPNU. Bahkan bisa dikatakan pendiri PMII Cirebon juga merupakan pendiri IPNU Kabupaten Cirebon. Terlepas dari itu semua, bagaimanapun PMII saat itu merupakan badan otonom (banom) NU. Saat itu di Cirebon belum ada wadah organisasi bagi mahasiswa NU. Dengan berdirinya PMII, mahasiswa NU begitu antusias ingin mendirikan PMII di Cirebon, termasuk mahasiswa yang masih tergabung dalam organisasi IPNU Cirebon. Namun demikian tidak terlalu banyak konflik kepentingan antara PMII dan IPNU saat itu. PMII dan IPNU masing-masing berjalan sesuai dengan garapan dan bidangnya masing-masing.
C. Struktur Kelembagaan
Sebagai salah satu cabang dari PMII, PC. PMII Cirebon tidak dapat melepaskan diri secara penuh dari peraturan-peraturan dasar yang telah ditetapkan. Ia berkewajiban menjalankan AD/ART, keputusan kongres, serta peraturan organisasi. Termasuk peraturan eksistensi cabang yang mensyaratkan paling tidak memiliki dua komisariat.
PC. PMII Cirebon dalam struktur organisasi berada di bawah PB (Pengurus Besar) PMII dan PKC (Pengurus Koordinator Cabang) PMII Jawa Barat, serta membawahi beberapa PK (Pengurus Komisariat) dan PR (Pengurus Rayon). Sampai awal tahun 2016, PMII Cirebon memiliki beberapa PK dan PR yang tersebar di 5 (lima) kampus dan 6 (enam) fakultas/jurusan yaitu IAIN Syekh Nurjati (Komisariat Syekh Nurjati), Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon (Komisariat Unswagati), STAI Ma’had ‘Ali Cirebon (Komisariat STAIMA), IAI Bunga Bangsa Cirebon (Komisariat BBC), Universitas Nahdlatul Ulama Cirebon (Komisariat UNU), Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN SNJ Cirebon (Rayon Pelangi Tarbiyah), Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam IAIN SNJ Cirebon (Rayon El Farouk), Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah IAIN SNJ Cirebon (Rayon An-Nahdloh), Fakultas Hukum Unswagati Cirebon (Rayon Cakrabuana), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unswagati Cirebon (Rayon Literat), dan Jurusan Tarbiyah STAIMA Cirebon (Rayon Ibnu Rusyd). [10]
Jika melihat perkembangan sebelumnya PMII Cirebon juga memiliki Komisariat di STIKOM Cirebon dan STID Al Biruni Cirebon. Namun pada perjalanannya STIKOM harus mengalami kekosongan anggota dan kader. Namun demikian penulis sendiri saat masih aktif menjadi Ketua Internal PC. PMII Cirebon masa khidmat 2014-2015, sempat rapat dengan para alumni PMII STIKOM, yang diantaranya Sahabat M. Syukron, Sahabat Jaka, Sahabati Roziqoh, Sahabat Andriyono, dan Sahabat Syihabuddin. Saat itu sudah disusun rencana untuk kembali mengaktifkan komisariat STIKOM. Namun pada realitanya belum sempat terwujud.
Sementara untuk STID Al Biruni mengalami stagnasi, meski akhir-akhir ini (awal 2016) sudah mulai terlihat semangat dari pengurus dan anggota PMII di kampus STID Al Biruni. Terlihat dengan kembali disusunnya kepengurusan Komisariat STID Al Biruni dan akan dilakukannya pelantikan.
Dalam kurun waktu tahun 2014-2016 berdiri PK PMII UNU Cirebon dan PR PMII FKIP Unswagati Cirebon (Rayon Literat). Juga kembali aktifnya PK PMII IAI BBC, PK PMII STAIMA Cirebon, PR PMII Tarbiyah STAIMA Cirebon, dan PR PMII FH Unswagati (Rayon Cakrabuana). Salah satu indikatornya adalah dengan melakukan gerakan kaderisasi dan regenerasi kepengurusan, lewat Mapaba dan RTK/RTAR.
Masing-masing komisariat dan rayon tersebut secara kelembagaan berada di bawah cabang. Namun pada fungsinya, cabang tidak secara penuh mengintervensi komisariat atau rayon, tetapi lebih sekedar sebagai fasilitator dan mediator rayon atau komisariat
D. Kemajuan Kaderisasi dan Pengembangan Anggota
Penerimaan menjadi anggota PMII dimulai dari tingkat rayon yang notabene merupakan struktur organisasi yang paling bawah dan bersentuhan langsung dengan kader. Rayon secara langsung bertanggungjawab terhadap rekrutmen anggota serta pelaksanaan pengaderan awal PMII. Namun apabila dalam sebuah Komisariat tidak terdapat Rayon maka tugas rekrutmen anggota menjadi tanggung jawab komisariat tersebut.
Rekrutmen anggota PMII di beberapa perguruan tinggi (komisariat) di Cirebon diadakan setiap tahun dan ditangani oleh pengurus rayon atau komisariat. Di beberapa perguruan tinggi, Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA) secara langsung ditangani oleh rayon. Namun tak jarang pula secara kolektif dilakukan di komisariat. Bahkan ada pula yang karena ketidakmampuannya, ditangani secara bekerjasama antara komisariat dan cabang. Di komisariat IAIN Syekh Nurjati dan Unswagati Cirebon, misalkan, MAPABA ditangani dan diselenggarakan secara langsung oleh masing-masing rayon. Hal ini dikarenakan rekrutmen yang dilakukan di masing-masing rayon berhasil menjaring peserta atas kemampuan yang sudah dimiliki rayon tersebut. Bahkan beberapa rayon, misalkan Rayon Pelangi Tarbiyah dan Rayon An-Nahdloh, berhasil melakuakan kaderisasi (MAPABA) dua kali dalam satu periode kepengurusan.
Sementara di perguruan tinggi di luar IAIN, rekrutmen anggota tidak sebesar IAIN. Sehingga pelaksanaan MAPABA jarang dilakukan di tingkat rayon, namun secara kolektif dilakukan di tingkat komisariat atau gabungan rayon. Bahkan ada yang “dititipkan” di MAPABA tempat lain.
Untuk memperlebar sayap organisasi di perguruan tinggi yang lain, jalur kultural dianggap efektif. Praktisnya dilakukan dengan dua cara, yakni membangun kontak person dengan mahasiswa di perguruan tinggi tersebut dan menitipkannya pada komisariat atau rayon yang melaksanakan MAPABA. Hal ini dapat mengembangkan ghirah untuk membentuk komisariat baru. Anggota yang telah resmi masuk ke PMII praktis terikat dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh PMII. Terlebih PMII sendiri merupakan organisasi ideologi yang memegang teguh prinsip-prinsip teologis dan ideologi yang menjadi pegangannya.
Hingga hari ini berdasarkan data internal PC. PMII Cirebon, PMII Cirebon kini memiliki 1.109 anggota dan kader aktif di berbagai komisariat dan rayon PMII Cirebon.[11]
Kita ketahui bersama, kaderisasi merupakan proses wajib bagi terbentuknya gerakan massif di PMII. Dengan demikian kaderisasi menjadi sebuah tuntutan yang tidak dapat dipisahkan sama sekali dari organisasi kaderisasi seperti PMII, dengan berbagai dasar argumentasinya.
Argumentasi tersebut adalah sebagai berikut; Pertama, Pewarisan nilai-nilai (argumentasi idealis), pengaderan ada sebagai media pewarisan nilai-nilai luhur yang difahami, dihayati dan diacu oleh PMII. Nilai-nilai harus diwariskan karena salah satu sumber elan-gerak PMII adalah nilai-nilai, seperti penghormatan terhadap sesama, perjuangan, kasih-sayang. Nilai-nilai tersebut selain disampaikan melalui materi-materi pengaderan juga ditularkan dalam pergaulan sehari-hari sesama anggota/kader PMII. Kedua, Pemberdayaan anggota (argumentasi strategis), pengaderan merupakan media bagi anggota dan kader untuk menemukan dan mengasah potensi-potensi individu yang masih terpendam. Secara lebih luas, pengaderan merupakan upaya pembebasan individu dari berbagai belenggu yang menyekap kebebasannya. Sehingga individu dapat lebih terbuka untuk menyatakan diri dan mengarahkan potensinya bagi tujuan perjuangan. Ketiga, Memperbanyak anggota (argumentasi praktis), manusia selalu membutuhkan orang lain untuk dijadikan teman. Semakin banyak teman semakin manusia merasa aman dan percaya diri. Hukum demikian berlaku dalam organisasi. Di samping itu kuantitas anggota sering menjadi indikator keberhasilan organisasi, meskipun tidak bersifat mutlak. Setidaknya semakin banyak anggota, maka human resources organisasi semakin besar. Keempat, Persaingan antar-kelompok (argumentasi pragmatis), hukum alam yang berlaku di tengah masyarakat adalah kompetisi. Bahkan teori Charles Darwin, survival of the fittest, nyaris menjadi kenyataan yang tidak dapat dielak siapapun. Dalam persaingan di tingkat praktek, cara yang sehat dan tidak sehat campur aduk dan sulit diperkirakan berlakunya. Melalui pengaderan, PMII menempa kadernya untuk menjadi lebih baik dan ahli daripada organisasi yang lain. Dengan harapan utama, apabila (kader) PMII memenangkan persaingan, kemenangan tersebut membawa kebaikan bersama. Hanya sekali lagi, persaingan itu sendiri tidak dapat dielakkan. Terakhir atau yang kelima, adalah sebagai mandat organisasi (argumentasi administratif), regenerasi merupakan bagian mutlak dalam organisasi, dan regenarasi hanya mungkin terjadi melalui pengaderan. Tujuan PMII yang termaktub dalam AD/ART Pasal 4 mengharuskan adanya pengaderan. Melalui pengaderan penggemblengan dan produksi kader dapat sinambung. Oleh karena menjadi mandat organisasi, maka pengaderan harus selalu diselenggarakan.[12]
Kelima argumentasi pengaderan di atas tentu sangat ideal. Meski pada perjalannya banyak sekali rintangan. Rintangan itu menjadi penghalang maju dan suksesya kaderisasi di PMII khususnya PMII Cirebon. Kita tidak bisa menolak argument bahwa di PMII banyak sekali orang cerdas. Sehingga seringkali timbul konflik dari perbedaan pendapat orang-orang cerdas tersebut yang justru kontra produktif dengan proses kaderisasi.
Dalam pengaderan PMII dikenal tiga bentuk pengaderan. Pertama, pengaderan formal. Yakni jenjang pengaderan yang telah ditentukan dalam Peraturan Organisasi (PO). Pengaderan ini berjenjang mulai MAPABA (Masa Penerimaan Anggota Baru), PKD (Pelatihan kader Dasar) dan PKL (Pelatihan Kader Lanjut).[13]
Kedua, pengaderan non-formal. Jenis pengaderan ini dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kader, seperti pengembangan skill dan lain-lain. Pengaderan ini berangkat dari pemetaan bakat dan minat kader untuk terjun dalam bidang-bidang tertentu.[14]
Idealnya, jenis-jenis pengaderan tersebut berjalin berkelanjutan. Dengan harapan kader yang nantinya terbentuk mempunyai skill memadai serta militan dalam gerakan. Kaderisasi formal menjadi penting dan utama karena merupakan dasar bagi kader PMII. Dan seterusnya pengaderan non-formal disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing kader.
Di PMII Cirebon sendiri baik PC, PK, maupun PR, telah melakukan proses kaderisasi yang disebutkan di atas tadi. Untuk MAPABA dilaksanakan oleh setiap PR atau PK, untuk PKD dilaksanakan oleh PK, dan untuk PKL dilaksanakan oleh PC. Begitupun pengaderan non-formal, sudah banyak dilakukan oleh PC, PK, dan PR di PMII Cirebon.
Sebut saja selama kurun waktu masa bhakti 2014-2015 telah dilaksanakan sebanyak 12 (dua belas) kali MAPABA oleh PR dan PK PMII di Cirebon, 1 (satu) kali PKD oleh PK. PMII IAIN SNJ Cirebon, dan 1 (satu) kali PKL oleh PC. PMII Cirebon. Tidak hanya pengaderan formal yang dilaksanakan oleh PC, PK, dan PR PMII di Cirebon, tetapi juga pengaderan non-formal, seperti Sekolah Advokasi, Pelatihan Administrasi dan Manajemen Organisasi, Pelatihan Jurnalistik, Kursus Bahasa Inggris, Pelatihan Karya Tulis Ilmiah, Sekolah Dasar Kepemimpinan, dan lain sebagainya.[15]
Ini menunjukkan bahwa proses kaderisasi di PMII tidak sebatas kaderisasi formal, tetapi juga kaderisasi non-formal sebagai follow up dari kaderisasi formal di PMII. Meski pada kenyataanya masih banyak kendala dan hambatan pada pelaksanaanya.
Bukan organisasi kalau tidak ada masalah, kendala, dan hambatan. Salah satu masalah yang sering dialami di semua level kepengurusan di PMII adalah tidak optimalnya kinerja pengurus. Ini merupakan masalah klasik yang dihadapi organisasi kader semacam PMII, terlebih kader-kadernya masih menyandang status sebagai mahasiswa yang dituntut studinya. Belum lagi dihadapkan pada konflik-konflik internal organisasi. Meski pada hakikatnya konflik tersebut merupakan cara bagaimana belajar dewasa, belajar menghargai, belajar komunikasi yang baik, dan belajar mengelola kepemimpinan di PMII.
Dengan demikian, menurut penulis, PMII Cirebon akan menjadi lebih baik dan solid ketika pengurus, kader, dan anggotanya bahkan alumninya bisa saling memahami dan menyadari. Faham dan sadar akan pentingnya komunikasi yang baik, saling melengkapi, saling menasihati, saling mengkritik yang membangun. Tradisi kritik itu baik seperti ilmuan terdahulu. Berkat kritik tersebut kita akan sama-sama menjadi besar dan lebih profesional. Sehingga tidak perlu banyak pertengkaran, meski banyak perbedaan. Tidak perlu ada dendam meski ada perselisihan. Tidak perlu saling acuh meski suasana kian mengeruh. Sebagai kader PMII kita selalu diajarkan saling menghormati. Saling dukung dalam kepengurusan adalah kunci dari kemajuan dan solidnya organisasi.
Salah satu bait Mars PMII “satu barisan dan satu cita, satu angkatan dan satu jiwa” menegaskan bahwa PMII harus senantiasa solid karena kita -di PMII- adalah keluarga. Karena kita berada dalam satu cita dan jiwa, maka akan menepis segala kemungkinan terburuk yang menimpa PMII. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Begitu orang sering mengatakan slogan yang berkaitan dengan organisasi. Sekali lagi, kita –PMII- mengenal “satu barisan dan satu cita, satu angkatan dan satu jiwa”. Salam Pergerakan!.
*) Penulis adalah Kader PMII Cirebon.
[1] Nur Sayyid Santoso Kristeva, Manifesto Wacana Kiri, Membentuk Solidaritas Organik sebuah Buku Panduan Pelatihan Basis PMII, (Cilacap: Eye On The Revolution + Revdem, 2012), hlm. 86.
[2] Tim Editor, Diaspora Pemikiran Pelajar NU dalam Mengabdi NKRI, (Jakarta: PP IPNU, 2013), hlm. 100.
[3] Fauzan Alfas, PMII dalam Simpul-Simpul Sejarah Perjuangan, (Jakarta: PB PMII, 2006), hlm. 4
[4] Ibid, hlm. 5.
[5] Chatibul Umam, Sekitar Kelahiran PMII, dalam Muhammad Fajrul Falah (penyunting), Citra Diri PMII, (Yogyakarta: Yayasan Patria Nusantara, 1988), hlm. 3.
[6] Aiz Luthfi, Agus Sunyoto: PMII Berdiri atas Permintaan Bung Karno ke NU, dalam http://www.pmii.or.id/agus-sunyoto-pmii-berdiri-atas-permintaan-bung-karno-ke-nu/, (Jakarta: pmii.or.id, 2014).
[7] Fauzan, PMII dalam ……, hlm. 10-11.
[8] Wawancara dengan KH Ibrahim Rozi (salah seorang Pendiri PMII Cirebon) bulan Januari 2015.
[9] Wawancara dengan KH Ibrahim Rozi di kediamannya tanggal 14 Maret 2016.
[10] Data Internal PC. PMII Cirebon Masa Khidmat 2014-2015, hlm. 1-2.
[11] Data Internal PC. PMII Cirebon Masa Khidmat 2014-2015, hlm. 2.
[12] Eman Hermawan, Menjadi Kader Pergerakan: Dari Simpatisan Menjadi Kader Militan, Dari Individu Menjadi Organizer, (Yogyakarta: KLINIK,2000), hlm. 9-16.
[13] Tim Penyelaras, Keputusan-Keputusan Musyawarah Pimpinan Nasional (Muspimnas) PMII, tentang PO BAB II Pasal 2 Ayat 1, (Jakarta: PB. PMII, 2016), hlm. 91.
[14] Ibid, hlm. 94-96.
[15] Data Internal ……………………., hlm. 3-6.
Daftar Referensi
1. Alfas, Fauzan, 2006, PMII dalam Simpul-Simpul Sejarah Perjuangan, Jakarta: PB PMII.
2. Data Internal PC. PMII Cirebon Masa Khidmat 2014-2015.
3. Hasil Wawancara dengan Drs. KH Ibrahim Rozi (salah seorang pendiri PMII Cirebon), pada bulan Februari 2015.
4. Hasil Wawancara dengan Drs. KH Ibrahim Rozi, pada 14 Maret 2016.
5. Hermawan, Eman, 2000, Menjadi Kader Pergerakan: Dari Simpatisan Menjadi Kader Militan, Dari Individu Menjadi Organizer, Yogyakarta: KLINIK.
6. Luthfi, Aiz, 2014, Agus Sunyoto: PMII Berdiri atas Permintaan Bung Karno ke NU dalam http://www.pmii.or.id/agus-sunyoto-pmii-berdiri-atas-permintaan-bung-karno-ke-nu/, Jakarta: pmii.or.id
7. Santoso Kristeva, Nur Sayyid, 2012, Manifesto Wacana Kiri, Membentuk Solidaritas Organik sebuah Buku Panduan Pelatihan Basis PMII, Cilacap: Eye On The Revolution + Revdem.
8. Tim Editor, 2013, Diaspora Pemikiran Pelajar NU dalam Mengabdi NKRI, Jakarta: PP IPNU.
9. Tim Kaderisasi Nasional, 2012, Buku Panduan Kaderisasi PMII, Jakarta: PB PMII.
10. Tim Penyelaras, 2016, Keputusan-Keputusan Musyawarah Pimpinan Nasional (Muspimnas) PMII, Jakarta: PB. PMII.
11. Umam, Chatibul, 1988, Sekitar Kelahiran PMII, dalam Muhammad Fajrul Falah (penyunting), Citra Diri PMII, Yogyakarta: Yayasan Patria Nusantara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H