Memang baru kali ini aku mendapatkan sekertaris yang sepertinya. Seluruh ajakan dan perintahku selalu dipertanyakan kembali sampai dia mendapatkan jawaban yang memuaskan. Yahh setidaknya aku tidak akan mengeluh dengan sikapnya ini. Karena hanya dengan ini aku mampu memperpanjang durasi obrolanku dengannya.
Tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, saat inipun aku harus menjelaskan ajakanku dengan alasan-alasan yang sekiranya dapat diterima oleh kepala cantiknya. "Hanya acara makan malam biasa. Satria ingin mengenalkan calon istrinya. Dia mengatakan untuk mengajakmu juga."
Setelah berpikir sejanak akhirnya dia menyetujuinya. Kami berjalan bersisian menuju basement tempatku memarkir mobil. Sering kali aku merasa hubunganku dengan sekertarisku ini sudah melampaui hubungan profesional. Seluruh usaha pendekatanku tidak pernah ditolaknya, bahkan terkesan dia juga membalas usahaku. Tetapi tidak jarang juga aku merasa dia menarik diri dan sengaja membangun benteng diantara kami.
"Kau mau singgah ke toko untuk berganti baju?" tanyaku membuka pintu mobil untuknya.
"Singgah ke toko untuk berganti baju? Untuk apa? Saya malah ingin meminta tolong bapak untuk singgah sejenak di masjid, saya belum sholat maghrib," ujarnya sembari tersenyum.
"Masjid?" tanyaku heran. Tanganku masih berada di pintu mobil dan bahkan baru satu kaki cantiknya yang masuk ke dalam kemudian diurungkannya.
"Iya, masjid. Saya belum sholat maghrib, pak. Tadi tidak sengaja keasyikan mempelajari dokumen kerja sama dengan perusahaan manufaktur China itu," jawabnya lugas.
Secara tak sadar aku tercengang mendengar penjelasannya. Hanya satu kata itu saja mampu membuat otakku berhenti berpikir. Ratih seorang muslim? Muslim? Dia Islam? Aku masih memproses kata itu. Bagaimana bisa satu kata sederhana itu menjadi bom dahsyat bagi perasaanku? Mengapa pula aku tak mengetahui secuil informasi krusial ini?
Melihatku yang masih tidak mampu merespon apapun, Ratih menutup pintu mobil dan berdiri tegak dihadapanku. Wajahnya yang lembut menunjukkan pemahaman. Perlahan sudut bibirnya terangkat enggan. Aku mampu merasakan keinginannya yang terbalut kepasrahan.
Senyumnya yang setengah hati menampakkan kekecewaan dan rasa bersalah. Dan malah diwaktu yang seperti ini aku mampu melihat dengan jelas perasaanku yang tercermin sempurna di wajah cantiknya.
"Hmm ... Ternyata benteng tak kasat mata itu memang benar adanya," ujarku tersenyum lemah.