Menjadi orang Kristen terutama dikawasan perkotaan maupun urban memiliki seni tersendiri. Berpindah-pindah gereja karena didemo, tidak mendapat izin atau kesulitan memperpanjang sewa ruko sudah menjadi sarapan sehari-hari. Kesulitan untuk membangun gereja sudah menjadi perbincangan dari tingkat warung kopi, tingkat menteri bahkan presiden.Â
Tapi kenyataannya sudah hampir delapan belas tahun terakhir saya masih "betah" beribadah di ruko. Ya, memang tidak punya banyak pilihan mengingat jarak antara rumah ke gereja yang terdekat mencapai hampir 4-5 km. Tidak sedikit dari jemaat yang menempuh hampir 20 km setiap minggu hanya untuk beribadah.
Ruko (shophouse) merupakan kependekan dari rumah dan toko yang biasanya memiliki beberapa lantai bisa 2 sampai 4 bahkan lebih. Ruko menjadi primadona untuk usaha karena sifatnya yang fleksibel yaitu dapat dipakai usaha dan juga sebagai tempat tinggal. Kehadiran Ruko kini menjamur karena memang permintaan masyarakat akan hunian sekaligus tempat usaha meningkat pesat.
Tetapi fenomena gereja di ruko sudah marak terjadi dikota-kota besar paling tidak sejak tahun 90an diawali banyaknya denominasi gereja karismatik yang masuk ke kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan Medan. Kebutuhan akan tempat beribadah tidak serta merta dapat dipenuhi karena ada faktor-faktor tertentu yang harus dipenuhi oleh jemaat.
Menurut data dari departemen agama tahun 2020, Jakarta menempati urutan pertama dengan jumlah masjid terbanyak per km2. Dengan luas 66.401 km2 ibu kota memiliki 3.149 masjid. Dengan kata lain, setiap 100 km2 terdapat kira-kira 474 masjid. Â
Sebagai perbandingan gereja di Jakarta berjumlah sekitar 1142 buah (Sumber BPS, 2019) artinya dengan populasi orang kristen dan katolik kira-kira 14% dari 10,26 juta masih menurut data BPS (https://jakarta.bps.go.id/) Â yaitu sekitar 1.436.000 jiwa maka kita mendapati satu gereja untuk sekitar 1.257 umat.
Mencermati data diatas ada satu fenomena over capacity yang terjadi baik pada masjid maupun pada gereja. Namun, secara kasat mata membangun gereja jauh lebih sulit dikarenakan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 tahun 2006 terkait Pendirian Rumah Ibadah yang antara lain menyebutkan :
Pasal 14
(1) Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.(2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi :a. daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3);b. dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa; c. rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan d. rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.(3) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terpenuhi sedangkan persyaratan huruf b belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat.
Unsur  90 orang dan 60 orang dukungan masyarakat tentu bukanlah masalah bagi mayoritas disebuah daerah tetapi bisa jadi mustahil didapatkan bagi agama minoritas pada sebuah komunitas yang mayoritas penduduknya beragama berbeda.
Itulah sebabnya terjadi banyak kesulitan membangun gereja dibanyak tempat di Indonesia. Sebagai jemaat yang sudah bergereja di ruko, tentu kami mengalami banyak pengalaman yang kurang mengenakan terutama masalah kenyamanan beribadah.Â
Sebagai contoh jika menjelang natal banyak gereja di Bekasi yang hanya memiliki satu ruko kecil ukuran 4 x 15 meter tentu membuat kondisi penuh sesak, kemudian misalnya pada saat acara pernikahan, atau acara penting lainnya membuat kondisi tidak aman dan nyaman terutama bagi anak-anak dan lansia.
Komnas HAM pada November 2020 telah mengeluarkan hasil kajian atas peraturan menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.9 dan 8 tahun 2006 tersebut. Dalam kajian tersebut, Peneliti Komnas HAM RI, Agus Suntoro menyampaikan bahwa muatan terkait persyaratan pendirian rumah ibadah pada PBM tersebut membatasi hak kebebasan beragama.Â
"Aturan yang membatasi, dan berpotensi menimbulkan diskriminasi, terutama persetujuan mengenai dukungan penduduk sekitar. PBM 2006 dalam perspektif hukum juga belum sepenuhnya memenuhi kaidah perundang-undangan yang baik (https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2020/11/19)
Gereja Ruko hanyalah sebuah fenomena adanya kesalahan dalam tata kelola pembangunan rumah ibadat yang berkeadilan dan menjunjung tinggi hak dasar manusia untuk beribadah dengan tenang serta aman. Gereja Ruko juga bukan merupakan solusi yang tepat untuk mengatasi persoalan pendirian rumah ibadat di negeri yang ber-Tuhan ini.
Hendaknya rumah ibadah agama apapun dapat dibangun atas dasar adanya kebutuhan, komposisi jumlah jemaat, rasa keadilan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sehingga seluruh penganut agama dapat merasakan perlindungan negara.Â
Sebagai solusi seharusnyalah ada peraturan yang lebih tinggi setingkat Peraturan Pemerintah (PP) Â atau Peraturan Presiden ( Perpres) yang mengatur regulasi masalah pendirian rumah ibadat di seluruh wilayah NKRI dan yang tidak kalah pentingnya adalah kesadaran kolektif seluruh bangsa bahwa beribadah merupakan panggilan tertinggi dari Tuhan kepada umatnya dan seharusnyalah difasilitasi dengan baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H