Mohon tunggu...
Ayu Hendranata
Ayu Hendranata Mohon Tunggu... Wiraswasta - Nasionalist and Social Media Influencer

Financial planner & Enterpreneur

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kemarahan adalah Sebuah "Gila Sementara"

2 Juni 2024   22:08 Diperbarui: 3 Juni 2024   06:11 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah story di media sosial muncul di beranda feed saya, dan menampilkan sebuah screenshot message dari seorang haters kepada teman saya yang isinya sebaris kata kata yang  tidak sopan dan kurang pantas untuk diucapkan. Kemarahan bisa begitu sangat memuncak hanya karena awal yang mungkin remeh, atapun tidak relate dengan kondisi sebenarnya. Sangat tragis. 

Selain itu pernah kah kita melihat orang orang berpendidikan bisa naik pitam saat baku hantam di jalan hanya karena urusan mobilnya keserempet? atau masalah lain, seorang sahabat bermusuhan bertahun tahun hanya karena beda pilihan dalam menjunjung pilihannya dalam Pemilu kemarin ? 

Dalam bentuk lainnya tetapi sama "gila" nya adalah perilaku kita di media sosial. Hanya karena urusan satu tweet atau satu post di facebook atau instagram, bisa menjadi pertengkaran berjilid jilid dengan modal jempol semata. 

Bagi pihak ketiga yang mengamati hal ini dengan kepala dingin, pasti setuju dengan perkataan seorang Seneca (seorang filsuf romawi kuno) yang mengatakan bahwa kemarahan mempengaruhi kewarasan kita. Mungkin karena hal ini juga, sehingga orang Jawa jaman dulu sering berujar "Yang waras, lebih baik mengalah saja", karena percuma meladeni orang orang yang sedang tidak waras, walau hanya sementara.

Bagi Seneca, orang yang marah sedang mengalami "Gila Sementara" (Temporary Madness).

"Keburukan dan kejahatan lain mempengaruhi pertimbangan (judgement) kita, tetapi kemarahan mempengaruhi kewarasan kita. Keburukan dan kejahatan lain menyerang kita dengan lunak dan membesar secara tidak menyolok, tetapi kemarahan menjerumuskan pikiran manusia secara mendadak, kemarahan bisa begitu memuncak hanya karena awal yang remeh." (On Anger)

Ketika kemarahan itu menghampiri dan terbangun, segeralah menghentikannya. Bayangkan , berapa syaraf yang akan rusak dan mempengaruhi tubuh kita saat tersulut emosi. Dan saya rasa tidak ada yang mau dibilang sebagai "orang gila" walaupun hanya untuk sementara. 

Praktek S-T-A-R , Stop (berhenti)- Think (dipikirkan) - Assess (dinilai) - Respond (menggunakan nalar) mungkin perlu kita terapkan dalam kehidupan kita , setidaknya sebagai senjata  untuk menahan laju emosi yang sedang membuncah , karena yang kita lakukan adalah menginterupsi emosi yang selama ini mungkin bablas seperti gerbong kereta lepas. Selain itu menerapkan Think dan Assess  adalah sebuah proses dimana kita sedang"memisahkan" (detach) diri kita dari sekedar orang yang terbawa perasaaan menjadi "pengamat"/ pihak ketiga yang berkepala dingin. Dicoba deh !!!

Salam Waras

Ayu Hendranata

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun