Mohon tunggu...
Ayu Martaning Yogi A
Ayu Martaning Yogi A Mohon Tunggu... Lainnya - Just ordinary girl

Menyukai Dunia Literasi, Tertarik pada Topik Ekonomi, Sosial, Budaya, serta Pengembangan Diri

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Apakah Kita Sudah Berperilaku Cerdas di Tengah Pandemi Covid-19?

30 Juni 2020   11:14 Diperbarui: 30 Juni 2020   11:41 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: youtube Kompasiana

Kasus positif Covid-19 pertama di Indonesia diumumkan pemerintah pada awal Maret 2020. Hal tersebut sontak menimbulkan kepanikan di kalangan masyarakat. Harga masker dan hand sanitizer melambung tinggi akibat kepanikan itu. Istilah panic buying digunakan untuk menggambarkan kondisi tersebut. Kondisi dimana terjadi pembelian secara besar-besaran akibat rasa panik.

Permintaan barang yang tinggi namun ketersediaan barang terbatas, membuat pihak yang memiliki persediaan barang berlebih menjualnya dengan harga fantastis. Hal itulah yang menyebabkan harga masker dan hand sanitizer menjadi sangat mahal. Hal itu diperparah dengan adanya pihak yang sengaja menimbunnya untuk memperoleh keuntungan pribadi.

Tak hanya itu, kepanikan juga membuat masyarakat yang memiliki uang berlebih memborong bahan-bahan kebutuhan pokok secara besar-besaran. Hingga pada akhirnya pemerintah menerapkan pembatasan pembelian gula, beras, minyak goreng, serta mie instan (merdeka.com). Hal tersebut bertujuan untuk mengatasi panic buying yang dikhawatirkan menimbulkan krisis pangan, serta dapat mengganggu Stabilitas Sistem Keuangan (SSK).

Bagaimana Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) dapat terganggu dengan adanya panic buying? Korelasi keduanya tentu akan kita pahami setelah kita memiliki pemahaman mengenai Stabilitas Sistem Keuangan.

Stabilitas Sistem Keuangan atau biasa disingkat SSK merupakan suatu kondisi dimana sistem keuangan nasional berfungsi secara efektif dan efisien, selain itu mampu bertahan terhadap kerentanan internal dan eksternal, sehingga alokasi pendanaan dan pembiayaan Sistem keuangan itu sendiri merupakan suatu sistem yang terdiri dari lembaga keuangan, pasar keuangan, infrastruktur keuangan, perusahaan non keuangan, serta rumah tangga. Komponen dalam sistem tersebut saling berinteraksi dalam pendanaan maupun pembiayaan pertumbuhan ekonomi (sumber: bi.go.id).

Kemudian, siapa yang bertugas dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan?

Bank Indonesia (BI) berperan dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) melalui Kebijakan Makroprudensial dan Peraturan Bank Indonesia (PBI). Apabila diibaratkan, maka SSK merupakan target, Kebijakan makroprudensial merupakan senapannya. Peluru untuk membidik target itu adalah PBI (sumber: Youtube Kompasiana).

sumber: youtube Kompasiana
sumber: youtube Kompasiana
Kebijakan makroprudensial merupakan serangkaian kebijakan yang bertujuan untuk memelihara Stabilitas Sistem Keuangan secara keseluruhan. Pembatasan risiko sistemik merupakan upaya untuk melakukan pemeliharaan SSK. 

Risiko sistemik merupakan salah satu penyebab terjadinya krisis. Risiko sistemik terjadi akibat adanya gangguan menular (contagion) pada sebagian atau seluruh sistem keuangan karena interaksi dari faktor ukuran (size), kompeksitas usaha (complecity), keterkaitan antar institusi atau pasar keuangan (interconnectedness), serta kecenderungan perilaku yang berlebihan dari pelaku atau institusi keuangan untuk mengikuti siklus perekonomian (procyclicality). Hal-hal lebih mendetail mengenai risiko sitemik dapat dilihat pada PBI 16/11/PBI/2014 (sumber: bi.go.id).

Secara sederhana, risiko sistemik digambarkan seperti kejadian kecelakaan di jalan raya yang terjadi secara tiba-tiba, kemudian menimbulkan kemacetan pada satu ruas jalan. Kemacetan itu secara cepat menular ke ruas-ruas jalan lainnya.

Sumber: youtube Bank Indonesia
Sumber: youtube Bank Indonesia
Kita sebagai individu termasuk dalam bagian sistem keuangan yaitu bagian dari rumah tangga. Perilaku kita juga dapat berdampak bagi Stabilitas Sistem Keuangan (SSK), salah satu contohnya ketika terjadi panic buying pada awal diumumkannya kasus positif Covid-19 di Indonesia. Kondisi tersebut menyebabkan pembelian masker, hand sanitizer, serta bahan-bahan kebutuhan pokok dilakukan secara besar-besaran.

Konsumen lain yang terpancing kepanikan tersebut akan cenderung melakukan hal yang sama. Mereka akan menarik dana (tabungan) mereka di bank untuk turut serta membeli barang-barang yang juga dibeli konsumen lainnya. Apabila banyak orang terpancing melakukan panic buying dan mereka juga melakukan penarikan dana di bank, sangat mungkin bank-bank akan mengalami masalah likuiditas.

Masalah likuiditas yang dihadapi oleh bank menyebabkan bank kekurangan dana untuk disalurkan pada sektor produktif. Terhambatnya pendanaan pada sektor produktif menyebabkan pertumbuhan ekonomi melemah. 

Sektor produktif yang melemah dapat menyebabkan kelangkaan barang atau jasa yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan kita sebagai konsumen. Hal itu dapat memacu terjadinya inflasi, sehingga harga barang-barang menjadi tinggi. Kondisi tersebut merupakan bentuk instabilitas sistem keuangan, serta menjadi awal terjadinya krisis ekonomi.

Kondisi lain yang terjadi akibat tindakan panic buying adalah risiko gagal bayar atas penyaluran kredit. Apabila banyak konsumen melakukan panic buying, namun tidak memiliki dana cadangan, mereka dapat mengajukan kredit ke perbankan. Selain itu, konsumen juga mungkin memanfaatkan kartu kredit yang dimiliki untuk membayar kebutuhannya. Kecenderungan tersebut membuat kredit tersalurkan pada hal-hal yang konsumtif.

Mari kita bayangkan, apabila banyak orang melakukan kredit konsumtif kemudian orang-orang tersebut terkena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), penghasilan mereka akan berkurang. Berkurangnya penghasilan tersebut menyebabkan kemampuan bayar para penerima kredit (debitur) menurun, dan berpotensi gagal bayar. Kondisi gagal bayar membuat aset bank tergerus atau bahkan bank menjadi collaps. Hal itu dikarenakan pendapatan bank dari penyaluran kredit ikut berkurang, serta dana yang merupakan aset bank belum dapat ditarik kembali dari para debitur yang mengalami gagal bayar.

Berawal dari panic buying yang dilakukan oleh individu yang kemudian diikuti banyak individu lainnya dapat berdampak pada instabilitas sistem keuangan. Kondisi tersebut menggambarkan bentuk risiko sistemik yang terjadi pada sistem keuangan. Bagaimanapun rumah tangga dimana individu ada di dalamnya merupakan bagian dari sistem keuangan. Oleh karena itu kita perlu cerdas berperilaku untuk ikut menjaga Stabilitas Sistem Keuangan serta membuat makroprudensial aman terjaga.

Berperilaku Cerdas dan Bijak di Tengah Pandemi
Tak dapat dipungkiri bahwa pandemi akibat kasus Covid-19 menyebabkan kita harus beradaptasi pada kondisi yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Kepastian berakhirnya pandemi pun belum diketahui. Oleh karena itu sangat penting bagi kita untuk tetap menggunakan akal sehat dalam berperilaku, terlebih tindakan kita dapat berdampak bagi diri kita bahkan bagi perekonomian.

Seperti kita ketahui, panic buying yang dilakukan individu dalam menghadapi pandemi ini ternyata memiliki dampak yang rumit bagi stabilitas sistem keuangan. Coba kita pikirkan, apabila kita telanjur membeli banyak bahan makanan atau bahan pokok ternyata barang yang kita beli itu tidak semuanya terpakai, sehingga menjadi usang bahkan busuk. Tentu hal itu menjadi sia-sia. Terlebih, pembelian barang secara besar-besaran dapat memacu inflasi yang kemudian berpeluang membuat terjadinya krisis.

Pemahaman mengenai Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) membuat kita tahu bagaimana berperilaku cerdas di tengah ketidakpastian pandemi ini. Cerdas berperilaku dapat kita wujudkan dengan tidak melakukan panic buying, menghindari penarikan dana secara besar-besaran, serta menggunakan atau mengajukan fasilitas kredit sesuai kebutuhan dan diupayakan untuk kegiatan produktif. Dengan menghindari penarikan dana secara besar-besaran kita dapat meminimalkan risiko likuiditas pada perbankan, sedangkan menggunakan fasilitas kredit sesuai kebutuhan dapat meminimalkan risiko gagal bayar.

Berbagi juga merupakan bentuk perilaku cerdas di tengah pandemi ini. Tanpa kita sadari berbagi kepada orang-orang di sekitar kita dapat berdampak positif bagi Stabilitas Sistem Keuangan. Bagaimana ini bisa terjadi?

Beberapa saat lalu, sempat viral bahwa terdapat warga yang berinisiatif menggantungkan banyak paket sayuran di pagar rumah. Paket sayuran tersebut boleh diambil bagi siapa saja yang membutuhkan. Inisiatif itu mungkin hanya diniatkan untuk berbagi, namun apabila ditelusur lebih lanjut kegiatan itu turut serta membuat roda perekonomian tetap bertumbuh.

Kita anggap saja sayuran yang digunakan untuk berbagi itu dibeli dari tukang sayur. Dengan membeli sayuran itu, maka tukang sayur tetap memperoleh penghasilan. Kemudian, sayur yang digantung tadi diambil oleh tetangga yang baru di-PHK atau driver ojek yang sedang sepi orderan, maka paling tidak kebutuhan mereka akan makanan tercukupi. Uang yang mereka miliki masih bisa disisihkan, mereka juga tidak perlu mengajukan kredit (pinjaman) di bank untuk sekedar memenuhi kebutuhan makan harian. Dengan demikian, secara tidak langsung potensi gagal bayar dari penyaluran kredit dapat diminimalkan melalui kegiatan berbagi.

liputan6.com dan solopos.com
liputan6.com dan solopos.com
Konsep "Jogo Tonggo" yang terapkan di beberapa daerah di Jawa Tengah juga dapat berperan dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK). Konsep ini berupaya menciptakan ketahanan pangan dari rumah. Warga dapat memanfaatkan lahan kosong di rumah masing-masing untuk menanam sayuran, serta memelihara ikan. Kemudian mereka dapat berbagi kepada tetangga sekitar dari hasil bercocok tanam atau berternak ikan. Kebijakan tersebut diharapkan dapat menciptakan ketahanan pangan di tengah ketidakpastian pandemi ini.

Ketahanan pangan yang tercipta dari konsep Jogo Tonggo, dapat menghindari kelangkaan bahan pangan. Hal tersebut membuat inflasi akibat kelangkaan barang dapat ditekan, krisis pun dapat dihindari. Konsep sederhana ini ternyata dapat berdampak luas untuk turut menjaga Stabilitas Sistem Keuangan.

Cerdas berperilaku di tengah pandemi ini dapat kita mulai dari sendiri. Manfaatnya pun tidak hanya untuk diri kita dan orang lain di sekitar kita, tetapi juga untuk Stabilitas Sistem Keuangan (SSK). Sekarang saatnya kita bertanya kepada diri kita sendiri, apakah kita sudah berperilaku cerdas di tengah ketidakpastian pandemi ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun