Mohon tunggu...
Ayu ashari
Ayu ashari Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Asuransi dalam Pemikiran Hukum Islam

12 Maret 2019   17:03 Diperbarui: 12 Maret 2019   17:45 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Kata asuransi berasal dari bahasa Inggris, insurance, yang memiliki arti, asuransi dan jaminan yang dalam bahasa Indonesia  berarti "pertanggungan". Echols dan Shadilli memaknai kata insurance dengn asuransi dan jaminan. Dalam bahasa belanda biasa di sebut dengan istilah assurantie (asuransi) dan verzekering (pertanggungan). (AM Hasan Ali, 2004: 57).

            Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang  (KUHD). Pasal 246 di jelaskan bahwa yang di maksud dengan asuransi atau pertanggungan adalah "suatu perjanjian (timbal balik), dengan mana seorang penanggung  megikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya, karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang di harapkan, yang mungkin akan di deritanya, karena suatu peristiwa tak tentu (onzeker  vooral)". Kata asuransi pada awalnya di kenal di Eropa Barat pada Abad Pertengahan berupa asuransi kebakaran. Lalu pada abad ke-13-14, seiring dengan meningkatnya lalu lintas perhubungan laut antar pulau, maka berkembang menjadi asuransi pengangkutan laut. Asuransi jiwa itu sendiri baru di kenal pada awal abad ke -19. (Abdul Wadud Nafis, 2012: 23).

            Konsep asuransi sebenarnya sudah di kenal sejak zaman sebelum Masehi dimana  manusia pada zaman itu telah menyelamatkan jiwanya dari berbagai macam ancaman, antara lain kekurangan bahan makanan.  Tujuan asuransi pada dasarnya adalah mengalihkan resiko yang di timbulkan  oleh peristiwa-peristiwa yang tidak di harapkan kepada orang lain yang bersedia mengambil resiko itu dengan mengganti kerugian yang di deritanya. Pihak yang bersedia menerima resiko itu di sebut penanggung (insurer). (AM Hasan Ali, 2004: 65 )

            Adapun praktik asuransi syariah berasal dari suku Arab pada zaman Rosulullah yang di sebut dengan aqilah. Yaitu praktik yang biasa terjadi  pada suku Arab kuno, dimana jika seorang anggota suku melakukan pembunuhan terhadap anggota suku yang lain, maka ahli waris korban akan memperoleh bayaran sejumlah uang darah sebagai kompensasi oleh penutupan keluarga pembunuh. Penutupan yang di lakukan oleh keluarga pembunuh itulah yang di sebut aqilah.   Praktik aqilah di zaman Rosulullah tetap di terima oleh masyarakat Islam dan menjadi bagian dari hukum Islam yang kemudian di formulasi berdasarkan prinsip syariah sehingga menjadi asuransi syariah.( Abdul Wadud Nafis, 2012: 31)

            Berikut merupakan penjelasan mengenai dasar hukum asuransi syariah. Pertama, tidak disebutkan dalam Al-Qur'an ayat yang menjelaskan tentang praktik asuransi seperti yang terjadi pada saat ini. Hal ini terindikasi dengan tidak munculnya  istilah asuransi atau al-ta'min secara nyata dalam Al-Qur'an. Walaupun begitu, Al-Qur'an masih mengakomodir ayat-ayat yang mempunyai muatan nilai-nilai dasar yang ada dalam praktik asuransi, seperti nilai dasar tolong-menolong dan kerja sama. Seperti yang di contohkan dalam Al-Qur'an membuat sistem proteksi menghadapi kemungkinan yang buruk di masa depan (QS.Yusuf (12) ayat 43-49). Berdasarkan ayat tersebut, sebagian ulama menjadikan dasar hukum  tentang kebolehan (mubah) dalam pelaksanaan asuransi yang berdasarkan prinsip syariah. Hal itu berarti seseorang harus memprediksi kehidupannya bila terjadi sesuatu musibah di masa yang akan datang.

            Kedua, hadis nabi tentang aqilah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a., dia berkata "berselisih dua orang wanita dari suku huzail, kemudian salahsatu dari wanita tersebut melempar batu ke wanita yang lain shingga mengakibatkan kematian wanita tersebut beserta janin yang dikandungnya. Maka ahli waris dari wanita yang meninggal tersebut mengadukan peristiwa tersebut kepada Rasulullah SAW., maka Rasulullah SAW memutuskan ganti rugi dari pembunuhan terhadap janin tersebut dengan pembebasan seorang budak laki-laki atau perempuan, dan memutuskan ganti rugi kematian wanita tersebut dengan uang darah (diyat)  yang dibayarkan oleh aqilahnya (kerabat dari orangtua laki-laki). (HR. Bukhari)

            Penjelasan hadis ini menjelaskan tentang praktik aqilah yang telah menjadi tradisi di masyarakat Arab. Hadis di atas memaknai aqilah dengan ashabah yang mempunyai kewajiban menanggung denda atau diyat jika salah satu anggota sukunya melakukan pembunuhan terhadap anggota suku yang lain. Penanggungan tersebut merupakan suatu kegiatan yang mempunyai unsur  seperti yang berlaku pada bisnis asuransi. Kemiripan ini didasarkan atas adanya prindip saling menanggung (takaful) antar anggota suku.

            Hadis lain yang menyebutkan tentang asuransi adalah hadis tentang Piagam Madinah yang berisi "dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ini adalah piagam dari Muhammad, Nabi SAW., di kalangan mukminin dan muslimin (yang berasal) dari Quraisy dan Yatsrib, dan orang yang mengikuti mereka, menggabungkan diri dan berjuang bersam mereka. Sesungguhnya mereka satu umat, lain dari (komunitas) manusia yang lain kaum Muhajirin dan Quraisy sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diyat diantara mereka dan mereka membayar tebusan tawanan dengan cara yang adil diantara mukminin.  

            Ketiga, ijtihad menurut fatwa sahabat yang berkenaan dengan pembayaran hukuman (ganti rugi)pernah dilaksanakan oleh Khalifah Umar bin Khattab yang pada suatu ketika bliau memerintahkan agar daftar (diwan) saudara-saudara muslim disusun perdistrik. "orang-orang yang namanya tercantum dalam diwan tersebut berhak menerima bantuan dari satu sama lain dan harus menyumbang untuk pembayaran hukuman (ganti rugi) atas pembunuhan (tidak disengaja) yang dilakukan oleh salah seorang anggota masyarakat mereka. Umar lah orang yang pertama kali mengeluarkan perintah untuk menyiapkan daftar secara profesional per wilayah, dan orang-orang yang terdaftar diwajibkan untuk saling menanggung beban. (AM. Hasan Ali, 2004: 122).

            Ijma',  para sahabat telah melakukan ittifaq (kesepakatan) dalam hal aqilah yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Adanya ijma' ini tidak ada sahabat lain yang menentang pelaksanaan aqilah. Aqilah adalah iuran darah yang dilakukan oleh keluarga dari pihak laki-laki (ashabah) dari sisi pembunuh ( orang yang menyebabkan kematian orang lain secara tidak sewenang-wenang). Dalam hal ini, kelompok lah yang menanggung pembayaran, karena si pembunuh merupakan anggota dari kelompok tersebut. Dengan tidak adanya sahabat yang menentang Khalifah Umar ra., bisa disimpulkan bahwa telah terdapat ijma' di kalangan sahabat Nabi SAW mengenai persoalan ini.

            Qiyas juga menyebutkan bahwa sistem aqilah pada zaman pra islam diqiyaskan dengan sistem aqilah yang diterima pada zaman Rasulullah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun