Mohon tunggu...
Ayu Safira
Ayu Safira Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku dan Takdir-Nya

28 Januari 2019   09:05 Diperbarui: 28 Januari 2019   09:11 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku mengendarai motor sambil menangis, mataku dipenuhi air mata. Itu membuatku susah melihat jalan. Aku merasa sudah berjalan lurus, ternyata tidak. Wajahku diterpa sinar yang sangat menyilaukan, aku langsung hilang kendali dan melihat truk besar dihadapanku, aku benar-benar takut dan hanya bisa memejamkan mata. Dadaku sesak karena menahan teriak. Lalu aku merasakan sakit yang amat sangat pada bagian dada, seperti dihantam batu tajam, setelah itu aku tidak sadarkan diri. Seramnya masih terasa.

 Aku tidak merasakan apa-apa lagi sampai terbangun dan sudah berada di rumah sakit. Aku melihat ibu menangis dan ayah sedang berbicara dengan dokter. "Anak bapak mengalami benturan keras di dada dan mengakibatkan trauma tumpul, selaput parunya sobek sehingga udara terperangkap di rongga dada. Kejadian seperti ini bisa mengakibatkan collaps, tetapi Alhamdulillah anak bapak masih stabil." kata dokter. Aku sedih mendengarnya, tetapi aku lebih merasa bersyukur. 

Aku sudah mengalami kecelakan parah seperti ini, organku sampai terganggu, aku merasa durhaka pada kedua orang tuaku, tetapi Allah masih memberiku kesempatan hidup. Dari kejadian ini aku menyadari bahwa tidak seharusnya aku marah dan pergi begitu saja, menghiraukan ayah dan ibu. Seharusnya aku sadar bahwa pilihan ayah adalah yang terbaik. Ayah ingin anaknya menjadi orang yang lebih baik lagi. Hanya itu yang aku pikirkan saat baru siuman. Ibu dan ayah langsung memelukku saat melihatku sadar.

Beberapa hari kemudian keadaanku membaik dan aku diperbolehkan untuk pulang. Aku istirahat di rumah selama seminggu. Setelah itu aku kembali ke asrama. Banyak yang aku renungkan selama di rumah. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk menuruti kemauan ayah. Aku mulai membiasakan diri dengan kehidupan di SEBI yang berbeda dengan kehidupanku sebelumnya. Aku mulai bisa menerima dan aku merasa bahwa memang ini jalan yang telah Allah tetapkan padaku. Bayang-bayang kematian terus ada dan aku merasa kejadian kemarin sebagai peringatan bagiku. Aku pernah dengar nasihat, "Allah memberikan cobaan kepada hamba yang disayangi-Nya, dan Dia tidak akan menguji hamba diluar kemampuan hambanya." 

Itu membuatku berpikir bahwa Allah sengaja memberikanku cobaan karena memang Dia menyayangiku, Dia yang menggerakkan hati ayah untuk mengirimku ke SEBI. Kalau dilihat lagi, SEBI tidak seburuk yang aku pikirkan. Hatiku mulai tenang dan aku merasa mulai nyaman. Ditempatkan di tempat yang baik, bertemu dengan teman-teman yang baik yang selalu mengajak kepada kebaikan. Aku mulai menyukai SEBI.

Semenjak itu, aku mulai berubah. Aku sudah bisa merasa ikhlas menjalani semua. Aku sudah merasa nyaman dengan jilbab panjang, manset, dan kaos kaki yang kupakai, yang biasanya kurasa gerah dan gatal. Hafalanku juga membaik, aku sudah menemukan metode menghafal yang cocok untukku. Aku sudah hafal semua surat di juz 30 sekarang. Masalah pelajaran yang menurut ku susah karena tidak pernah ku temui di SMA juga sudah mulai bisa ku kejar. Aku suka dengan semua kegiatan dan budaya di SEBI. Banyak yang memberikan dukungan untuk hijrahku ini. Semua terasa mudah sekarang, mungkin karena aku tulus melakukannya dari hati. Karena sering aku dengar "Sesungguhnya amal perbuatan tergantung oleh niat, maka niatkan semua karena Allah." Aku merasa dimudahkan di jalan ini, pasti karena aku meniatkannya karena Allah.

Dulu aku hanya anak remaja, yang hanya tahu bersenang-senang tanpa tahu apa tujuan hidup. Untuk apa aku hidup, aku tidak pernah memikirkannya. Tidak pernah benar-benar meminta pada sang pemilik kehidupan. Sekarang aku benar-benar ingin berubah, aku ingin  berhijrah menjadi orang yang lebih baik. Aku ingin menjadi hafidzah seperti temanku yang lain. Aku terharu saat mendengar cerita mereka berhijrah dan saat pertama kali menghafal. Aku ingin seperti mereka. 

Apalagi kata mereka, jika kita menjadi penghafal Al-Qur'an, orang tua kita akan dihadiahi mahkota yang terbuat dari emas saat di akhirat nanti. Tetapi tentu saja, niatku menghafal harus karena Allah. Dari semua yang sudah terjadi, aku hanya bersyukur bisa berada di tempat ini, di keadaanku yang sekarang yang semakin dekat dengan sang Khalik. Aku ingin tetap berada di jalan ini, doakanku istiqamah. Terimakasih Allah, ayah, ibu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun