Mohon tunggu...
Ayu Afrida Laili
Ayu Afrida Laili Mohon Tunggu... Jurnalis - Lili Afrida

Kucing, kopi, hujan, musik, novel

Selanjutnya

Tutup

Nature

Rayuan Pembangkit Listrik di Tanah Jawa

5 Mei 2020   13:00 Diperbarui: 5 Mei 2020   14:51 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Eheemm… Tidak semudah itu, kawan! Pembebasan lahan hanyalah isu di permukaan saja. Masalah utama yang ditimbulkan dari proyek PLTU Batang ini adalah LINGKUNGAN. Ya, LINGKUNGAN! Seperti sudah disampaikan di muka, sebanyak 60% proyek percepatan infrastruktur listrik yang digalakkan oleh Bapak Presiden adalah melalui pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Bagi yang peka, PLTU tidak selamanya “mengolah” air laut untuk menjadi listrik. Untuk menggerakkan mesin pembangkit listrik, diperlukan sokongan bahan bakar. Jika kita pernah berjalan di daerah Situbondo, lebih tepatnya di Paiton, kita tidak akan asing melihat penampakan balok yang mengambang di atas laut. Ya, balok-balok itu membawa gunungan hitam, tidak terkira massanya. 

Kemanakah mereka akan bersauh? 

Tentu saja ke pembangkit listrik di dekat sana. Inilah bobroknya Indonesia. Mayoritas pembangkit listrik di negara ini masihlah kuno. Sangat kuno. Jikapun baru, pasti bahan bakar yang digunakan pastilah BBK (Bahan Bakar Kuno).

Apakah itu?

Sudah pasti adalah “Si Perak Hitam” alias batubara. Ia adalah salah satu dalang terselenggara Konferensi Iklim di Paris. Mata dunia begitu menyoroti eksistensi si manis ini.  Semenjak konferensi itu, negara-negara besar di dunia berkomitmen untuk menyudahi kenangan indah bersama bahan bakar fosil, termasuk batubara.

Lantas, bagaimana dengan Indonesia? 

Tentu saja Indonesia gamang. Dalam satu kesempatan Presiden Joko Widodo lantas mencanangkan pengembangan potensi energi baru terbarukan (EBT) sebagai penghasil listrik.  Panas bumi, bayu (angin), air, hingga biogas disebut olehnya. Bahkan, sesumbarnya bahwa lapisan bawah tanah negara kita menyimpan panas bumi yang berlimpah membuat Indonesia  bisa “berdikari energi.” Toh, ujung-ujungnya tambatan hati tetaplah PLTU Batubara. 

Alasan pastinya satu: ekonomis. Kita tidak perlu menutup mata, batubara adalah bahan bakar termurah yang paling mudah di dapat di Nusantara. Kalimantan menjadi surga batubara yang terus-menerus dieksploitasi. Padahal menurut hitung-hitungan Badan Energi Internasional, energi fosil menyumbang kenaikan emisi karbon sebesar 1,7% tiap tahunnya.  Dua pertiga sumbangan itu berasal dari industri kelistrikan batubara. Bahkan, emisi karbon akibat pembakaran batubara mengundang pemanasan global tiap tahun. Tidak hanya mencemari udara, limbah PLTU pun turut mengalir ke laut. Hal ini membuat ekosistem laut menjadi terganggu, di antaranya merusak terumbu karang dalam meningkatkan kadar asam di laut.

Berpikiran futuristik, lembaga-lembaga keuangan internasional pun terpanggil untuk menggalakkan “energi hijau.” Implementasi nyatanya adalah melalui pembatasan dan pengehentian pendanaan proyek pembangkit listrik “energi hitam.” Bank Dunia sendiri terakhir membiayai proyek PLTU bertenaga batubara pada tahun 2010 di Afrika Selatan. Selain itu, Bank Ekspor-Impor Amerika Serikat turut menghentikan pendanaan bagi pembangunan PLTU-PLTU baru di dunia. Kejadian ini pun terjadi di Indonesia. Dalam kekalutan wabah korona, Bank Jepang untuk Kerjasama Internasional (JBIC) menghentikan pendanaan proyek pembangunan PLTU Batang per awal Mei 2020. 

Hal ini sebagai langkah tegas untuk menyongsong energi bersih dalam pembangkit listrik. Tadashi Maeda, Presiden JBIC, tidak menampik kebijakannya ini akan berdampak buruk bagi proyek yang tengah berjalan. Namun ia menawarkan solusi lain. Proyek pembangunan PLTU tetap berjalan, asalkan bahan bakarnya menggunakan gas alam cair (LNG).

Berkaca pada delik demikian, mampukah Indonesia untuk benar-benar tulus meninggalkan PLTU Batubara dan beralih ke PLEBT?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun