Mohon tunggu...
Ayu Hendranata
Ayu Hendranata Mohon Tunggu... Wiraswasta - Nasionalist and Social Media Influencer

Financial planner & Enterpreneur

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Kekuatan Sebuah Pikiran dan Kata-kata

28 Juli 2018   18:40 Diperbarui: 28 Juli 2018   21:29 4123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Buku diary berwarna kuning berukuran kecil menjadi saksi bagaimana sejak kecil saya selalu menuangkan segala cerita, asa dan mimpi yang tertumpah di sana.

Mengutip beberapa mimpi yang sangat jelas saya tulis saat berumur 15 tahun kala itu adalah "Saya mau pergi ke Amerika kalau sudah besar" dan "Saya mau punya mobil berwarna putih kayak Bapak".

Bayangkan saja di era tahun 90-an sangat jarang sekali mobil berwarna putih, tetapi mobil dinas milik almarhum ayah saya ketika itu yang kebetulan juga berwarna putih, entah kenapa menjadi mobil idaman saya suatu hari nanti. 

Sebuah impian dari untaian kata kata yang terpikir, terucap, dan kemudian menjadi tulisan dalam buku kuning tadi seakan menjadi "hidup". Kata-kata seperti bibit. Ketika kita mengucapkan sesuatu,kita sendiri sebenarnya telah memberikan kehidupan pada kata kata itu. Semakin sering diucapkan dan dipikirkan membawanya kedalam sebuah kenyataan.

Saya dulu selalu mengira bahwa jika ingin membuat perubahan besar dalam hidup, kita harus melakukan hal hal yang besar. Dengan memiliki sedikit sikap takut dan pecundang, saya berpikir bahwa tindakan yang besar dan menakutkan pasti selalu menuntut materi atau uang dalam jumlah besar yang belum saya miliki saat itu.

Jadi, pemikiran saya menjadi seperti sebuah ramalan yang menjadi sebuah kenyataan bahwa saya tidak dapat mengubah hidup saya dan saya tetap saja didalam sebuah terowongan yang sempit.

Kepergian ayah membuat saya dan keluarga sangat terpuruk. Usia Ayah yang terbilang masih muda 47 tahun dan di saat puncak prestasi beliau dalam meniti karirnya. Ayah saya juga tercatat sebagai pegawai disebuah instansi pemerintahan yang termuda saat menjabat sebagai pemimpin di era itu. 

Keterpurukan tidak lantas membuat saya lemah. Bangkit dan berjuang menjadi motivasi saya saat itu. Keadaan finansial yang mulai menurun saat ayah tidak ada, seakan menguatkan karakter dan semangat juang saya, mulai membantu ibu dengan meringankan biaya kuliah dengan berjualan baju di kampus, marketing untuk beberapa produk sampai menjadi asisten dosen, semua pekerjaan yang positif saya ambil untuk bisa menyelesaikan kuliah dan menggapai mimpi.

Sebuah buku "The Secret" yang pernah saya baca yang mengajarkan bagaimana kita harus optimis seakan menjadi panduan saya mengubah sikap pecundang yang saya miliki selama ini. Buku ini mengajarkan tentang Law of Attraction (LOA) sebuah hukum daya tarik yang mengatur hubungan antara pikiran dan kenyataan. 

Tidak hanya itu buku ini secara tersirat juga mengajarkan bagaimana kekuatan pikiran dan melalui pilihan sebuah kata dapat mengubah hidup kita. Pikiran menentukan frekuensi, dan perasaan segera mengatakan frekuensi kita berada di mana. Ketika saya merasa buruk, saya berada di frekuensi yang menarik lebih banyak hal buruk. Ketika saya merasa baik, saya menarik sepenuhnya lebih banyak hal baik di dalam diri saya.

Seorang teman satu kantor yang membawa saya kedalam sebuah komunitas yang baik juga selalu mengingatkan bahwa pilihlah kata-kata yang baik, semua itu GRATIS.

Dia juga yang mengenyahkan pembatasan pembatasan kekurangan yang saya tetapkan sendiri. "Hati hati dengan apa yang kamu ucapkan, karena tanpa disadari alam bawah sadar akan menyimak kata kata itu apa adanya, bukan apa yang kamu maksudkan di baliknya," demikian saran sederhana dari teman saya yang segera menjadi pemicu berbagai perubahan dalam hidup saya.

Perlahan lahan, saya mulai tidak lagi menggunakan "enggak bisa" menjadi "bisa" dan memaksa saya untuk menyadari bahwa segala sesuatu ada pilihan, alih-alih mengatakan "Saya tidak bisa menyelesaikan tugas ini . Kata-kata tersebut saya ubah menjadi "Saya bisa menyelesaikan tugas ini, malam ini juga".

Saya mulai berpikir lebih jauh tentang kata kata yang saya pilih, mencoba spesifik mungkin tentang apa yang ingin saya sampaikan. Kata berikutnya yang harus saya buang adalah "tidak pernah" menggantinya dengan kata "belum". Terutama jika menanggapi pertanyaan tentang perjalanan.

Misalnya, ada yang bertanya, apakah sudah pernah berkunjung ke Amerika? Saya akan dengan optimis menjawabnya dengan "Belum, belum pernah". Bagaikan menutup pintu, jawaban ini meluaskan kemungkinan bahwa paling tidak suatu hari saya pasti ke sana, terlebih dengan mimpi yang tertuang dalam buku kuning semasa kecil.

Saya terus berlatih dan berusaha memperhatikan kata kata saya agar menjadi sebuah kebiasaaan. Kebiasaan yang mempunyai efek mendalam dan menempatkan saya pada posisi yang positif, seakan hidup saya menuju kepada kata kata yang saya tuju.

Pada 12 tahun kemudian saya pun sedang berada di dalam mobil putih idaman seraya memegang buku kuning yang menjadi saksi masa kecil saya.

"Warna mobil kita kembar, Pak," gumam saya dalam hati sambil mengingat almarhum Ayah.

Dan Atas usaha, doa, kata kata serta pemikiran yang positif, tak lama berselang 3 tahun setelah itu, ternyata saya sedang  membaca buku favorit di dalam train Metrolink yang membawa saya menuju Los Angeles, Amerika. Alam semesta ternyata mendukung. Kata-kata menjadi hidup dan meramalkan masa depan saya sendiri.

Terima kasih Tuhan.

Love
Ayu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun