Seandainya dia bukan Ketua KPK, tentu lain cerita. Mungkin sudah diborgol, memakai rompi tahanan. Tersematkan stigma koruptor, penjahat kemanusiaan. Pesakitan.
Ya, terbukti bangsa kita masih menjunjung tinggi nilai kesopanan, saking sopannya berlaku juga buat penegak hukum yang di sana-sini sudah bocor bukti dan saksi. Rakyat harus menunggu entah berapa banyak bukti lagi. Publik menantikan keadilan semata. Geram rasanya hukum tajam ke bawah tumpul ke atas. Bosan.
Ewuh pekewuh memang (harus) dipertahankan, khususnya bagi pejabat yang terhormat. Harga diri mereka harus dijaga. Nama baik keluarga tidak boleh rusak. Jasa-jasa mereka selama menjabat harus dipertahankan di mata masyarakat. Kelak, jikalau masa "hukuman" sudah selesai, mereka bisa mengabdi kembali, pulih, dan bersih. Tidak lupa dibacakan beberapa hal-hal meringankan termasuk jasa-jasa selama menjabat.
Pada 24 September 2020, Firli terbukti melanggar Kode Etik karena menyewa helikopter mewah saat kunjungannya ke Sumatera Selatan. Firli dihukum sanksi ringan berupa teguran tertulis. Jalan yang memberatkan adalah yang bersangkutan tidak menyadari kesalahannya. Indikasi serius "something wrong".
Sekarang, Firli tak bisa lagi mengelak. Setidaknya terdapat tiga bentuk pelanggaran etika yang dilakukan oleh jenderal purnawirawan bintang tiga polisi tersebut. Pertama, Firli terlibat dalam hubungan, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan pihak terkait dalam perkara yang sedang ditangani oleh KPK, terutama dengan mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo.
Kedua, terdapat pelanggaran etika karena Firli tidak melaporkan pertemuan dengan Syahrul Yasin Limpo di Gelanggang Olah Raga (GOR) Tangki Mangga Besar kepada sesama pimpinan KPK, meskipun seharusnya ia memiliki kewajiban untuk melaporkan peristiwa tersebut. Ketiga, terkait dengan aspek kekayaan, Firli dianggap melanggar etika karena tidak melaporkan kepemilikan valuta asing (Valas), bangunan, dan aset lainnya dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Jumlah valas tersebut diketahui bernilai fantastis, 7,5 miliar rupiah. Belum lagi aset-aset tanah yang tersebar di beberapa kota seperti Bekasi, Bogor, Sukabumi, dan Palembang.
Dengan kacamata awam saja, kita bisa melihat ada sesuatu yang salah dengan Ketua KPK non-aktif tersebut. Publik mempertanyakan komitmen, terlebih etika dan hati nurani. Entah apa yang lebih menakutkan selain bersumpah di bawah kitab suci tepat di depan Presiden dalam istana megah.
Pejabat tinggi seharusnya sudah selesai dengan segala ambisi liar. Mereka sudah mendapatkan segalanya: gaji, fasilitas, insentif, tunjangan segala macam. Mereka adalah sedikit dari manusia-manusia paling beruntung di republik. Wajar, jika mereka zalim terhadap jutaan rakyat yang susah beli beras karena harga melangit mendapat hukuman terberat.
Mereka tega bermewah-mewah di atas penderitaan rakyat yang sekarat karena korupsi. Sekali lagi kita dipaksa menonton drama. Sampai kapan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H