Oleh: Ayu Yosefina Marpaung
Thailand adalah negara dengan mayoritas penduduk yang menganut agama Buddha. Kepercayaan ini memiliki pengaruh besar terhadap nilai-nilai dalam sistem konstitusi Thailand, yang beroperasi di bawah Monarki Absolut hingga abad ke-19. Pada masa Monarki Absolut, sekitar abad ke-14, mulai muncul perilaku seksual yang tidak sesuai dengan norma heteroseksual di masyarakat. Hal ini ditandai dengan berkembangnya budaya homoseksual, terutama di lingkungan kerajaan Thailand. Pada abad ke-19, masyarakat Thailand menunjukkan kecenderungan androgini dalam hal gaya berpakaian dan tatanan rambut. Perubahan besar terjadi pada abad ke-20, ketika sistem pemerintahan bergeser dari monarki absolut menjadi monarki konstitusional.Â
Perubahan sistem pemerintahan Thailand terjadi pada tahun 1932, dipicu oleh kudeta militer sebagai respons terhadap krisis ekonomi yang melanda negara tersebut. Kudeta ini mengakhiri kekuasaan Raja Prajadiphok dan menandai awal keterlibatan militer dalam pemerintahan (Handley, 2006). Di abad ke-20, toleransi budaya terhadap perilaku homoseksual mulai berubah seiring transisi dari monarki absolut ke monarki konstitusional. Pergeseran ini dipengaruhi oleh tekanan dari kekuatan kolonialisasi Barat yang mendorong elite Thailand untuk memulai proses westernisasi, dimulai dari aspek identitas seksual dan gender.
Pada tahun 1932, perubahan sistem pemerintahan Thailand dari monarki absolut ke monarki konstitusional terjadi melalui kudeta militer yang dipicu oleh depresi ekonomi. Kudeta ini mengakhiri kekuasaan Raja Prajadhipok dan membuka jalan bagi keterlibatan militer dalam pemerintahan (Handley, 2006). Perubahan tersebut membawa dampak signifikan terhadap kultur toleransi terhadap homoseksualitas. Tekanan dari kekuatan kolonialisasi Barat mendorong elite Thailand untuk memulai proyek westernisasi, yang salah satu fokusnya adalah identitas seksual dan gender. Pemerintah mulai menerapkan aturan ketat terkait penampilan masyarakat berdasarkan gender. Perempuan diwajibkan mengenakan rok, sementara pria harus memakai celana panjang, sebagai upaya menekan identitas LGBT (Harrison & Jackson, 2010).Â
Dalam konteks westernisasi, norma yang dianggap "normal" harus sesuai dengan standar baku, sehingga perilaku LGBT yang dianggap menyimpang dipandang sebagai hambatan bagi modernisasi Thailand. Kolonialisasi Barat memperkenalkan konsep homonormativitas, yang terkait dengan identitas gay dan queer (Walks, 2014). Dampaknya, homofobia semakin berkembang di masyarakat, mengakibatkan diskriminasi dan kriminalisasi terhadap kaum LGBT serta perubahan dalam konstruksi sosial Thailand.
Modernisasi yang diusung Thailand melalui peralihan ke sistem pemerintahan monarki konstitusional membawa perubahan signifikan dalam pandangan masyarakat terhadap kaum LGBT. Pandangan ini berujung pada diskriminasi sosial dan ekonomi terhadap mereka, yang dianggap sebagai kelompok dengan perilaku menyimpang. Situasi ini diperburuk oleh pemberitaan media yang sering menyajikan isu LGBT secara sensasional, sehingga memperkuat stigma negatif.Â
Kekhawatiran masyarakat semakin meningkat dengan munculnya epidemi HIV/AIDS, yang mulai merebak di kalangan pria yang berhubungan seks dengan pria (MSM) sejak tahun 1984. Penyakit ini sering dianggap sebagai "kutukan" yang tidak dapat disembuhkan dan dikaitkan erat dengan perilaku homoseksual. Peningkatan prevalensi HIV/AIDS di kalangan MSM sangat signifikan, melonjak dari 0% hingga 49% dalam satu tahun (WHO, 2012), yang memperkuat stigma dan diskriminasi terhadap komunitas LGBT di Thailand.
Suburnya diskriminasi dan kriminalisasi terhadap kaum LGBT di Thailand disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang cenderung memojokkan kelompok ini. Perubahan sistem pemerintahan yang baru menghapuskan kepercayaan lama tentang keberadaan tiga jenis gender dan seks, yang sebelumnya diakui dalam budaya Thailand. Berdasarkan data, populasi LGBT di Thailand diperkirakan mencapai 300.000 wanita dan 30.000 pria (Winter, 2009).Â
Kondisi ini memicu keprihatinan berbagai NGO yang berfokus pada isu hak asasi manusia. Sebagai respons, NGO-NGO ini seperti Rainbow Sky Association, Purple Sky, Foundation for SOGI Rights and Justice (FOR-SOGI), dan Anjana Suvarnananda mulai membentuk jaringan transnasional untuk memperkuat perjuangan mereka dalam membela hak-hak kaum LGBT di Thailand. Jaringan advokasi transnasional di Thailand fokus pada isu hak asasi manusia bagi kaum LGBT, menentang segala bentuk diskriminasi yang mereka alami. Tujuan utama dari gerakan ini adalah menciptakan kesetaraan dan keadilan bagi seluruh masyarakat Thailand. Perjuangan mereka dimulai dari tingkat lokal dengan pendekatan langsung ke masyarakat melalui metode persuasif. Kemudian, gerakan ini diperluas ke tingkat internasional dengan melibatkan dukungan dari organisasi internasional di luar Thailand, memperkuat upaya mereka dalam memperjuangkan hak-hak LGBT.Â
Keberhasilan jaringan advokasi ini semakin diperkuat dengan kembalinya nilai dan norma ajaran Buddha yang sempat terpinggirkan. Kebangkitan nilai-nilai tersebut membantu masyarakat menerima kebijakan terkait hak-hak LGBT, karena mereka mulai menyadari adanya keselarasan antara nilai-nilai tradisional Buddha dengan prinsip kesetaraan dan keadilan. Hal ini menciptakan fondasi yang lebih kuat bagi penerimaan LGBT Rights dalam konteks nilai-nilai domestik Thailand.
David Lewis dan Nazneen Kanji (2001) mengidentifikasi tiga peran utama yang dimainkan oleh NGO dalam kegiatan mereka, yaitu sebagai pelaksana (implementers), katalis (catalysts), dan mitra (partners). Menurut mereka, banyak NGO yang terlibat dalam lebih dari satu peran, atau bahkan menjalankan ketiga peran tersebut secara bersamaan.
- Pelaksana (Implementers): Sebagai pelaksana, NGO berperan dalam memobilisasi berbagai sumber daya untuk menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh kelompok masyarakat tertentu. Peran ini mencakup berbagai isu, seperti kesehatan, keuangan, pertanian, lingkungan hidup, dan hak asasi manusia. NGO sebagai implementer biasanya menjalankan program sesuai dengan tujuan mereka atau perjanjian yang telah disepakati dengan pihak-pihak yang terlibat, baik itu pemerintah, sektor swasta, atau pendonor. Kegiatan yang dilakukan bisa berupa pelatihan, penelitian, atau pemberian bantuan langsung.
- Katalis (Catalysts): Sebagai katalis, NGO berfungsi sebagai agen perubahan yang dapat menginspirasi, memfasilitasi, dan mendorong perubahan dengan mempromosikan norma dan nilai baru. Peran ini memungkinkan NGO untuk berkontribusi dalam menciptakan perubahan dalam berbagai masalah yang ada, baik itu pada individu, kelompok masyarakat, atau aktor lainnya seperti pemerintah, sektor swasta, dan donor. NGO dapat mempengaruhi perubahan sosial dan kebijakan melalui pendekatan yang lebih strategis.
- Mitra (Partners): Dalam peran sebagai mitra, NGO berkolaborasi dengan berbagai pihak atau aktor lain dan berbagi risiko dalam upaya yang dilakukan bersama. Kerja sama ini melibatkan hubungan antara NGO dan pemerintah, donor, atau sektor swasta, dengan tujuan untuk menjalankan proyek atau program yang lebih luas. Sebagai mitra, NGO terlibat dalam memberikan masukan, merancang kebijakan, dan berpartisipasi dalam program bersama untuk mencapai tujuan bersama.
Dalam perjuangannya untuk mendorong legalisasi hak LGBT di Thailand, FOR-SOGI memainkan tiga peran penting: pelaksana, katalis, dan mitra. Sebagai pelaksana, FOR-SOGI aktif mengadakan berbagai kegiatan langsung seperti kampanye penyadaran, pendampingan hukum, dan layanan dukungan bagi komunitas LGBT. Mereka turun langsung ke masyarakat untuk memberikan edukasi serta memastikan suara kelompok yang selama ini terpinggirkan dapat didengar oleh lebih banyak orang.
Sebagai katalis, FOR-SOGI berperan dalam memicu perubahan sosial dengan mendorong diskusi dan kesadaran publik terkait kesetaraan hak. Mereka menantang norma-norma diskriminatif yang masih melekat di masyarakat serta mengajak berbagai pihak untuk ikut ambil bagian dalam memperjuangkan hak LGBT. Lewat media, aksi publik, dan jaringan sosial, FOR-SOGI mempercepat proses perubahan sikap masyarakat menuju penerimaan yang lebih terbuka dan inklusif.
Sementara itu, dalam perannya sebagai mitra, FOR-SOGI menjalin kerja sama erat dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah, organisasi internasional, komunitas lokal, dan sektor swasta. Kemitraan ini bertujuan untuk memperkuat kebijakan dan regulasi yang mendukung hak-hak LGBT, sekaligus memastikan bahwa perubahan yang tercapai bersifat berkelanjutan. Melalui kerja sama ini, FOR-SOGI mampu memperluas jangkauan advokasi dan meningkatkan legitimasi gerakan mereka di mata publik serta pihak berwenang.
Dalam penerapan teori ini, FOR-SOGI menggunakan empat strategi TAN (Transnational Advocacy Networks) dalam perjuangannya untuk hak-hak LGBT di Thailand, yaitu Information Politics, Symbolic Politics, Leverage Politics, dan Accountability Politics. Strategi ini digunakan untuk menanggapi sikap pemerintah Thailand yang kurang memberikan perhatian terhadap isu LGBT dan cenderung mengabaikannya. Pemerintah Thailand bahkan menutup akses bagi komunitas LGBT dan aktor non-pemerintah untuk menyuarakan tuntutan mereka. Oleh karena itu, jaringan TAN berusaha untuk menekan pemerintah dengan memobilisasi dukungan dari aktor lokal dan internasional. Melalui kolaborasi dengan berbagai pihak, baik dalam negeri maupun luar negeri, FOR-SOGI berharap dapat menekan pemerintah untuk lebih memperhatikan hak-hak LGBT dan membuka ruang bagi dialog serta perubahan kebijakan yang lebih inklusif.
1. Information Politics
FOR-SOGI menyusun laporan mengenai permasalahan sosial ekonomi dan hukum yang dihadapi oleh komunitas LGBT di Thailand beserta diskriminasi yang mereka alami. Contohnya adalah laporan tentang "Mapping Discrimination Against LGBTQ+ Communities in Thailand ". Media asing melaporkan bahwa FOR-SOGl telah menggunakan Human Rights Watch (HRW) sebagai saluran untuk berbagi laporan dan pengalaman mereka. Contohnya Victory for Same-Sex Marriage in Thailand
https://www.hrw.org/news/2024/06/18/victory-same-sex-marriage-thailand
2. Symbolic Politics
Organisasi ini menggunakan kisah nyata tentang pasangan LGBT yang mengalami rintangan dalam hal sosial dan hukum sebagai representasi perjuangan kesetaraan telah menjadi lambang bagi perjuangan kesetaraan itu sendiri. Kisah ini berfokus pada pasangan LGBT yang tidak dapat mewariskan aset atau kekayaan mereka satu sama lain karena kurangnya pengakuan hukum. FOR-SOGI, dalam upayanya untuk menginspirasi perasaan pembaca atau penonton, menggunakan foto dan video yang menampilkan kehidupan sehari-hari komunitas LGBT. Kampanye Solidaritas yang menampilkan pasangan LGBT dari berbagai latar belakang dalam kampanye bernama "Love is Not a Crime".
3. Leverage Politics
Menekan para aktor yang memiliki pengaruh besar dalam mendesak pemerintah Thailand untuk segera mengesahkan Undang-Undang Perjanjian Kerjasama dan undang-undang perlindungan hak LGBT serta peraturan lainnya. Bekerja sama dengan berbagai negara yang mengakui pernikahan sejenis termasuk Taiwan.
4. Accountability Politics
Tuntutan keberagaman di Thailand, yang menuntut pemerintah untuk mendukung perjanjian internasional seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR), dengan menjaga hak-hak kelompok minoritas tetap terjamin dan mengawasi penerapan undang--undang anti-diskriminasi di tempat umum dan tempat kerja. Dokumentasi Pelanggaran LGBT yaitu mengumpulkan informasi atau fakta tentang kasus diskriminasi terhadap LGBT untuk digunakan sebagai dokumen pendukung dalam pengadilan.
KESIMPULAN
Upaya Forum for Sexual Orientation and Gender Identity (FOR-SOGI) untuk memperoleh legalisasi hak-hak LGBTQ di Thailand menunjukkan perjuangan panjang yang melibatkan berbagai jaringan advokasi, baik di tingkat lokal maupun internasional. FOR-SOGI bekerja untuk mengubah pandangan masyarakat mengenai kesetaraan hak bagi komunitas LGBTQ melalui pendekatan yang persuasif dan edukatif. Selain itu, dukungan dari organisasi internasional dan kembalinya nilai-nilai ajaran Buddha yang mendukung kesetaraan gender juga memperkuat perjuangan mereka. Meskipun menghadapi tantangan besar, seperti diskriminasi sosial dan kebijakan pemerintah yang menekan, upaya FOR-SOGI terus berkembang dengan fokus pada pengakuan dan perlindungan hak-hak LGBT. Partisipasi aktif dari berbagai pihak, termasuk NGO dan organisasi internasional, memberikan dukungan penting untuk mewujudkan kesetaraan hukum bagi komunitas LGBTQ di Thailand, meski perjalanan menuju legalisasi hak-hak ini masih memerlukan usaha yang terus-menerus.
Referensi
FOR-SOGI. (2018, September 14). Background of the Foundation for Gender Rights and Gender Equality. Diambil kembali dari FOR-SOGI: http://forsogi.org
Handley, P. M. (2006). The King Never Smiles: A Biography of Thailand's Bhumibol Adulyadej. New Heaven & London: Yale University PressÂ
Harrison, R. V., & Jackson, P. A. (2010). The Ambiguous Allure of the West: Traces of the Colonial in Thailand. Dalam D. Chakrabarty. Hongkong: Hongkong University Press.Â
Walks, M. (2014). "We're Here and We're Queer?": An Introduction to Studies in Queer Anthropology. Anthropologica, Vol. 56, No. 1, 13-16.
WHO. (2012, Januari 12). HIV and AIDS. Diambil kembali dari World Health Organization Thailand: http:// www.searo.who.int/thailand/areas/hivaids/en/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H