Mohon tunggu...
Ayub Al Ansori
Ayub Al Ansori Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Penikmat tulisan. Peminum teh hangat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Peran Pemuda dalam Menangkal Radikalisme-Terorisme

22 Januari 2016   07:28 Diperbarui: 4 April 2017   16:43 3757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh: Ayub Al Ansori *)

                                                                    

Di awal tahun 2016 ini, kita dihebohkan dengan ledakan bom di kawasan Thamrin, Jakarta. Peristiwa ini menambah rangkaian peristiwa terorisme di negara kita. Masih sangat hangat diingatan kita, Kamis 14 Januari lalu peristiwa tersebut terjadi. Berawal dari sebuah ledakan di depan pos polisi Sarinah dan gerai kopi Starbuck. Peristiwa terjadi sekitar pukul 10.40 WIB. Lalu ledakan kedua terdengar sekitar pukul 10.50 WIB, ledakan ketiga pukul 10.56 WIB, ledakan keempat pukul 10.58 WIB, ledakan kelima 11.00 WIB, dan ledakan terakhir pukul 11.02 WIB. Sebanyak enam ledakan terjadi dalam waktu yang begitu singkat. Bagaimana tidak membuat orang takut dan was-was?. Lalu siapa yang tega berbuat demikian?. Apa yang menjadi motivasi mereka untuk melakukan tindakan keji tersebut?.

Seakan menjawab pertanyaan kita semua, beberapa jam setelah kejadian muncul rilis dari Islamic State of Irak and Syiria (ISIS), kita tahu kelompok ini merupakan kelompok Islam garis keras atau radikal yang sering melakukan tindakan kekerasan mengatasnamakan agama, bahwa mereka bertanggung jawab atas ledakan bom di Jakarta. Hal ini cukup mengagetkan mengingat aksi terorisme dengan mengatasnamakan agama di Indonesia memang sudah tidak kencang terdengar beberapa tahun lalu. Kalaupun terdengar tidak pada tindakan teror namun sebatas ancaman dan ideologisasi lewat media. Kejadian ini seolah-olah kejutan bagi kita yang mungkin sedang lengah. Terbukti kejadian-kejadian terorisme di Indonesia sebelumnya memang tidak dilakukan secara teratur dan pasti, tiba-tiba terjadi, dan merenggut korban jiwa. Untungnya, pemerintah lewat polisi dan tentaranya cepat tanggap menangani kejadian teror di Thamrin kemarin.

Namun sangat disayangkan, sebagian masyarakat Indonesia menanggapi kasus yang masuk kategori terorisme ini dengan cukup apatis. Tindakan terorisme kerap dikait-kaitkan dengan fenomena politik negara. Entah itu tudingan pengalihan isu atau unsur kesengajaan yang dibuat-buat penguasa. Kalau memang itu benar, sungguh tidak berprikemanusiaan. Kalau kita mau berpikir lebih dalam, apapun tindakan kekerasan terorisme, kita semua harus benar-benar mengutuknya, lalu berikhtiar sekuat tenaga agar kejadian tidak berulang dengan menggali dan menemukan akar masalahnya. Setelah itu kita bersama-sama mencabut akar tersebut hingga tuntas. Bagaimanapun juga kejadian di Jakarta sangat menohok kita, apalagi umat Islam yang menjadi mayoritas penduduk di Indonesia, setelah ada pengakuan dari ISIS. Khususnya lagi menohok kaum muda Indonesia karena para pelaku peledakan bom masih berusia 20-30 an tahun.   

Terbukti berdasarkan kajian yang dilakukan Setara Institute dan The Wahid Institute, juga Fahmina Institute menyebut bahwa Indonesia merupakan negara yang rawan dengan tindakan kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Dimana Provinsi Jawa Barat mendapat rapor merah sebagai daerah dengan kasus tindakan intoleransi yang mengatasnamakan agama paling tinggi dibandingkan dengan provinsi lain. Dan yang mengejutkan adalah para pelaku teror rata-rata masih berusia muda. Bukti bahwa usia muda sangat rentan menjadi pelaku teror adalah data dari Setara Institute bahwa satu dari 14 siswa di Jakarta dan Bandung setuju atas keberadaan Islamic State (IS). Sebelumnya, riset MAARIF Institute pada 2011 tentang pemetaan problem radikalisme di SMU negeri di empat daerah (Pandeglang, Cianjur, Yogyakarta, dan Solo), yang mengambil data dari 50 sekolah, mengkonfirmasi fenomena tersebut. Menurut riset ini, sekolah menjadi ruang yang terbuka bagi diseminasi paham apa saja. Karena pihak sekolah terlalu terbuka, kelompok radikalisme keagamaan memanfaatkan ruang terbuka ini untuk masuk secara aktif mengkampanyekan pahamnya dan memperluas jaringannya. Kelompok-kelompok keagamaan yang masuk mulai dari yang ekstrem menghujat terhadap negara dan ajakan untuk mendirikan negara Islam, hingga kelompok islamis yang ingin memperjuangkan penegakan syariat Islam (Jurnal Maarif, Vol. 8. No. 1, Juli 2013). Untuk wilayah Ciayumajakuning (Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan), Fahmina Institute merilis dalam kurun waktu tahun 2012-2015 ditemukan 33 tindakan pelanggaran dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Belum lagi pengaruh organisasi-organisasi kemahasiswaan di kampus yang mengajak pada perilaku intoleran berbau radikalis mengarah pada terorisme, seolah dibiarkan begitu saja menjajakan pengaruhnya.

Temuan tersebut cukup mengkhawatirkan. Pasalnya, bangsa Indonesia yang majemuk dan hidup dalam naungan Pancasila dan UUD 1945 menyisakan persoalan pelik seperti itu. Dari catatan-catatan tersebut diatas motif dari tindakan-tindakan kekerasan memang berasal dari perbedaan paham di internal umat beragama, khususnya umat Islam. Perbedaan terkait praktek ibadah, praktek bernegara, dan aqidah. Kita masih sering mendengar bahwa Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan “thagut”/setan, sehingga sistem negara mesti berdasarkan khilafah Islamiyyah. Hukum positif di negara kita mesti dirubah dengan penerapan syari’at Islam. Jika tidak demikian maka negara tersebut beserta penduduknya menjadi kafir. Jika kafir maka halal darahnya. Pernyataan demikianlah yang sering ISIS propagandakan. Yang kemudian dijadikan dalil atas keharusan untuk melakukan tindakan teror dan kekerasan di negara tersebut termasuk Indonesia. Padahal menjaga nyawa manusia (hifdz al-Nafs) merupakan bagian penting dari tujuan universal syari’at Islam (maqashid al-Syari’ah) selain merawat agama (hifdz al-Din), merawat akal (hifdz al-‘Aql), merawat keturunan (hifdz al-Nasl), merawat harta (hifdz al-Mal), kebebasan (al-Hurriyah), dan kesetaraan (al-Musawa).

Persoalan tersebut sudah saatnya menjadi agenda pemuda Indonesia hari ini. Kita harus segera menyingsingkan lengan baju dan mencurahkan segala kekuatan untuk berkontribusi secara nyata dalam mengurai persoalan radikalisme yang tumbuh dalam tubuh umat.  Fenomena kekerasan atas nama agama inilah sering kali dikenal dengan sebutan radikalisme agama. Abdul Moqsit Ghazali malah mengatakan bahwa Radikalisme agama adalah akar dari terorisme. Fenomena radikalisme agama ini dapat terlihat dari tindakan-tindakan anarkis yang mengatasnamakan agama dari suatu kelompok terhadap kelompok lain yang berbeda keyakinan dan pemahaman dengan kelompok tersebut.

Lalu bagaimanakah peran pemuda?. Apakah hanya diam saja melihat kejadian seperti ini  dan berharap damai akan datang dengan sendirinya?. Tentu kita perlu melakukan kerja-kerja berupa ikhtiar untuk menangkal radikalisme-terorisme ini. Diam bukan berati emas dalam perkara ini. Sebagai pemuda sepantasnya kita perlu untuk menangkal adanya kekerasan agama atau terorisme dengan berbagai ikhtiar. Setidaknya ada tiga ikhtiar yang penulis coba utarakan, pertama memberikan pemahaman dan penjelasan kepada masyarakat khususnya pemuda tentang kedamaian, tidak ada ajaran agama yang menganjurkan umatnya untuk berbuat kekerasan dan teror. KH. Maman Imanulhaq dalam tulisannya yang berjudul “Menyalakan Obor Toleransi” menegaskan, Agama harus menjadi spirit bagi tumbuh suburnya nilai kesucian, kasih sayang, dan pelayanan terhadap kemanusiaan bukan justru memantulkan kebencian, keputusasaan, permusuhan, terorisme, dan intoleransi. Semua agama mengajarkan umatnnya untuk selalu berbuat baik kepada sesama dan saling menjaga rasa aman. Agama apapun sangatlah menjunjung tinggi nilai kedamaian dan menghormati antar umat beragama.

Kedua, menjaga toleransi. Toleransi antar umat beragama merupakan hal sangat penting untuk kita jaga dan lestarikan. Dengan adanya toleransi ini pastinya akan tercipta kehidupan yang damai dan harmonis tanpa adanya rasa permusuhan dan prasangka buruk. Islam sendiri sudah toleran sejak lahir. Islam berarti kepasrahan, kedamaian, dan keselamatan. Apalagi umatnya, mesti bersikap toleran sejak dalam pikiran apalagi perbuatan.

Ketiga, mengedepankan dialog antar agama. Dialog bukan debat. Dialog mengedepankan persamaan, bahwa semua agama mengajak pada kebaikan, sedangkan debat mengedepankan perbedaan. Kalau perbedaan yang dibicarakan maka tidak akan pernah menemukan titik temu sampai gontok-gontokkan sekalipun. Dengan adanya dialog antar agama kita akan semakin mengerti makna pluralitas. Sehingga menambah wawasan keilmuan kita dalam meyikapi setiap persoalan hubungan antar umat beragama.

Dengan ketiga ikhtiar di atas, peran pemuda kedepan, dapat mencegah dan mengurai persoalan radikalisme dan terorisme di Indonesia. Pada posisi ini, semua elemen agama dan aliran kepercayaan mesti bekerjasama. Mengapa demikian? pasalnya, radikalisme dan terorisme bukan hanya masalah bagi umat muslim (Islam), tapi juga bagi umat agama Yahudi, Katolik, Kristen, sebagaimana yang pernah diutarakan Karen Armstrong dalam A History of God-nya. Wallahu A’lam Bi al-Showab.

*) Penulis adalah Ketua 1 PC. PMII Cirebon dan Fasilitator Sekolah Cinta Perdamaian (SETAMAN).

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun