Mohon tunggu...
Ayub Simanjuntak
Ayub Simanjuntak Mohon Tunggu... Lainnya - The Truth Will Set You Free

Capturing Moments With Words

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Guru yang Saya Benci

14 Februari 2021   23:50 Diperbarui: 15 Februari 2021   00:34 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Plakk"! jangka kayu itu melayang kencang nyaris mengenai lengan kiriku. Ibu Aan melemparkan benda tersebut karena habis sudah kesabarannya. Sambil memandangi langit-langit putih dan lampu neon ruangan kelas, saya menahan air mata yang mulai jatuh karena marah, kecewa dan malu. Saya baru kelas 1 di sebuah sekolah katolik yang memang terkenal disiplin dan keras pada saat itu.

 Senin nahas itu dimulai dengan  pelajaran Matematika, minggu lalu ibu guru memberikan beberapa nomor pekerjaan rumah mengenai materi diagram venn. Tiga buah bulatan dengan irisan ditengah tertulis dengan kapur warna warni dan sebuah tulisan "kumpulkan PR" membuat kepala saya berputar; saya pusing sekali terlebih memikirkan hukuman yang pasti dijatuhkan karena lupa mengerjakan PR.

Sebetulnya ada beberapa anak yang juga di panggil maju kedepan kelas karena belum mengerjakan pekerjaan rumah itu. Banyak juga yang mengerjakannya di ruang kelas tapi mereka tidak jujur. 

Setelah berdiri kira-kira lima belas menit didepan kelas sebagai hukuman, ibu guru meminta kami semua membungkuk dan menyentuh ujung kaki kami memakai tangan lalu berjalan membungkuk dari sudut satu ke sudut sebelahnya.

Beberapa teman sudah melakukan hukuman itu dengan cepat dan mereka  diizinkan untuk duduk. Tetapi karena saya memakai celana pendek putih yang cukup ketat kuatir  celana pasti  robek. Saya menolak melakukan itu dan bersedia dihukum apa saja. Ibu guru mulai mengerenyitkan dahi seraya   menghitung lambat, satu... dua ...tiga... muka nya merah dan tepat pada hitungan ke tiga terjadilah lemparan jangka itu.

Buat  yang kurang akrab dengan jangka kayu, saya akan jelaskan kalau itu adalah benda yang cukup besar, di salah satu ujungnya ada seperti paku yang dipakai untuk menancapkannya pada papan tulis ketika hendak menggunakannya misalnya membuat lingkaran.

Nyaris terkena paku runcing tersebut, emosi saya tiba-tiba meledak. Saya yang memang memiliki tempramen mudah marah waktu itu langsung protes dan melawan. Guru tersebut yang biasanya sangat lembut mendadak buas. Dia marah karena saya berani protes, hal itu memang dipandang sangat buruk. Membantah guru lebih buruk dari tinggal kelas seperti budaya disekolah kami waktu itu.

Terlahir dengan didikan keras saya tumbuh menjadi remaja yang cukup  "bermasalah" dengan otoritas baik orangtua maupun guru-guru. Jiwa "adventurous" dan rasa penasaran  yang besar sering membuat saya mendapat masalah dengan mereka. Perlakuan kurang baik dari teman-teman dan budaya perundungan pada masa itu semakin memperburuk keadaan.

Ibu Aan naik pitam, diusirnya saya dari kelas dengan suara nyaris melengking tinggi sekali. Menyuruh saya melapor ke wali kelas, Ibu Wati. Saya sempat mengacungkan tinju saya tepat didepan matanya seolah ingin menunjukan kalau saya laki-laki dan tidak mau diperlakukan begitu,

Ibu Wati, walikelas waktu itu, adalah guru yang cukup baik karena jarang marah. Saya mengetuk ruang guru yang diisi kira-kira 10 orang waktu itu, beliau mempersilakan saya duduk dan mendengarkan masalah saya. Tidak lama ia menasehati dan kemudian  menyuruh saya kembali ke kelas dan meminta maaf atas tindakan buruk saya itu.

Saya mengiyakan, tetapi mendekati kelas, saya berubah pikiran kemudian hanya melewati kelas dan berlalu setengah berlari menuju toilet, membuka salah satu dari tiga biliknya, mengunci diri di dalam sampai jam pelajaran selesai. Setengah jam kemudian teman-teman mengetuk pintu toilet dan mulai mengintimidasi. Mereka bilang saya pemberontak secara tidak langsung.

Ibu Aan mengajar dua mata pelajaran waktu itu : Matematika dan Seni Musik. Dua pelajaran itu memaksa saya bertemu dengannya paling kurang seminggu tiga kali, satu kali dimusik dan 2 kali di pelajaran Matematika. Anehnya dulu, sekarang saya mengerti sejak peristiwa itu saya tidak pernah mendengar guru tersebut memanggil nama tidak juga mengabsensi saya. 

Dengan kata lain saya adalah hantu dalam kelas itu. Nilai kedua mapel itu tidak pernah lebih dari 40 dan itu selamanya  tertulis merah di rapot. Baik saya mengerjakan dengan baik seluruh soal ujian atau tidak diisi sama sekali nilai akan tetap sama. Sekarang saya mulai kuatir untuk menjelaskannya kelak kalau anak-anak saya melihat rapot itu.

Setahun setelah peristiwa itu ada kabar yang saya dengar kalau  guru tersebut mengundurkan diri dan akan pindah ke kampung halaman di Solo. Saya tidak pernah mendengar lagi tentang Ibu Aan sampai detik ini, seorang guru yang sekarang membuat saya memahami apa itu proses menjadi pribadi yang lebih baik. Saya selamanya berutang budi kepada beliau.

Lebih dari 20  tahun sejak kejadian tersebut, kehidupan membawa saya menjadi seorang guru juga akhirnya. Profesi yang masuk dalam list paling saya benci dalam hidup terutama karena kejadian puluhan tahun silam tersebut. Nampaknya kesalahan saya dan mungkin juga dari pihak pendidik yang adalah bagian dari sebuah sistem pendidikan masa itu banyak melahirkan luka dan trauma bagi kedua belah pihak.

Selalu dicap nakal dan "trouble maker" oleh banyak guru-guru saya pada masa itu, melecut semangat saya untuk membuktikan pasti ada cara yang lebih baik dalam menjembatani hubungan guru-murid yang lebih baik di masa depan atau setidaknya saya menemukan guru yang inspiratif bagi saya.

 Bagaimanapun sulitnya menghormati seseorang, hendaknya murid senantiasa belajar menghormati dan menjunjung tinggi martabat guru-guru dan sebaliknya pihak guru mencoba menyelami dan bersahabat dengan para murid sebagai bagian penting dari proses pembelajaran kedua belah pihak itu sendiri. Hanya mentransfer ilmu tanpa sebuah "relationship" yang baik hanya akan melahirkan satu generasi pintar tetapi tidak beretika tinggi.

kompilasidata.blogspot.2020
kompilasidata.blogspot.2020

Berdasarkan UU No 14 tahun 2005 pasal 10 ayat 1 menyatakan bahwa seorang guru wajib memiliki 4 komptensi dasar yaitu : Pedagogis, kepribadian, profesional dan sosial. Pada kompetensi kepribadian yang sangat relate dengan cerita saya diatas adalah aspek kepribadian. Dengan kata lain guru dituntut memiliki akhlak yang mulia dalam hal ini ikhlas, rela menolong dan memiliki prilaku teladan bagi peserta didik. 

Seperti asal kata guru dalam KBBI (1994:377)  yang diambil dari bahasa India : "gu: yang berarti gelap  dan "ru" yang berarti bahwa seorang guru mempunyai tugas mengusir kegelapan. Dalam hal ini kegelapan adalah kebodohan dan juga sifat dan karakter buruk/belum matang.

Mengajar semakin hari menjadi semakin sulit dan kompleks dikarenakan juga oleh gap antara milenial dan generasi x mengakibatkan banyak konflik. Pada era-era inilah begitu maraknya perkelahian antar pelajar, bolos sekolah, narkoba dan lain sebgainya. Tentu asumsi ini perlu mendapatkan penelitian mendalam.

Nah, sekarang gap yang terjadi anatara milenial dan generasi Alfa menghasilkan satu konflik yang selalu ada hanya berubah bentuk. Sekarang yang paling mudah kita amati adalah sikap apatis terhadap metode belajar konvensional seperti ceramah dan non-teknologi. Masalah-masalah perbedaan jurang generasi yang mungkin atau telah muncul diantaranya :

  • Mudah bosan karena mereka telah akrab dengan teknologi sementara suasana kelas baik online/tatap muka cenderung monoton.
  • Banjir Informasi.Kecepatan akses pada informasi bahkan soal-soal terkini membuat mereka tidak dapat betah berlama-lama di ruang kelas. Mereka sudah tahu atau merasa tahu, yang terjadi seringkali adalah bolos virtual  juga off-video.
  • Karakter yang cenderung permisif terhadap hal-hal moral karena kurangnya diskusi secara langsung dan humanis baik dengan guru,teman-teman dan bahkan orang tua.
  • Sulit berkonsentrasi dan tidak "nyambung" ketika membahas suatu masalah karena generasi alfa lebih banyak berselancar dalam dunia maya.

Tantangan kedepan guru tidak hanya menjadi satu-satunya sumber informasi atau lebih parah sebagai media transfer pengetahuan tetapi  yang amat penting guru menjadi fasilitator dan teladan dalam sikap dan karakter.

Soft skill harus juga menjadi prioritas penanganan para guru profesional.  Selamat mengabdi untuk para pendidik yang hebat. Senantiasa ikhlas dan bertanggung jawab. Gunakan teknologi sebagai media dalam mengajar tetapi jangan lupakan hati nurani dan karakter terpuji  sebagai kompas penuntun kepada kejujuran dan etika.

Cerita nyata sebelumya tidak perlu terjadi karena ada banyak kerugian yang dialami baik oleh peserta didik yang kehilangan minat, trauma dan kesempatan untuk belajar yang hilang begitu saja. Bagi seorang guru ada kehilangan semangat kerja, merasa direndahkan atau merasa gagal sebagai pihak yang memiiki otoritas dalam proses belajar.

Kiranya seiring perkembangan pengetahuan pedagogi, teknologi informasi dan pelatihan baik itu pribadi maupun dari pemerintah membuat masalah-masalah tersebut bisa terselesaikan dengan bijak dan benar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun