Literasi Keuangan masyarakat masih rendah, Waspada 'Penipuan' berkedok investasi dengan 'Keuntungan Besar'.
Masifnya pengguna internet dan sosial media saat ini membuat banyak orang memanfaatkan dunia digital sebagai sarana mencari 'cuan' (bahasa kekinian saat ini) yang begitu mudah dan cepat.
Terlebih segala jenis konten di buat dengan perilaku 'Flexing' ( Menurut Cambridge Dictionary, flexing adalah menunjukkan sesuatu yang dimiliki atau diraih tetapi dengan cara yang dianggap oleh orang lain tidak menyenangkan.Â
Sedangkan menurut kamus Merriam-Webster, flexing adalah memamerkan sesuatu atau yang dimiliki secara mencolok) yang sedang mewabah dan mampu 'Menghipnotis' penonton nya untuk ikut dalam ajakan-ajakan menggiurkan yang di bungkus dengan aksi 'pamer kemewahan' dan 'pamer kesuksesan' dalam waktu yang sangat instant.
Faktanya, pasca penangkapan influencer 'IK' dan 'DS' dalam kasus Binary Option, dan di prediksi para tersangka dengan modus serupa akan semakin bertambah. Ini disinyalir berkaitan dengan praktik yang dilakukan keduanya.
Head of Center of Investment and Digital Economy Indef (Nailul Huda) dalam sebuah wawancara, seperti dikutip dalam liputan.com menyebutkan bahwa masyarakat perlu waspada terkait banyaknya bermunculan influencer-influencer yang membahas investasi. Ini terutama influencer yang bahkan tidak bergerak di bidang tersebut.
Memiliki literasi keuangan yang rendah, tentu berbahaya bagi kita semua terlebih untuk memutuskan berinvestasi,di tambah jika minim informasi mengenai instrumen perbankan yang dijanjikan. Contoh sederhananya adalah informasi "keuntungan besar" yang tidak masuk akal dalam berinvestasi.
Yuk coba kita sama sama 'speak' with data. Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2019 menunjukkan indeks literasi keuangan Indonesia sebesar 38,03% dan indeks inklusi keuangan sebesar 76,19% (sumber www.ojk.go.id).Â
Persentase ini menandakan sebagian besar masyarakat Indonesia masih belum memahami (Melek) dengan baik  tentang karakteristik berbagai produk serta layanan jasa keuangan yang ditawarkan oleh lembaga jasa keuangan formal, padahal literasi keuangan itu sendiri adalah pengetahuan, keterampilan, dan keyakinan yang memengaruhi sikap untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan, serta pengelolaan keuangan dalam mencapai kesejahteraan. Sedangkan tingkat inklusi keuangan menggunakan parameter penggunaan (usage) produk/layanan keuangan dalam satu tahun terakhir.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sendiri menargetkan inklusi keuangan di Indonesia mencapai 90 persen pada tahun 2024 nanti.
Untuk menghindari jatuh korban yang semakin banyak di kalangan masyarakat karena bentuk 'penipuan' yang berkedok investasi ataupun instrumen perbankan, maka setidaknya masyarakat yang haus akan literasi keuangan perlu mendapatkan sosialisasi lebih giat dan peran serta OJK sebagai institusi yang terkait dalam hal ini.